Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Alwi Shahab -
: , 2003
Deskripsi
Dalam:
Republika Minggu, 20 Juli 2003
Isi:
Terletak di belakang Gedung Museum Bahari di jalan Pasar Ikan, sebuah kawasan kota tua di Jakarta Utara, terletak Kampung Luar Batang. Kampung yang persisnya terletak di Kelurahan Penjaringan ini merupakan pemukiman tertua di Jakarta mengingat perkiraan terbentuknya keberadaan pemukiman ini sejak tahun 1630-an. Dan kampung ini boleh dikata sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu.
Pasalnya, di kampung ini terdapat sebuah masjid tua yang banyak didatangi pengunjung bukan hanya dari ibukota tapi juga dari berbagai daerah di Indonesia. Peyebabnya, di Masjid Luar Batang ini terdapat makam Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Ia dimakamkam di masjid ini pada hari Kamis 27 Ramadhan 1169 Hijriah atau 24 Juni 1756. Alaydrus dikabarkan meninggal dunia saat masih bujangan.
Alaydrus yang menjadi guru agama di masjid yang kala itu letaknya berdekatan dengan benteng (kastil) VOC merupakan imigran dari Hadramaut. Ia adalah pendatang terawal sebelum para pendatang keturunan Arab lainnya kemudian ditempatkan di Kampung Pekojan, Jakarta Barat.
Jika mendatangi masjid Luar Batang pada malam Jumat kita akan mendapati ribuan peziarah yang datang dari berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Ini terlihat dari nomor polisi mobil-mobil yang diparkir di pintu gerbang depan Muuseum Bahari. Banyak diantara peziarah menginap di makam itu. Sepanjang malam para peziarah membaca ayat suci di depan makam almarhum.
Karenanya tidak heran bila jamaah salat subuh di hari Jumat meluber hingga ke pekarangan masjid. Menurut seorang kuncen di sini, para peziarab juga ada yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Itu sebabnya kalau keberadaan makam ini menarik perhatian para wisatawan yang ingin menyaksikan tempat-tempat bersejarah di ibukota. Sebuah jaringan televisi dari Yaman pun sempat melakukan liputan di kawasan masjid ini.
Kembali ke perkampungan Luar Batang, di abad ke-17 tidak lama setelah berdirinya VOC, pemukiman ini merupakan tempat persinggahan sementara para awak (tukang perahu) pribumi yang ingin masuk ke pelabuhan Batavia (Sunda Kelapa). Ketika itu, penguasa VOC menerapkan peraturan yang tidak mengizinkan perahu-perahu pribumi masuk ke alur pelabuhan pada malam hari. Demikian juga tidak boleh keluar pelabunan di waktu yang sama.
Selain itu, seluruh perahu yang keluar masuk harus melalui pos pemeriksaan. Pos ini terletak di mulut alur pelabuhan dan di sini diletakkan batang (kayu) yang merintangi sungai guna menghadapi perahu-perahu yang keluar masuk pelabuhan sebelum diproses. Setiap perahu pribumi yang akan masuk diperiksa barang muatannya dan senjata-senjata yang dibawa harus dititipkan di pos penjagaan. Sedangkan perahu-perahu pribumi yang tidak bisa masuk pelabuhan, di luar batang (pos pemeriksaan) harus menunggu pagi hari.
Ada kalanya mereka menunggu beberapa hari sampai ada izin masuk pelabuhan. Selama menunggu, sebagian awak perahu turun ke darat. Kemudian mereka membangun pondok-pondok sementara. Lambat laun tempat ini dinamakan Kampung Luar Batang, yakni pemukiman yang berada di luar pos pemeriksaan. Sekitar 1660-an, VOC mendatangkan para nelayan dari Jawa Timur dan ditempatkan di lokasi pemukiman Luar Batang. Pemimpin dari nelayan tersebut pada 1677 dianugerahi pangkat kehormatan Luitenant (letnan). Pemimpin itu bernama Bagus Karta.
Lokasi pemukiman Luar Batang sendiri sebelumnya merupakan daerah rawa-rawa. Lama kelamaan daerah ini teruruk oleh lumpur dari kali Ciliwung, terutama setelah berdirinya Kampung Muara Baru yang kini merupakan kawasan kumuh di dekat Luar Batang. Sejak masa VOC, penguasa kolonial yang sering mendatangkan tenaga kerja guna membangun pelabuhan dan kastil Batavia menempatkan para pekerja yang berdatangan dari berbagai daerah itu di Kampung Luar Batang.
Jadi, kondisi kekumuhan pemukiman tertua di Jakarta yang luasnya 16,5 hektare ini sudah berlangsung sejak awal masa VOC. Pasar yang ada di kawasan itu sendiri yang kemudian hingga kini dikenal dengan nama Pasar Ikan baru dibangun pada tahun 1846. Lokasi Pasar Ikan ini dulunya adalah laut.
Suatu malapetaka terjadi saat pembangunan perluasan dermaga pelabuhan Batavia. Kurang lebih 16 ribu pekerja meninggal dunia akibat penyakit menular yang berjangkit di lokasi pemukiman akibat tingkat kekumuhan yang melewati ambang batas. Warga Belanda sendiri pada awal abad ke-19 telah meninggalkan kawasan Pasar Ikan karena dianggap merupakan daerah tidak sehat dan menjadi sember penyakit yang menyebabkan kematian.
Saat aktivitas utama pelabuhan Sunda Kelapa dialihkan ke Tanjung Priok (1886) akibat pengdangkalan, lokasi pemukiman Luar Batang tetap padat. Ini dikarenakan kegiatan keluar masuknya perahu dan pelabuhan Pasar Ikan (Sunda Kelapa) yang sudah telanjur hidup.
Kalau saat ini kawasan Kampung Luar Batang masih sangat padat penduduknya karena lokasinya yang berdekatan dengan berbagai kegiatan nelayan, perdagangan ikan (lelang ikan berlangsung dari sore hingga pagi hari), pelabuhan Sunda Kelapa, industri dan perdagangan, serta aktivitas perkantoran dan perbengkelan.
Faktor lain penyebab kumuhnya kawasan ini karena adanya gelombang urbanisasi yang cukup besar akibat keamanan pada 1950-an dan 1960-an, seperti pemberontakan-pemberontakan DI/TII dan Kahar Muzakar. Kenyataan ini ditambah lagi dengan banyaknya orang dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Jakarta karena perputaran uang di Indonesia sekitar 80 persen tumplek di Jakarta.
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved