Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Arsitektur Malangkadak, arsitektur Horotokono

Format : Artikel

Impresum
- : , 2000

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 5 Maret 2000

Isi:

MUNGKIN ini yang dinamakan perjalanan menyusuri waktu dan ruang yang melompat-lompat di satu tempat; antara dunia maya dan dunia nyata yang maya, antara dunia legenda dan dunia balada, antara dunia akal sehat dan dunia orang kehilangan akal. Bayangkan. Sebuah patung "sphinx" setinggi lima meter tegak di atas permukaan tanah, tiba-tiba saja berada di depan mata setelah mobil melewati jalan bergelombang dengan lubang-lubang terbuka dan berebut jalan dengan truk-truk pengangkut material. "Sphinx" itu seperti menjaga gerbang masuk suatu kawasan.

Patung para penari dari zaman Mesir Kuno yang membawa persembahan, alat musik dan menari, yang mengantar perjalanan kemudian setelah melalui gerbang masuk: pasti ini Pulau Paskah di Pasifik, karena beberapa patung kepala dari batu hitam terlempar di sisi kiri jalan masuk. Sedang di sebelah kanan terlihat potongan dinding berisi huruf hieroglif dari zaman Mesir kuno.

Hanya sekitar lima puluh meter, tampak sekawanan kijang kencana. Oooo… rupanya Rama dari Ayodya bersiap meluncurkan anak panahnya, dan Rahwana yang mengepit Dewi Sinta, istri Rama, tengah bertarung dengan Jatayu.

Lalu tiba-tiba saja kami "dikepung" para monyet anak buah Hanoman dalam Epos Ramayana yang seperti menyongsong perjalanan ke "colosseum", tempat para gladiator bertarung melawan binatang buas di Roma, satu bentuk "kebudayaan" Romawi yang dimulai pada tahun 72. Mudah-mudahan para perancang perumahan itu ingat bahwa colosseum kemudian tempat pembantaian para martir Kristen. "Colosseum" itu seperti pintu masuk menjumpai Dewa Neptunus di "tengah samudera" (kolam besar, maksudnya) yang dikelilingi naga laut dan di tepi danau tampak kuil pemujaan para dewa dan dewi dalam legenda Yunani Kuno. Dari titik itu mulai tampak rumah-rumah bertingkat dua yang dibangun berjajar, massal, dengan arsitektur entah bergaya apa.
Menyaksikan pemandangan luar biasa itu, terselip rasa "kagum" membayangkan perancangnya yang "kreatif" (lebih tepatnya nekad) menghadirkan "petualangan" dari zaman ke zaman di tengah lanskap sebuah perumahan mewah yang luasnya sekitar 100 ha di kawasan timur Jakarta.

Khusus patung sphinx, patung berkepala manusia berbadan singa itu tegak menatap lurus setinggi lima meter. Di Giza, Mesir, sphinx seperti menjaga piramid, struktur monumental dari batu yang dibuat pada masa Kerajaan Mesir Kuno yang juga berfungsi sebagai kuburan dan penyimpan mumi (mayat yang diawetkan) para farao. Jadi, sekreatif apa pun, patung serupa sphinx di depan gerbang sih rasanya memang jadi terasa mengada-ada…

SEKITAR 100 meter dari kawasan itu, tampak pemandangan yang tak kalah hebatnya pada gerbang suatu kawasan permukiman mewah yang konon mengantongi izin seluas 1.000 ha. Paling tidak kami menjumpai sepotong "Eropa kuno" di sana.

Dua patung mirip Dewa Atlas yang memanggul bola dunia, menyongsong di bagian depan sisi kanan-kiri gerbang masuk. Di sisi kanan-kiri bagian dalam terdapat arcade bergaya Renaissance mengapit karya instalasi berbentuk setengah lingkaran besar dengan patung-patung kecil bergaya Eropa abad pertengahan yang melayang di beberapa bagiannya, seperti piazza di Italia.

Pemandangan itu mengantarkan kami memasuki bulevar dengan lanskap yang menyejukkan mata. Di kiri-kanan jalan ditumbuhi semak dari tanaman tropis pilihan dikelilingi rumput hijau tebal yang tampak sangat terawat. Tiba-tiba bangunan berwarna permen warna-warni (seolah-olah) berarsitektur gaya "Disneyland" menyita pemandangan di depan. Ah… bangunan kantor pemasaran, rupanya.

Ketika memasuki bangunan itu, terasa sebersit keraguan, sampai harus diyakinkan kembali oleh satpam, itu betul kantor pemasaran. Soalnya, meja berjajar di kanan-kiri hall yang dihuni wajah-wajah cantik karyawan pemasaran itu mengesankan suasana agak asing: bukan seperti ruang pemasaran, tetapi ruang pengadilan.
Di kawasan perumahan dengan harga terendah Rp 92 juta tunai atau Rp 104 juta dengan harga tunai bertahap selama 12 bulan itu untuk T29/72 (tipe aslinya "rumah sederhana" atau RS) di kelompok (cluster) Pesona Amerika itu – "Tetapi sebentar lagi tanahnya naik Rp 25.000," kata gadis cantik petugas pemasaran – katanya sudah terbangun sekitar 3.000 rumah di atas lahan seluas 300 ha.

"Di sini cara membangunnya inden, hanya dibangun setelah dibeli," lanjut petugas pemasaran. "Harga di sini naik tiap tiga bulan. Tetapi ya laku saja tuh. Waktu saya pindah setahun lalu, baru beberapa yang tinggal di sini. Sekarang mulai banyak. Banyak kok bintang sinetron yang tinggal di sini juga," ujar Ny Atik (30), menyebut nama beberapa bintang sinetron yang sedang naik daun. Karyawati sebuah perusahaan di kawasan Kuningan Jakarta itu merasa beruntung membeli rumah di cluster Pesona Florence yang kaplingnya sudah habis terjual.

PESONA Florence, Italia. Atau pesona-pesona lainnya seperti yang berkali-kali muncul dalam iklan di media massa cetak atau audio. Mungkin karena temanya "pesona" itu orang dibuat seolah-olah berada di Florence. Tetapi jangan banyak berharap mendapatkan bayangan Kota Florence di Tuscany, Italia, yang mampu membawa pengunjungnya menengok sejarah dan merasakan aura masa lalu kota itu.

Di cluster Pesona Florence, yang dijumpai adalah bangunan-bangunan rumah massal berlantai dua, dengan halaman tanpa pagar mirip model townhouse. Lingkungan binaannya tampaknya memang dibuat senyaman dan seakrab mungkin untuk kelompok masyarakat kelas menengah yang lari dari kepengapan Jakarta.
Pada gerbang masuk cluster Pesona Paris, kami disongsong tulisan timbul Bienvenue a Paris dan gapura menyerupai Art d’Triomphe di Paris yang aslinya bisa dipakai untuk lewat 14 kereta kuda, serta patung-patung lainnya yang menyerupai patung dari zaman Renaissance. Satpam yang menjaga dengan sopan memberi kartu, menyilakan mobil masuk.

Seperti cluster lainnya di Pesona Wina, Pesona Kyoto, Pesona Amsterdam, Pesona Denhaag, jalan masuk ke Pesona Paris tampak sangat asri dengan lansekap taman yang menyejukkan mata. Tetapi, sekali lagi, jangan berharap menemukan Paris di cluster itu.

Kecuali gerbang masuk yang "ke-paris-parisan", semua rumah di dalamnya tak lebih dari jajaran bangunan bertingkat dua yang dibangun secara massal, dengan halaman tanpa pagar dan jalanan yang lapang. Beberapa bagian jendelanya tampak hanya berupa hiasan, dan tampaknya rumah-rumah tersebut dikonstruksikan untuk menggunakan pendingin ruangan. Lingkungannya tampak tertata dan terpelihara.

Beberapa rumah sudah ditambah dengan beragam bentuk tempelan yang menunjang fungsi penghuninya, seperti atap untuk garasi terbuka di depan rumah. Di beberapa rumah tampak tempelan patung kepala singa kecil di dinding taman, seperti miniatur kepala patung-patung singa di Helgeandsholmn, bagian utara kota tua Stockholm, Swedia.

Yang menarik adalah baliho-baliho bertuliskan Opera de la Concorde, Paris dan lain-lain di pinggir jalan. Tentu tidak relevan menanyakan di mana Opera de la Concorde. Namanya saja seolah-olah. Jadi kalau obyeknya maya, ya boleh-boleh saja.

Kami sempat singgah di Sentra Komunitas Pesona Paris, suatu pusat berkumpul warga (idealnya) yang sore itu tampak sepi, hanya dikunjungi beberapa orang. Pos penjaga menuju ke pintu kawasan itu terlihat kotor, meski dibangun sesuai warna lingkungannya. Dindingnya penuh coretan. Lantainya kusam seperti tidak pernah dibersihkan.

Gambaran sketsa di kantor pemasaran yang begitu mewah hampir tidak bersisa (namanya saja sketsa…), kecuali toko-toko kecil seperti mini market dan laundry untuk kebutuhan cepat penghuninya. Juga ada beberapa restoran, malah ada yoghurt Cisangkuy Bandung yang rasanya spesial itu. Restoran Betawi di tempat ini bernama Le Batavia. Yang ditawarkan sop buntut juga.

STREET of London sekarang ada di kawasan Puncak, Jawa Barat. Ini adalah tema dagangan baru yang ditawarkan satu perusahaan real estat yang membangun vila di kawasan itu. Kalau melihat promosinya di Plaza Senayan beberapa waktu lalu, rasanya menarik juga melihat semua pemandangan di jalanan Kota London lama yang dilengkapi patung-patung kardus para serdadu penjaga istana.

"Masih dalam pembangunan. Itu wilayah yang baru kita buka," kata petugas dari kantor pemasaran yang segera mengangsurkan brosur-brosur rumah vila di atas area yang mendapat izin seluas 180 ha termasuk bukit-bukit yang tampak gundul karena dikelupas.

Di tempat ini katanya telah terbangun sekitar 2.000 vila yang dibangun dengan cara indent juga. Harga termurah dengan satu kamar (T47/130) sekitar Rp 170 juta tunai. Street of London yang tengah dibangun itu harganya lebih Rp 750 juta dan katanya sudah dibeli enam kapling.

"Di sini banyak yang akan dijual lagi. Hubungi saja kantor pemasaran," ujar seorang satpam ketika kami mengelilingi kompleks yang dibangun dengan tema-tema kota di dunia itu. Suasana di kawasan yang dibangun untuk tempat peristirahatan itu tampak sepi. Hanya satu-dua penghuni yang tampak. Itu pun ternyata bukan pemilik, tetapi kerabat pemilik yang sedang diserahi tanggung jawab oleh pemiliknya untuk mengawasi renovasi bangunan.

"Kita menyediakan satpam dan tenaga yang memelihara serta membersihkan halaman. Untuk itu ada iuran wajib antara Rp 120.000 – Rp 220.000 sebulan," kata petugas kantor pemasaran itu.

Di sebuah bukit yang sudah tampak gundul di kawasan real estat itu, katanya tidak akan dibangun untuk vila. Tetapi, "Kami akan membangun corporate lodge di sana. Nantinya akan ada fasilitas olahraga dan berbagai fasilitas lainnya di situ," lanjutnya.

Tak jauh dari kantor pemasaran, terdapat tempat bermain anak yang menyerupai Disney Land. Di bagian depan, ada patung ksatria Eropa abad pertengahan dengan baju besinya, seperti menjaga pintu masuk.
"Penghuni mendapat diskon 20 persen untuk menikmati fasilitas yang disediakan," jelas petugas lagi.

DI kawasan ini (sungguh) kita bisa berteriak "kagum". Lumayan untuk menghilangkan stres dan sejenak melupakan krisis ekonomi serta aksi-aksi unjuk rasa yang terus berlangsung di jalanan Jakarta.

Sayangnya tawa kami bukanlah tawa kegembiraan. Ada rasa getir menyaksikan tempelan-tempelan arsitektur dari belahan dunia lain untuk bagian depan rumah dan bentuk secara umum. Malah ada bunga-bunga impor di depan beberapa vila bertema kota-kota di Eropa dan patung-patung tiruan untuk menegaskan kesan seolah-olah itu. Ada juga bentuk rumah dengan atap seperti iglo, rumah orang Eskimo, dengan warna-warna cerah. Lanskap kawasan ini juga dibuat mirip tema-tema kota dunia yang ditawarkan.

Akan tetapi, itu hanya kesan sepintas. Semakin jauh mengamati vila-vila di kawasan Puncak itu, semakin tampak keanehan-keanehan mencolok, khususnya alat pendingin tampak menempel di bagian luar rumah dan jendela yang ternyata hanya hiasan. Pintu masuk di vila-vila dengan dua kamar tidur itu terasa kecil dan sempit. Setiap rumah mempunyai perapian dan "cerobong asap" seperti rumah-rumah di benua yang punya empat musim.

Beberapa penghuni mulai berkreasi menambah bangunan yang tidak disesuaikan dengan bangunan asal. Tetapi ini menyangkut soal selera dan hak. Kalau sudah dibeli tidak ada satu pihak pun yang berhak menegur si pemilik yang ingin membuat rumahnya menjadi seperti apa, sepanjang ada izin resmi, sepanjang tidak merugikan orang lain.

Sayangnya, sulit membayangkan sekumpulan vila di sebuah real estat yang berderet-deret bermodel sama, bertipe sama. Juga sulit membayangkan vila dengan lanskap yang terkesan amat artifisial itu. Yang lebih terasa adalah kawasan real estat biasa yang dibangun di Puncak, Jawa Barat, kawasan peristirahatan yang saat ini dipenuhi bangunan dan rawan longsor.

Ternyata wabah aneka pesona itu bukan cuma milik Jakarta dan kawasan sekitarnya atau kawasan Puncak. "Gejala serupa tentang hunian bernama aneh juga ada di Bandung Utara," ungkap Setiadi Sopandi dari Arsitek Muda Indonesia. "Potensi konflik di kawasan itu adalah pembangunan fisik versus daerah resapan air, dan kawasan pemukiman mewah yang dihuni hanya akhir pekan versus kawasan miskin (di pinggiran kompleks perumahan)."

"Ini namanya arsitektur malangkadak, sana ndak, sini ndak. Ini arsitektur yang merusak. Saya heran kok ndak ada arsitek yang teriak," kata Ir Hilman Asnar, pemilik PT Hilman dan Mitra, yang kebetulan ditemui di lokasi itu.

"Tahu apa bahasa Jepang rumah-rumah yang katanya bergaya Kyoto itu?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Arsitektur horotokono," ia menjawab pertanyaannya sendiri sambil tersenyum, karena horotokono merupakan plesetan bahasa Jawa yang agak sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Tetapi, kira-kira artinya, "sukurin" atau dalam bahasa yang lebih populer, "Nah lo, nah lo"! (nmp/arb/mh)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved