Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Amdal : Menguntungkan atau merugikan?

Format : Artikel

Impresum
Duke Arie Widagdo - : , 2004

Deskripsi
Sumber:
Suara Karya: Kamis, 19 Agustus 2004

Isi:

Seiring dengan era globalisasi dan pasar bebas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa langkah pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat salah satunya adalah melakukan pembangunan dan pemulihan ekonomi dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebagai faktor penyumbang terbesar berhasilnya pelaksanaan Pembangunan Nasional. Tingginya minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia adalah salah satu indikator bahwa potensi SDA kita sangat kaya dan berlimpah ruah, sehingga berpotensi dapat meningkatkan devisa negara serta mampu memberikan kesejahteraan dan meningkatkan mutu hidup masyarakat.

Semakin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan makin meningkatnya pula dampak terhadap lingkungan hidup terutama dampak negatifnya. Keadaan ini mendorong diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin. Hal ini sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 15: "Setiap rencana usaha/kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup".

Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha telah diatur dalam PP 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Oleh karena itu apa yang ada dalam dokumen Amdal yang di dalamnya berupa hasil penelitian analisis dampak lingkungan hidup (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki dalam rangka kegiatan pengelolaan atau pemanfaatan SDA.

Dari hasil kajian terhadap Analisis Dampak Lingkungan, RPL dan RKL yang diajukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa layak tidaknya suatu kegiatan untuk diberikan izin, dengan pertimbangan bahwa kegiatan itu tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama terhadap masyarakat yang secara langsung merasakannya. Hal inilah yang akan dinilai oleh instansi dan pihak-pihak yang berwenang (tim penilai) dengan memperhatikan kriteria penting mengenai dampak besar yang akan ditimbulkan atas kegiatan/usaha yang dilakukan terhadap lingkungan hidup, seperti tercantum dalam pasal 5 ayat (1) PP 27 tahun 1999, yaitu:

(a) Jumlah manusia yang akan terkena dampak.
(b) Luas wilayah persebaran dampak. (c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.
(d) Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak.
(e) Sifat kumulatif dampak, berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak.

Peran masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal sangat diperlukan sebagaimana telah diatur di dalam UU 23 tahun 1997 dan PP 27 tahun 1997 pasal 33 bahwa saran, pendapat dan tanggapan masyarakat harus dijadikan pertimbangan dan wajib dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan.

Pencemaran yang terjadi di Bumi Nusantara akhir-akhir ini menyebabkan keresahan, kesengsaraan dan penderitaan masyarakat adalah refleksi bahwa tidak berfungsinya peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum sebagaimana mestinya, sehingga apa yang diamanatkan dalam semangat lahirnya UUPLH 23 tahun 1997 dengan berdasarkan pada UUD'45 pasal 33 bahwa mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat, tampaknya masih jauh dari kenyataan. Amdal yang diharapkan sebagai benteng terakhir untuk pelestarian lingkungan hidup dan perlindungan kesejahteraan masyarakat justru mengancam fungsi lingkungan itu sendiri dan bahkan merugikan kehidupan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya kerusakan lingkungan akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA yang ironisnya justru dilegalkan (tidak liar) oleh pemerintah dengan diterbitkannya surat izin melakukan usaha/kegiatan berdasarkan pertimbangan yang ada dalam dokumen Amdal.

Daerah pesisir dan laut dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan SDA seringkali menjadi objek kerusakan lingkungan dari kegiatan-kegiatan industri pabrik dan pertambangan sebagai penyumbang terbesar atas pencemaran pesisir laut melalui pembuangan limbahnya. Apa yang kita lihat dan dengar di media massa mengenai pencemaran Teluk Jakarta, pencemaran Sungai Siak, Teluk Balikpapan, Teluk Banten, Teluk Buyat dan sebagainya yang terjadi di wilayah pesisir laut adalah sebagian kecil masalah pencemaran lingkungan yang muncul ke permukaan sebagai akibat dari reaksi masyarakat atas dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pemanfaatan/pengelolaan SDA yang dilakukan pengusaha atas izin dari pemerintah. Sedangkan manfaat yang diperoleh masyarakat dari kegiatan tersebut jika dilihat pada awalnya (tahap penyusunan Amdal) sangat menjanjikan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan aspirasi dan keinginan masyarakat, namun kenyataannya sekarang justru sebaliknya; penderitaan, kemiskinan, penyakit bahkan kematian selalu mengancam mereka.

Tidak Handal

Apa yang diharapkan dari diwajibkannya sebuah Amdal untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA dengan maksud awal yang mulia meningkatkan taraf hidup bangsa yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam kenyataannya tidak dapat diandalkan. Satu hal yang menarik dari kajian di atas kertas ini ialah pada saat terjadinya keresahan masyarakat sebagai akibat pencemaran yang diduga bersal dari kegiatan pembuangan limbah pabrik (tailing, end of pipe), namun dengan entengnya pengusaha (bahkan pemerintah) berdalih, "Lihat dong dalam dokumen Amdal-nya (dibuat beberapa tahun sebelumnya) apakah kami melanggar atau tidak?"

Dokumen Amdal dalam hal ini merupakan justifikasi atau lebih tepat sebagai alasan pembenar (alibi) yang menjadi dasar pertimbangan apakah suatu ketentuan dianggap telah dilanggar/diabaikan harus berdasarkan pada ketentuan tertulis yang dibuat, sehingga secara hukum apakah layak untuk dimintai pertanggungjawaban.

Pernyataan ini selalu dipakai pihak pengusaha pada saat terjadinya suatu keresahan masyarakat yang meminta pertanggungjawabannya dan menuntut ganti rugi atas lingkungan mereka yang telah tercemar diduga sebagai akibat dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan SDA yang dilakukan pihak pengusaha atas izin pemerintah, sehingga pihak pengusahalah yang harus bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya itu. Namun ceritanya menjadi lain ketika PP 27 tahun 1999 yang tadinya dibuat dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat serta tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, seakan tidak berdaya dalam menemukan makna kebenaran yang hakiki, ironisnya justru berpihak kepada kepentingan pengusaha dan penguasa.

Kejadian ini sebenarnya mengingatkan kita pada era Orde Baru, di mana suatu produk hukum dibuat demi kepentingan pihak tertentu (penguasa saat itu) untuk melegalisasi kebijakan yang diambil pemerintah meskipun hal itu menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, demi untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan ekonominya. Akibatnya, apa pun yang dilakukan, baik oleh pemerintah maupun pengusaha dalam melakukan kegiatan pengelolaan/ pemanfaatan SDA adalah suatu perbuatan yang legal berdasarkan aturan hukum yang ada, sehingga penegakan hukum dan tuntutan hukum yang dilakukan masyarakat terhadap dampak pencemaran yang nyata-nyata terjadi, sebatas di dalam peraturan tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum maka pemerintah atau pengusaha selalu bebas dari tuntutan hukum dan bebas melakukan usahanya.

Dilematis

Pada dasarnya apa yang diamanatkan dalam Konstitusi UUD '45 yang dijabarkan dalam UUPLH 23 tahun 1997 dan diaplikasikan melalui PP 27 tahun 1997 dalam pengelolaan SDA yang dilakukan lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Sekilas kita melihat bahwa pemerintah sangat perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya (dinilai dari segi normatif), namun kenyataannya (empiris) tidak demikian.

Hal ini terjadi karena perangkat hukum yang ada tidak berfungsi secara optimal, serta ditunjang dengan kurangnya peran serta aktif masyarakat, sehingga proses pembentukan Amdal yang seharusnya merupakan tindakan yuridis prefentif hanya menjadi 'kajian di atas kertas' yang dibuat guna memenuhi syarat agar diperoleh suatu izin pelaksanaan eksploitasi, eksplorasi SDA tanpa memperhatikan dampak negatif yang akan ditimbulkan baik terhadap lingkungan itu sendiri maupun terhadap masyarakat yang secara langsung merasakannya. Artinya bahwa pemerintah dalam memberikan keputusan apakah Amdal yang diajukan oleh pengusaha dianggap layak atau tidak harus berdasarkan pada parameter yang telah diatur dalam PP 27 Tahun 1999, setelah mendengar masukan dan aspirasi masyarakat setempat. Peran serta masyarakat setempat dalam hal ini mempunyai makna yang sangat besar dalam menetukan diberikan atau tidaknya izin pelaksanaan kegiatan pengelolaan SDA tersebut.

Dari sini akan terlihat jelas bahwa apabila di dalam proses pelaksanaan Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dilakukan sesuai prosedur dan melalui parameter yang jelas serta melibatkan peran serta masyarakat secara aktif, maka kecil kemungkinan terjadinya keresahan masyarakat bahkan tuntutan hukum sekalipun berkaitan dengan kegiatan pemanfaatn/pengelolaan SDA yang dilakukan pihak pengusaha. Sebab, atas kajian Amdal yang telah disahkan atau dianggap layak adalah tanggung jawab bersama para pihak yang terlibat, mulai dari proses penyusunan sampai dengan disahkannya dan diakui legalitasnya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Namun apabila dalam proses penilaian AMDAL ternyata dianggap tidal layak karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat yang diterima, maka izin eksploitasi dan eksplorasi SDA tidak akan pernah ada, lingkungan hidup semakin lestari jauh dari ancaman kerusakan dan pencemaran, masyarakat tidak akan resah dan sengsara akibat pencemaran lingkungan yang dideritanya. Tapi apakah pemerintah memiliki keberanian untuk tidak memberikan izin sehubungan dengan Amdal yang tidak qualified?

Hal ini sering menjadi polemik yang sangat dilematis bagi pemerintah tentang apa yang menjadi skala prioritas dalam mengambil kebijakan demi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa menimbulkan persoalan baru dengan tidak merugikan salah satu pihak serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kesejahteraan tidak akan dapat dicapai tanpa pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan SDA adalah objek utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi ditambah dengan peran investor sebagai pemilik modal.

Solusi Bijak

Sebagai solusi yang relevan untuk memperkecil resiko dan dampak yang timbul dari kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDA adalah sebagai berikut.

(a) Pengusaha dalam melakukan kegiatannya selalu berusaha menggunakan teknologi tinggi akrab lingkungan yang dirumuskan sebagai Teknolo gi Proaktif yang didasarkan pada konsep penggunaan kembali (reuse), pendaur-ulangan (recycle), pemanfaatan kembali (recovery), pengambilan kembali (recuperation) dan penataan kemba li (remediation).
(b) Pemerintah sebagai pengawas bersifat proaktif, tegas dan lebih ber pihak pada kepentingan masyarakat.
(c) Peran serta aktif masyarakat. Sehingga, apa yang ada di dalam ka- jian Amdal tersebut tidak hanya menjadi kajian di atas kertas yang selama ini merugikan masyarakat dan lingkungan, tetapi lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan itu sendiri.

(Duke Arie Widagdo, SH adalah staf Hukum dan Kelembagaan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, mahasiswa Pascasarjana FH UII).

Subject :

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved