Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Jangan Biarkan Bromo Menderita

Format : Artikel

Impresum
Tiur Santi Oktavia - : , 2003

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 3 November 2003
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/03/teropong/661021.htm

Isi:

KECANTIKAN Gunung Bromo telah membuat ribuan orang dari berbagai daerah jatuh cinta kepada gunung tersebut. Keunikan pemandangan serta keberadaan masyarakat Tengger sebagai masyarakat asli kawasan tersebut telah menjadi magnet yang menarik wisatawan untuk datang.

Pada tahun 1982, dalam Kongres Taman Nasional Sedunia yang ketiga di Denpasar, Bali, Menteri Pertanian menetapkan Bromo sebagai salah satu Taman Nasional dari 11 Taman Nasional yang ditetapkan saat itu.

Dengan ditetapkannya Bromo sebagai taman nasional, maka perlu usaha konservasi terhadap kawasan alamiah tersebut yang keindahannya bernilai nasional dan internasional yang digunakan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, rekreasi, pariwisata, dan kebudayaan.

Sayangnya, menurut Kepala Balai Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (BTN BTS), Ir Herry Subagiadi MSc, fungsi konservasi ini sering kali tidak didukung oleh semua pihak terutama para pengunjung Bromo.

Sebagai gambaran, Herry mengatakan, saat perayaan Yadnya Kasada, ratusan bahkan ribuan pengunjung datang ke Bromo. "Saat malam hari udaranya kan sangat dingin sehingga kemudian para pengunjung merokok atau membuat api unggun, kemudian tidak dimatikan. Hal-hal seperti ini yang akhirnya menjadi pemicu terjadinya kebakaran di kawasan Bromo-Tengger-Semeru ini," katanya.

Menurut Herry, kebakaran memang selalu terjadi dari tahun ke tahun, karena di kawasan tersebut terdapat banyak bahan yang mudah terbakar, misalnya, rumput kering.

Sampai saat ini, lanjutnya, memang belum ada penelitian yang secara spesifik menggambarkan hubungan yang signifikan antara kebakaran di kawasan Bromo dengan penurunan kualitas lingkungan di sana. "Karena usai kebakaran, begitu hujan pertama datang kawasan tersebut langsung hijau lagi. Selain itu, sekarang cemara gunung juga kembali ditanami, sehingga memang terlihat hijau kembali," kata Herry.

Herry menuturkan, secara tidak langsung, kebakaran di lautan pasir di kaki Gunung Bromo merupakan pembinaan habitat dan merupakan siklus empat tahunan. Maksud dari siklus empat tahunan ini adalah, saat tahun keempat biasanya tumpukan bahan bakar sudah kental sekali sehingga mudah terbakar.

KURANG sadarnya pengunjung Bromo bukan hanya menjadi pemicu kebakaran, namun juga menjadi pemicu lautan sampah di Segara Wedhi seusai Yadnya Kasada.

Tanpa rasa bersalah, pengunjung membuang limbah kertas, plastik, kaleng, dan lain-lain, ke lautan pasir yang seolah menjadi tempat sampah terbesar di dunia.

"Tiap tahun sampah di lautan pasir usai Yadnya Kasada memang menggunung. Oleh sebab itu, setiap tahun saya memang menyediakan tenaga buruh berjumlah 10 orang yang dibantu tenaga kebersihan dari BTN BTS," ujar Herry.

Persoalan lain yang muncul saat upacara tersebut, menurut Herry, adalah padatnya pengunjung ke Gunung Bromo mengakibatkan polusi debu yang mengganggu kenyamanan. Debu-debu halus yang tidak sehat bagi paru-paru tersebut bertebaran di hamparan pasir pegunungan tersebut.

Polusi debu ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor pengunjung yang melintas hingga di kawasan lautan pasir. Gesekan roda, baik kendaraan roda dua maupun roda empat yang melintas di lautan pasir Gunung Bromo, menyebabkan debu bertebaran.

Sebagian besar pengunjung yang tidak membawa masker atau penutup wajah terpaksa menutup hidungnya dengan tangan. Mereka khawatir debu yang banyak bercampur kotoran kuda akan terisap dan menimbulkan penyakit. "Sepeda motor, mobil, dan manusia memang merupakan polutan yang merusak lanskap lautan pasir. Seharusnya orang sadar bahwa lautan pasir tersebut merupakan kaldera yang di bawahnya merupakan saluran-saluran magma. Saluran-saluran ini kalau terkena beban terlalu berat atau terkena getaran yang terlalu besar dari truk atau jip, pasti akan berakibat buruk," kata Herry.

Cukup sudah kebakaran, lautan sampah, debu, dan kendaraan mendera Taman Nasional Bromo. Sebagai pihak yang paling menikmati keindahan Bromo, kita hendaknya jangan lagi membuat Bromo menderita, dengan kesadaran tinggi menjaga lingkungan. (TAV)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved