Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Renovasi Stasiun Kota jangan seenaknya !

Format : Artikel

Impresum
- : , 2004

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 11 Mei 2004

Isi:

Kota, Warta Kota - Rencana PT Kereta Api (PT KA) menyulap Stasiun Jakarta Kota (Beos) lengkap dengan mal bakal terganjal perizinan dari Pemprov DKI. Sebab, stasiun itu termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi UU. Karenanya tidak boleh sembarangan merenovasinya.

Apalagi PT KA maupun mitra swastanya belum pernah mengajukan analisa dampak lalu lintas (andall) bagi kawasan sekitar yang terkenal sebagai biang macet itu. Andall ini dapat menjadi salah satu ganjalan besar yang memberatkan rencana pembangunan mal di Stasiun Jakarta Kota.

Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Rustam Effendy Sidabutar kepada Warta Kota, Senin (10/5) di Balai Kota. Katanya, hingga kini PT KA tidak pernah berkoordinasi soal rencana pembangunan mal itu terkait penataan lalu lintas.

"PT KA itu tidak bisa menuruti kemauannya sendiri seperti sering terjadi selama ini. Instansi ini termasuk yang paling sulit diajak berkoordinasi. Padahal perizinan untuk membangun di kawasan Kota Tua, termasuk kajian dampak lalu lintasnya itu perlu pengkajian teknis yang memakan waktu lama," tutur Rustam.

Menurut Rustam, kawasan Jakarta Kota termasuk kawasan dengan penataan khusus sebagai kawasan bersejarah. Pengaturan lalu lintas di kawasan itu cukup pelik karena memperhitungkan keberadaan bangunan kuno yang dilindungi UU.

Stasiun Jakarta Kota termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi dalam SK Gubernur Nomor 475 tahun 1993. Stasiun Jakarta Kota merupakan satu dari 35 bangunan kuno dan cagar budaya di Jakarta Barat di samping Gedung Tjandranaya (yang kini dikangkangi bangunan hotel Novotel), Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, dan sebagainya.

Sebagaimana diwartakan, PT KA menggandeing PT Sari Bumi Eramaju untuk merenovasi Stasiun Jakarta Kota menjadi stasiun modern yang dilengkapi mal diatas lahan seluas 35.000 meter persegi. Kerjasama dengan pola BOT (built, operate, transfer) itu menelan investasi Rp 239 miliar.

SK Gubernur Nomor 475/1993 antara lain menyebutkan, kegiatan berupa memugar, memperbaiki, mengubah bentuk dan warna, mengganti elemen bangunan, memindahkan, membongkar, mengubah peruntukan, memisahkan sebagian bangunan maupun mengambil atau memindahkan benda-benda bergerak yang merupakan bagian dari bangunan cagar budaya serta lingkungan pekarangannya harus dengan izin Gubernur DKI, dengan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab dalam pelestarian benda cagar budaya, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Asisten Pembangunan DKI IGKG Suena mengungkapkan, rencana pembangunan Stasiun Jakarta Kota harus mengikuti aturan yang berlaku dalam renovasi cagar budaya. Hingga kini pihaknya belum mendapat pengajuan maupun gambaran rencana pembangunan Stasiun Jakarta Kota baik dari PT KA maupun mitra swastanya.

Khusus pengguna KA

Mantan Wakadinas Tata Kota DKI Ismail Zubir berkisah, sekitar dua tahun lalu memang pernah ada yang mengajukan. "Tapi terus hilang begitu saja. Kami juga nggak tahu," katanya. Seperti Museum Nasional (Museum Gajah), tambahnya, perlakuan terhadap Stasiun Kota tak boleh semena-mena. Tapi sah-sah saja jika ada bangunan baru. "Hanya saja bangunan baru itu harus sesuai dengan bangunan lama dan lingkungannya. Tidak boleh bangunan yang sama sekali modern," katanya.

Namun dia juga mengakui, ada suatu dilema. Pasalnya, angkutan umum massal belum mendukung. Di satu pihak, PT KA ingin bisa menambah pemasukan dengan membangun pusat belanja namun kawasan di sana sudah terlalu padat. "Sebenarnya, kalau angkutan umum massal sudah ada, mal bisa dibangun berderet seperti di Orchard Road Singapura atau di negara lain. Di Hongkong, ada mal berjejer sepanjang 5 km. Dan itu menjadi salah satu obyek wisata. Tapi kondisi itu tentu dengan syarat tertentu," paparnya.

"Soal mal memang masih sangat kurang. Jakarta perlu 200 mal. Sekarang baru ada 80. Idealnya di tiap kelurahan ada satu. Kalau saja mal bisa dibangun merata di seluruh wilayah Jakarta, tidak terpusat di beberapa kawasan tertentu, mungkin masalah kemacetan bisa diantisipasi," demikian Zubir. (max/pra)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved