Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Keheningan Bromo di Tengah Keramaian Pengunjung

Format : Artikel

Impresum
Tiur Santi Oktavia - : , 2003

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 3 November 2003
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/03/teropong/661011.htm

Isi:

MEMULAI perjalanan pertama kali ke Gunung Bromo, Jawa Timur, rasanya sangat menyenangkan. Ratusan kilometer yang harus ditempuh dengan meraba-raba (karena baru pertama kali) tidak terasa karena tertutupi rasa penasaran ingin melihat pesona gunung yang konon menyimpan berbagai legenda tersebut.

TUJUAN perjalanan ke Bromo kali ini untuk menyaksikan upacara Yadnya Kasada yang rutin dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Tengger.

Bromo dapat ditempuh dari beberapa rute yang berbeda. Bisa melalui Wonokitri, di barat laut Bromo dapat dicapai dari Malang atau Pasuruan, atau melalui Lumajang di tenggara Bromo. Selain itu bisa melalui Probolinggo. Pilihan rute yang terakhir merupakan rute yang paling populer sebab perjalanan lewat rute ini relatif lebih mudah dibandingkan dengan yang lain.

Jika mengambil rute lewat Probolinggo, lama perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum dari Malang sekitar empat jam. Perjalanan melalui rute yang lain mungkin akan memakan waktu lebih lama serta lebih baik ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Saat sampai di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, di Minggu pagi yang cerah, pengunjung sudah berkumpul memenuhi jalan. Sebagian besar adalah anak muda yang ingin berekreasi ke Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru.

Kebanyakan dari muda-mudi tersebut datang ke Bromo beberapa hari sebelum puncak perayaan Kasada. Mereka berkemah di sekitar Bromo dan mencoba menikmati alam Bromo yang tetap cantik tidak termakan zaman.

Berbaur dengan keramaian pengunjung, masyarakat Tengger dengan sarung yang diselempangkan di dada untuk menghalau hawa dingin, juga memenuhi jalan menuju ke dataran luas berpasir. Dataran ini yang kemudian disebut lautan pasir atau segara wedhi terletak di kaki gunung Bromo.

Sesekali para pengunjung dan masyarakat Tengger yang berjalan di pinggir jalan harus menutup mulut dan hidung mereka untuk menghindari kepulan debu dan asap dari knalpot jip-jip yang turut berlalu lalang. Jip-jip yang berlaku sebagai kendaraan umum tersebut mengantarkan dan mengambil penumpang dari kaki Gunung Bromo.

Para pemilik jip tampaknya memang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Tarif satu kali pengantaran untuk orang yang belum tahu tarif bisa dikenakan Rp 5.000. Sementara bagi orang yang sudah tahu hanya Rp 3.000. Selain itu, tarif antara siang hari dan malam hari juga berbeda. Semakin mendekati puncak acara, tarifnya semakin mahal.

UPACARA Yadnya Kasada telah dirayakan masyarakat Tengger sejak berabad yang lalu. Perayaannya dilakukan pada tanggal 14 atau 15 pada bulan purnama, pada bulan kedua belas yang biasa disebut Kasada.

Rangkaian perayaan Kasada tahun ini diawali dengan pengambilan air suci di Gunung Widodaren pada hari Rabu (8/10). Sedangkan pada puncaknya adalah Minggu malam hingga Senin dini hari (12-13/10).

Diawali dengan acara pementasan sendratari Roro Anteng Joko Seger, serta beberapa tarian lainnya di panggung terbuka Pendopo Desa Ngadisari. Pementasan tersebut disaksikan oleh bupati serta pejabat daerah yang lainnya.

Kemudian, tepat pada pukul 24.00 dini hari, dilakukan pembukaan keempat pintu gerbang yang dilakukan oleh semua dukun Tengger. Sekitar pukul 02.00, semua dukun melayani umat dan pengunjung yang akan melakukan upacara. Setelah dibacakan persembahan warga suku Tengger, dibacakan mantra oleh dukun-dukun, ribuan warga tersebut dengan perlahan berbondong-bondong menapaki Gunung Bromo.

Dengan diterangi sejumlah obor, mereka mendaki kaki Gunung Bromo diiringi tabuhan ketipung serta pukulan gong. Semuanya dilakukan dengan khidmat.

Sementara itu, pemandangan lain yang terlihat selama upacara yang sifatnya sakral itu berlangsung adalah kelompok-kelompok pengunjung yang bertebaran di lautan pasir melakukan aktivitas masing-masing, seolah tidak peduli bahwa upacara sedang berlangsung.

Sebagian pengunjung yang berkelompok tersebut ada yang tidur-tiduran dan hanya mengobrol sepanjang malam. Ada juga kelompok yang memasang musik menggunakan loud speaker yang dibawa sendiri, dengan warna musik yang modern cenderung ke house music.

Semua keramaian yang ditimbulkan oleh pengunjung tersebut seolah tidak mengusik keheningan Bromo yang hendak menerima persembahan dari masyarakat Tengger.

Suasana khidmat tetap terasa terutama saat pengukuhan dukun, juga saat para dukun melakukan pujastuti dukun. Gaung pembacaan mantra seolah menghipnotis malam menjadi lebih khidmat.

Upacara tersebut berakhir sekitar pukul 04.00 saat langit mulai tampak biru tua berlapis garis putih merah dan hitam. Perlahan semburatan sinar merah muncul di ufuk timur, menyembul dari sebuah gunung yang tampak gelap belum tersinari.

Ketika pukul 05.00, saat langit sudah cerah, bulan purnama masih terlihat bulat terang di langit biru muda. Satu demi satu pengunjung dan pedagang mulai meninggalkan lautan pasir.

Akhirnya, seperti legenda yang telah terpatri kokoh di hati masyarakat Tengger, demikian pula Bromo akan tetap berdiri teguh dalam keheningan meskipun keramaian akan selalu mengusiknya.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved