Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Jannes Eudes Wawa -
: , 2004
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 15 Januari 2004
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/15/Properti/802905.htm
Isi:
SEORANG pengembang, Selasa (13/1), tampak kaget ketika mendengar sebanyak 1,5 juta dari 3,6 juta pegawai negeri sipil belum memiliki rumah layak huni. Semula kenyataan itu dianggap sebagai suatu kewajaran, sebab gaji PNS tergolong masih rendah. Akan tetapi, setelah berpikir sejenak, pengusaha tersebut menyatakan fakta itu memiliki dimensi sosial yang luar biasa; kesenjangan sosial bertambah lebar dan kemiskinan pun semakin sulit terpecahkan.
SELAMA ini birokrat selalu dipaksa untuk memberi pelayanan yang optimal. Tetapi, kalau rumah layak huni saja sangat sulit dimiliki, bagaimana mungkin pelayanan yang berkualitas tinggi itu dapat terpenuhi. Ini adalah persoalan serius yang harus menjadi perhatian utama untuk dituntaskan," kata pengembang tersebut.
Akan tetapi, untuk tahun 2004, rumah murah yang dibangun untuk pegawai negeri sipil (PNS) hanya sekitar 100.000. Saat ini PNS yang telah mendaftarkan diri sebanyak 89.000. Uang muka untuk kredit rumah itu difasilitasi Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) dengan dana berkisar Rp 7 juta sampai Rp 8 juta per orang. Dana yang disediakan Bapertarum Rp 2,2 triliun.
Harus diingat, krisis rumah bukan hanya dialami PNS, tetapi juga anggota TNI, Polri, serta kelompok masyarakat lainnya. Jumlah rumah yang belum terpenuhi itu hingga akhir Desember 2003 telah mencapai 6,4 juta rumah. Volume ini selalu meningkat setiap tahun karena dari total kebutuhan rata-rata 800.000 rumah per tahun yang terpenuhi tak lebih dari 100.000.
Kenyataan itu diperparah dengan rusak dan belum direnovasinya sekitar 14 juta rumah yang tengah didiami penghuninya. Bahkan ada lagi 10.000 lokasi dengan luas areal 47.000 hektar yang merupakan kawasan kumuh.
Akar persoalan dari semua itu adalah harga tanah yang selalu meningkat sangat cepat, yakni minimal 50 persen per tahun. Hal ini tak sebanding dengan upah atau gaji karyawan yang mengalami kenaikan maksimal 10 persen per tahun. Akibatnya, rumah yang dibangun tak mampu dibeli sebagian besar masyarakat.
Kondisi itu diperburuk lagi dengan rencana tata ruang yang tidak konsisten dan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang. Apalagi, kemampuan pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan subsidi di bidang perumahan dan permukiman semakin lemah. Karena dana yang dialokasikan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara subsektor lain, seperti jalan raya dan irigasi membutuhkan biaya banyak.
"Akibatnya, tumbuh kawasan perumahan dan permukiman yang tak teratur, tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh, ilegal, dan masih banyaknya masyarakat perkotaan yang tunawisma. Kecenderungan masalah sosial ini terus berkembang setiap tahun. Untuk itu, perlu diberi perhatian yang lebih serius," kata Soenarno.
Kendati demikian, menjadi rakyat miskin di perkotaan seperti DKI Jakarta pun semakin tidak nyaman. Karena pemerintah setempat terus-menerus menggalakkan penggusuran permukiman warga tanpa diimbangi dengan penyediaan rumah kecil yang murah.
Penggusuran yang dibaliknya disinyalir untuk pembangunan pusat perbelanjaan tersebut diyakini berpeluang menimbulkan gerakan sosial secara massal yang luar biasa pada beberapa tahun mendatang. "Inilah yang menjadi kekhawatiran kami sehingga pembangunan satu juta rumah pada tahun 2004 harus disukseskan," kata Soenarno.
UNTUK menyukseskan pembangunan satu juta rumah pada tahun 2004, sebanyak 588 hektar lahan properti yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) segera dibeli Bapertarum. Lahan itu nantinya digunakan untuk pembangunan perumahan sederhana sehat bagi PNS dan masyarakat kurang mampu.
Nilai aset properti BPPN itu kurang lebih Rp 150 miliar dan tersebar di 49 lokasi dalam 15 kota. Ke-15 kota besar itu, antara lain, Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Balikpapan, Pontianak, Semarang, Bandar Lampung, Medan, dan Makassar. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah mengharapkan harga aset properti Rp 150 miliar itu dapat diturunkan lagi.
Pembangunan satu juta rumah itu meliputi 200.000 rumah melalui subsidi dan 200.000 rumah melalui dukungan swasta, serta 600.000 rumah dilakukan melalui program pemberdayaan masyarakat, seperti masyarakat pesisir dan masyarakat kumuh. Total biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan satu juta rumah sebanyak Rp 20 triliun.
Dalam lima tahun terakhir, pembangunan rumah nasional agak stagnan. Akibatnya, persediaan rumah semakin terbatas. Bahkan rumah yang belum terpenuhi telah mencapai 6,4 juta. Jumlah tersebut terus bertambah seiring meningkatnya ketidakmampuan masyarakat dalam membeli rumah dan keterbatasan pemerintah menyediakan subsidi.
"Andaikata setiap tahun bisa dibangun satu juta rumah, diperlukan waktu sekitar 17 tahun untuk membebaskan rakyat dari perumahan kumuh. Hal itu berarti pada tahun 2020 barulah Indonesia terbebas dari perkumuhan," ujar Soenarno.
Sementara itu, fakta juga menunjukkan, setiap tahun, rumah yang dibangun selalu jauh di bawah target. Itu berarti hingga 30 tahun mendatang pun krisis rumah masih dialami sebagian masyarakat Indonesia. Kemungkinan tersebut tentu tidak diinginkan oleh siapa pun, termasuk para pembuat kebijakan.
Harus disadari harga rumah tak hanya ditentukan oleh harga tanah, bahan bangunan, dan ongkos produksi lainnya. Ada hal lain yang dapat menimbulkan harga sebuah rumah menjadi mahal, yakni pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan sertifikat tanah serta pemasangan listrik dan air minum.
Kenyataan di lapangan menunjukkan biaya pemasangan aliran listrik dibebankan kepada konsumen melalui pengembang. Untuk IMB dikenakan sebesar Rp 20.000 per meter persegi, atau sama dengan IMB untuk pendirian rumah bukan subsidi. Akibatnya, untuk rumah tipe 21, biaya IMB sebesar Rp 420.000 dan rumah tipe 36 sebanyak Rp 720.000. Ini yang membuat beban biaya yang dipikul pengembang terlalu berat. Selain itu, biaya pengurusan sertifikat tanah yang dikenakan di setiap daerah tingkat II juga bervariasi, minimal Rp 300.000.
Jika semua pengeluaran yang dibebankan kepada pengembang itu diperhitungkan, harga setiap rumah bersubsidi dari setiap tipe menjadi lebih mahal dari yang telah ditentukan pemerintah, yakni berkisar Rp 24 juta sampai Rp 36 juta per rumah.
Pilihan yang ditempuh ekonomi biaya tinggi harus dicegah. Caranya dengan membebaskan dari biaya penerbitan sertifikat tanah, memberi keringanan ongkos pengurusan IMB, dan kemudahan mendapatkan pemasangan listrik berkapasitas 450 VA sesuai standar kebutuhan rumah murah.
"Kalau setiap instansi terkait memberlakukan kebijakan sendiri-sendiri seperti selama ini, program pembangunan rumah bersubsidi tetap akan tersendat. Makanya, ke depan perlu ada ketegasan dari Presiden tentang peran serta setiap instansi dalam mendukung program rumah murah bagi rakyat kurang mampu," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Real Estat Indonesia Dharmasetiawan Bachir.
MEMASUKI tahun 2004, angin segar pun mulai tampak pada program kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi. Beban bunga yang ditanggung konsumen tidak lagi 12 persen per tahun, seperti pada tahun 2003, tetapi turun drastis. Bunga KPR subsidi bergerak pada kisaran enam persen sampai 10 persen per tahun.
Kebijakan ini otomatis menurunkan jumlah angsuran yang dibebankan kepada konsumen setiap bulan. Itu berarti, peluang pasar perumahan subsidi semakin besar. Peminatnya pun pasti bertambah banyak.
Akan tetapi, keberhasilan pembangunan rumah murah bagi masyarakat kurang mampu, termasuk PNS tidak hanya itu saja. Yang terpenting lagi adalah kesanggupan pemerintah kabupaten dan kota menyediakan tanah di daerah masing-masing guna dibangun rumah seperti dibutuhkan.
Sejauh ini telah ada 101 kabupaten/kota yang menyanggupi memenuhi kebutuhan rumah bagi PNS di daerah mereka. Tetapi, baru 72 kabupaten/kota yang menandatangani nota kesepahaman dengan pengembang. Langkah ini pun masih sulit diyakini bakal direalisasikan, sebab orang Indonesia tergolong gemar melakukan nota kesepahaman dan jarang merealisasikan kesepakatan itu dalam waktu singkat.
Litani kendala yang dihadapi dalam pembangunan perumahan murah sepertinya makin panjang. Ini disebabkan pengembang masih kesulitan mendapat kredit konstruksi, sebab sejauh ini hanya Bank Tabungan Negara (BTN) yang konsisten mengalokasikan dan mengucurkan dana untuk kredit tersebut.
Bank lainnya cenderung memfokuskan pada KPR. Padahal, kredit konstruksi dan KPR saling terkait erat. Kredit konstruksi dibutuhkan pengembang untuk pembangunan rumah, sebaliknya KPR dibutuhkan konsumen guna membeli rumah.
"Jadi, tanpa kredit konstruksi pembangunan perumahan tak berjalan optimal," kata Ketua Umum DPP REI Yan Mogi seraya berharap suku bunga kredit konstruksi pada tahun 2004 turun dari 17 persen menjadi 13 persen sampai 15 persen per tahun.
JIKA ditelusuri, sepertinya keterbatasan dana menjadi salah satu kendala mendasar tersendatnya penyediaan rumah murah bagi masyarakat kurang mampu. Di satu sisi, kemampuan daya beli masyarakat masih rendah, pada sisi lain dengan kondisi ekonomi dan politik nasional yang belum stabil memaksa alokasi dana untuk perumahan dan permukiman melalui APBN makin terbatas.
Pada tahun 1998, pernah terlontar gagasan untuk melakukan terobosan pengembangan sistem pembiayaan bidang perumahan dan permukiman secara berkelanjutan. Termasuk KPR yang bisa dijangkau mayoritas masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Jalan keluarnya adalah pembentukan lembaga pembiayaan perumahan nasional. Selain itu, digalakkan mobilisasi dana masyarakat yang secara makro dapat dikelola dalam lembaga di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, dan kota yang dapat menumbuhkan pasar primer dan sekunder untuk perumahan.
Gagasan ini disambut gembira pengembang dan masyarakat. Ada keyakinan, pembangunan perumahan tak akan mengalami masalah lagi. Masyarakat miskin pun takkan kesulitan membeli rumah dengan harga yang terjangkau.
Akan tetapi, hingga kini gagasan itu belum direalisasikan. Sistem dan lembaga yang diidamkan belum juga terbentuk.
Kelompok Kerja (Pokja) Secondary Mortgage Facility (SMF) yang dibentuk Menteri Keuangan dengan melibatkan instansi terkait juga tidak jelas kerjanya. Ada yang berkilah kebijakan yang mau dibuat adalah sesuatu yang baru sehingga anggota pokja perlu banyak waktu guna mendiskusikan, mengkaji, dan mematangkan materi yang ditugaskan. Padahal, pada akhir tahun 2002, Menkimpraswil menjanjikan pada pertengahan 2003 RUU tentang Sistem Pembiayaan Perumahan Berkelanjutan diajukan kepada DPR.
Menteri Keuangan pun pernah menerbitkan surat keputusan Nomor 132 Tahun 1998 yang membentuk perusahaan fasilitas pembiayaan sekunder perumahan. Namun, lembaga ini pun tidak berfungsi.
Penyebabnya antara lain kurangnya partisipasi pemerintah, khususnya Bank Indonesia (BI), tidak tersedianya insentif bagi bank pemberi KPR untuk berpartisipasi aktif dalam pendirian SMF, dan tidak tersedia insentif perpajakan yang dapat mendorong institusi keuangan
Melihat kenyataan maka program perumahan murah bagi masyarakat kurang mampu takkan berjalan mulus. Rumah yang dibangun bakal tak pernah mencapai target, sebab berbagai fasilitas yang dibutuhkan masih terabaikan.
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved