Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Sampah masih jadi masalah kota besar

Format : Artikel

Impresum
- : , 2004

Deskripsi
Sumber:
Republika: Rabu, 6 Oktober 2004

Isi:

SURABAYA -- Mengatasi persoalan sampah dengan menggunakan incinerator tidak efektif, selain mencemari lingkungan, kapasitas pembakarnya rendah. Hingga saat ini, sampah tetap menjadi masalah di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang. Permasalahan yang muncul, umumnya selain meliputi sistem distribusi di TPS (tempat pembuangan sementara), juga terkait petugas pasukan kuning dan kendaraan bongkar muat sampah sejak dari rumah.

Pernyataan tersebut diungkapkan Sekretaris Wakil Presiden RI, Ir Ririen Prihandarini MS di Surabaya, kemarin (5/10). Menurutnya, penyelesaian sampah dengan cara menimbun ataupun membakar, agaknya masih belum merupakan penyelesaian yang efektif. Tetapi mendaur ulang sampah dan menjadikannya barang yang bermanfaat, akan menjadi alternatif penyelesaian yang ekonomis dan dapat membuka suatu bisnis baru.

"Kenaikan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf hidup masyarakat menyebabkan jumlah sampah setiap hari semakin meningkat. Masalah sampah bila pengelolaannya kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat, seperti bau busuk dan pemandangan yang tidak sedap," tuturnya.

Ririen menjelaskan, perkembangan dan arah kebijakan dalam pengelolaan sampah menjadi keprihatinan masyarakat yang berada dikota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang dan lainnya. Pola penyelesaian masalah sampah di kota besar, kata dia, umumnya bersifat sementara dan setiap tahun memerlukan biaya yang sangat besar.

"Target penyelesaian masalah sampah masih bersifat teoritis, tanpa arah yang jelas dan kurang menyentuh pola hidup masyarakat," ujar dia.

Di beberapa kota di Indonesia, lanjutnya, penyelesaian masalah sampah dilakukan dengan cara menimbun dan membakar melalui peralatan incinerator. Apabila masalah penanganan sampah ini dilakukan dengan cara menimbun, maka membutuhkan lahan yang luas agar dapat menampung sampah dan mengatasi pecemaran lingkungan.

"Sampah dibakar dengan menggunakan incenerator tidak akan efektif, karena untuk membakar sampah organik membutuhkan energi yang besar dan waktu yang lama. Sedangkan karakteristik sampah di Indonesia banyak mengandung organik, sebesar 70 persen hingga 80 persen," paparnya.

Menurutnya, incinerator dapat mencemari lingkungan serta kapasitas pembakarnya rendah. Dicontohkan, sampah DKI yang jumlahnya 22.000 m3 per hari, setara dengan 11.000 ton. Apabila satu hari incinerator bekerja 10 jam, maka untuk peralatannya saja membutuhkan anggaran Rp 30 miliar.

Sementara aktivis lingkungan hidup dari Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, hal yang paling riskan dalam menggunakan incinerator adalah adanya gas H2S yang mencemari udara dan meningkatkan suhu udara.

Di luar negeri, katanya, penggunaan incinerator dibatasi. Selain memerlukan modal yang besar, hasil yang diperoleh tidak memiliki nilai ekonomis. "Tetapi sebaliknya, alat tersebut justru menimbulkan gas beracun yang membahayakan masyarakat di sekitarnya," tandas Prigi.

Permasalahan sampah di kota, kata dia, sebenarnya dapat ditanggulangi dengan cara mendaur ulang menjadi bahan-bahan yang bermanfaat. Peluang bisnis yang bisa dilakukan, yakni mendaur ulang sampah un-organik seperti kertas, plastik, karet, kaca dan logam untuk dijadikan bahan baku industri. "Itu sudah dilakukan oleh pasukan kuning, pemulung, pengepul hingga juragan sampah,"imbuhnya.

Laporan : ita

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved