Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Orang Belanda dulu minum air Ciliwung

Format : Artikel

Impresum
- : , 1996

Deskripsi
Dalam:
Media Indonesia, Selasa, 3 September 1996

Isi:

JAKARTA mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mempunyai paling banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya dari selatan ke utara. Menurut perhitungan secara kasar, paling tidak ada 6-7 sungai. Di arah barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian timur kita menemukan Kali Gunungsahari dan Kali Sunter. Ada lagi Kali Besar yang menampung air Kali Krukut di ujung barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewat jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah barat, untuk akhirnya membelok ke utara.

Belum lagi anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain. Orang awam bisa pusing kalau mau menghitung atau menelusurinya satu demi satu.

Tempo doeloe jumlah itu lebih banyak lagi. Khususnya di bagian utara kota, yang oleh orang Belanda dinamakan beneden stad atau kota bawah, yakni daerah Mangga Besar ke arah utara. Kali Ciliwung yang mengalir lurus bagaikan garis mistar, membelok ke timur setibanya di seberang jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan aimya ke Kali Tangki di sisi jalan tersebut.

Aliran Ciliwung itu pun masih terus lagi ke utara, menyusuri sisi timur Medan Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi, yang kemudian menjadi gedung pertokoan Harco. Sebagian lagi menumpahkan air ke Kali Besar yang pada masa itu. membentang dari timur ke barat, menyusuri jalan Pancoran (di seberang Glodok Building sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas. Bagian Kali Besar yang menyusuri jalan Pancoran kini sudah tidak ada lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.

Mendiang ayah saya sering berceritera, bahwa semasa hidupnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, tepat di tengah-tengah jalan Kongsi Besar sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios, pun dialiri sebuah sungai, Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar itu. sudah tidak ada. Hanya tinggal palang-palang pipa besi bergaris tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dulunya memagari kedua sisi sungai. Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak, terutama di sore hari.

Pada tahun 1944-1945 (zaman jepang) palang-palang itu dibongkar jepang bersama dengan palang palang serupa yang memagari seluruh tepi Kali Ciliwung. Konon semua palang itu diangkut ke jepang, karena industri perang jepang pada masa itu kekurangan bahan baku besi.

Kali Ciliwung diperjual belikan

Jumlah Kali-kali di Jakarta mencatat rekor di masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Kompeni di mulut rakyat). Orang Belanda pada masa itu sangat gemar menggali Kali-kali buatan yang mereka namakan gracht (jamak: grachten). Konon karena mereka rindu akan kota Amsterdam di negera asal mereka yang sampai kini masih terbelah-belah oleh banyak grachten.

Sementara itu ada juga kali yang dibuat pihak swasta dengan seizin Kompeni, bukan atas dasar rasa rindu tadi, melainkan demi pertimbangan komersial-ekonomis. Kali-kali atau grachten itu menghubungkan aliran sungai-sungai alamiah yang satu dengan yang lain. Sungai-sungai itu. merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan. Banyak sampan pengangkut barang-barang itu ‘potong kompas’ agar lebih cepat tiba di tempat tujuan. Dalam hal demikian, mereka memasuki kali-kali buatan tadi dan oleh pemiliknya (pembuat kali-kali itu) sampan-sampan tersebut diharuskan membayar tol. Tidak berbeda dengan keadaan sekarang, kalau kendaraan bermotor melewati jalan tol.

Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara, dulunya kali swasta dengan aturan bayar tol kalau melaluinya. Kali yang oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet itu dibuat oleh kepala warga Cina (kapitein der Chinezen) di Betawi, Phoa Bing Ham. Orang Belanda menamakannya Bingam. Pada tahun 1648 Bingam mendapat izin dari Kompeni untuk membuat Kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana.

Pada tahun 1654 Molenvliet diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real. Bingam, melepaskannya karena eksploatasinya tidak lagi menguntungkan, sehubungan dengan penggalian terusan-terusan baru oleh Kompeni sendiri.

Sampai pecah Perang Dunia II, sejumlah jalan tertentu di bagian utara kota dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (kini jalan Cengkeh), Groenegracht (kini Jalan Kali Besar Timur Ill) dan sebagamya. Hal itu menunjukkan bahwa pada zaman Kompeni, di sana terbentang Kali-kali buatan.

Pancoran: Pemasok Air Minum

Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan barang, sungai-sungai itu “tempo doeloe” juga menjadi sumber air minum utama bagi warga kota. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum. Air kali itu mula-mula ditampung (dalam semacam waduk waterplaats atau aquada). Lokasi waduk itu semula dibangun dekat benteng Jacatra di bagian utara kota kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok yang sekarang.

Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 m). Kemudian daerah sekita lokasi waduk dinamakan Pancuran, yang di lidah orang Betawi menjadi Pancoran. Dari sana air diangkut dengan perahu ole para penjual air (waterboeren) dan dijajakan ke kota.

Tampaknya pengertian masyarakat tentang higina dan kesehatan pada masa itu masih sangat terbatas. Air Kali Ciliwung itu diminum begitu saja tanpa proses penjernihan seperti yang sekarang dijalankan oleh PAM.

Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada masyarakat Belanda. Pada abad ke- 18 dan dasa warsa pertama abad ke-19 itu, penyakit disentri, typhus, bahkan juga kolera, merajalela di antara mereka. Sebagai penyebabnya disebut air Kali Ciliwung tadi.

Buku Dr. de Haan mengetengahkan bahwa tentang hal terakhir itu sempat timbul perbedaan pendapat di kalangan para ‘ahli’ Belanda. Ada ‘ahli’ yang menyatakan pada tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik (voortreffelljk). Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah di pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni. Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin meluas, dan pemukiman makin meningkat, air Kali pun semakin tercemar. Pada tahun 1689 seorang ‘ahli’ lain mencatat bahwa air yang keluar dari pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, balikan berlumpur di musim hujan !

Sekitar tahun 1685 seorang ‘ahli’ lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa di dalam air itu terdapat binatang-binatang halus’ yang tak tampak mata (onzichtbare beesjes). ‘Binatang-binatang halus’ yang tentu tak lain dari kuman-kuman itu akan mati kalau. air dimasak sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Hindoestanners (yang dimaksud tentu orang-orang India) dan orang-orang ‘pribumi’ lainnya.

Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat terpelihara lebih baik jika orang minum air matang. Lebih-lebih karena pada tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang-orang Belanda di sana menganut kebiasaan mengendapkan air minumnya satu hari dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang-orang Belanda di Betawi masih belum yakin.

Teh dan Tempayan

Sementara itu seorang dokter bernama Thunberg menemukan kenyataan, bahwa orang-orang Cina di Betawi yang sehari-hari biasa minum teh, ternyata jarang atau tidak pernah dihinggapi penyakit-penyakit tersebut di atas. Thunberg berkesimpulan bahwa pencegahan penyakit itu bukan soal pemasakan air, tetapi khasiat daun teh!

Seorang ‘ahli’ terkemuka lebih hebat lagi pernyataannya. Air Ciliwung pada hakikatnya tidak seburuk yang dibayangkan orang, asal bisa melupakan sama sekali segala yang biasa dilemparkan ke dalam kali itu. Bayangkan, orang dianjurkan untuk menyingkirkan dari ingatan bahwa Ciliwung antara lain berfungsi sebagai jamban umum.

Anehnya, tidak pernah terlintas dalam pikiran orang-orang Belanda di Betawi untuk menggunakan sumur sebagai sumber air, minum. Padahal waktu itu sudah banyak rumah tinggal yang memiliki sumur. Air sumur pasti lebih jernih dan lebih bebas dari segala macam pencemaran daripada air kali, asalkan cara pembuatannya tepat dan seterusnya terpelihara dengan baik. Tetapi sumur yang sekaligus juga menampung air hujan, pada umumnya hanya dipergunakan untuk berbagai keperluan dapur saja.

Betapapun, akhirnya disadari juga bahwa kondisi air minum berperan penting dalam pemeliharaan kesehatan. Pada hakikatnya antara abad ke-17 dan ke-19 sudah ada usaha-usaha menjernihkan air kali untuk air minum. Caranya sederhana saja. Air itu diendapkan dalam beberapa tempayan (matravan). Mulamula air diendapkan dalam tempayan pertama, lalu dipindatikan ke dalam tempayan kedua, ketiga dan seterusnya. Ketika masuk ke dalam tempayan terakhir, air sudah jernih. Tetapi apakah sekaligus sudah bebas kuman, masih merupakan tanda tanya.

Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara negeri Belanda dan Inggris, diperkirakan bahwa tentara Inggris akan segera mendarat di Betawi. Pemerintah kota Betawi mengeluarkan perintah agar warga kota menghancurkan semua tempayan mereka, kecuali yang sangat diperlukan saja. Maksudnya supaya tentara Inggris tidak memperoleh. air minum bila mendarat di Betawi. Dengan demikian mereka akan terpaksa minum air kali dengan akibat akan kena sakit perut. Sejarah membuktikan bahwa siasat itu tidak efektif.

Cara penjernihan lain ialah dengan menyaring air di dalam leksteen, yakni semacam kendi dari keramik berbentuk tabung dengan keran di bawahnya. Di dalamnya terdapat ‘kendi tabung’ lagi yang lebih kecil, dari sejenis batu karang yang tembus air (poreus). Air dimasukkan ke tabung-dalam itu. Di sana air itu mengendap dan merembes ke tabung-luar yang lebih besar. Kalau keran dibuka, air yang mengucur dari sana jernih lagi sejuk rasanya.

Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum, sekaligus tempat menyimpan persediaan air pun sudah tidak asing lagi bagi rakyat sebelum orang Barat ke sini. Kendi air juga sudah umum dipergunakan rakyat kita di masa ‘tempo doeloe’ sekali. Bedanya kendi dan tempayan-tempayan kita terbuat dari tanah liat.

Dikirim air dari Bogor

Sementara itu ada juga orang-orang Belanda Betawi yang tampaknya enggan minum air kali dalam keadaan yang sudah dijernihkan sekali pun. Buku Dr. de Haan menyebutkan bahwa sebagian orang Belanda biasa minum Seltzelwater, yakni air impor yang di masa itu sangat banyak didatangkan dari luar negri ke Betawi dengan nama ayer Belanda. Harganya mahal sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen) per guci (kruik) kecil. Sudah barang tentu hanya orang-orang kayaraya saja yang kuat membayarnya.

Orang-orang Belanda yang cukup kuat keuangannya mendatangkan air minum dari daerah Bogor (1773), yakni air sumber yang jernih. Konon gubernur jenderal Belanda pada masa itu juga menerima kiriman air sumber dari Lontho (Lontar, di belakang Bogor).

Sampai dengan dasa warsa ke-2 abad ke-20 ini, penggunaan air sumber untuk minum juga populer di kalangan rakyat Betawi. Semasa saya masili bocah yang suka berlarian di jalan dalam celana monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi ‘gerobak tangki’ yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima (entah di mana pula letak kampung itu).

Air itu dijual per kaleng minyak tanah. Ibu saya selalu membeli untuk menambah persediaan air minum kami (air hujan). Setiap kali turun hujan deras, almarhum ayah saya selalu menampung dan menyimpan sekaligus mengendapkan dalam sejumlah tempayan.

Tulisan Tanu Trh diambil buku BATAVIA “Kisah Jakarta Tempo Doeloe” terbitan Gramedia dalam Intisari, bulan Juni 1980.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved