Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Keakraban Arab-Tionghoa Kampung Pekojan di Jakarta Barat Menjadi Contoh

Format : Artikel

Impresum
Iwan Santosa - : , 2005

Deskripsi
Dalam:
Kompas, Rabu, 10 Agustus 2005

Isi:

Bila ingin menyaksikan komunitas Tionghoa yang bersopan-santun gaya Islam, datanglah ke Kampung Pekojan di sisi kawasan Glodok, Jakarta Barat. Masyarakat Tionghoa asli kampung Pekojan memiliki tradisi bersalaman ala Muslim sebagai dampak budaya yang dibawa warga Arab dan India selama berabad-abad.

Siang itu di warung mi ayam milik Ah Lim di sebelah Masjid Annawier Pekojan, orang yang datang Tionghoa, Arab atau Melayu silih berganti dan selalu memberi salam sebelum duduk. Ah Sen dan beberapa orang Tionghoa yang datang belakangan, selalu berjabatan kemudian menyentuhkan ujung jemari ke dada mereka bak seorang Muslim.

Cuma di kampung sini Anda ketemu orang Tionghoa yang meski bukan Muslim, tetapi selalu bersalaman setiap kali bertemu. Semua rukun di sini sejak zaman dulu. Kalau Anda melihat di sekitar sini ada rumah Tionghoa dengan pagar tinggi dan tertutup rapat pasti bukan Tionghoa Pekojan. Kalau Tionghoa asli sini sudah biasa, susah senang bersama-sama. Saya waktu kecil biasa tidur di rumah Ah Lim dan kami main bola sama-sama, kata Faisal Al Amrie warga asli Pekojan keturunan ke-19 Arab Hadramaut (Yaman Selatan).

Dia pun mengaku mengenal percakapan sederhana dalam bahasa Arab Suwayau-suwayau katanya sambil tertawa yang artinya, sedikit-sedikit paham berbahasa Arab. Sebaliknya, Faisal juga mengaku sedikit mengerti Mandarin untuk percakapan sederhana. Sehari-hari pun mereka terbiasa menggunakan kata ana (untuk menyebut dirinya) atau ente (untuk lawan bicaranya).

Demikian pula pada saat Lebaran, Faisal menjelaskan, para tetangga Tionghoa biasa bersilaturahmi ke rumahnya. Sedangkan waktu Sinjia (Tahun Baru Tionghoa dalam dialek Hokkian Red), Faisal menyampaikan Kiong Hie (Gong Xi) sebagai ucapan selamat kepada teman-teman Tionghoa.

Perkawinan

Masyarakat Kampung Pekojan tidak tahu apa itu pluralisme atau radikalisme. Yang jelas selama ini tidak pernah ada keributan atau berprasangka di antara mereka sebagai sesama manusia biasa ciptaan Sang Khalik. Di tengah perkampungan dan bangunan tua yang tercatat berasal dari abad ke-17 masih tertinggal tradisi saling menghargai yang tak lenyap di telan zaman.

Tradisi lain yang terpelihara baik adalah soal perkawinan dan kematian. Faisal mengatakan, kalau ada warga yang meninggal, semua berkumpul. Yang bertakziah tidak pandang bulu. Arab, Tionghoa, Melayu semua kumpul, kata Faisal.

Hukumnya wajib untuk membantu tetangga yang kesusahan di Kampung Pekojan. Lebih unik lagi, kalau urusan perkawinan, semua saling urun modal perkawinan.

Faisal menjelaskan, kalau ada calon mempelai pria yang kesulitan uang untuk modal perkawinan, biasanya yang bersangkutan akan bercerita kepada sahabatnya entah sesama Arab atau Tionghoa. Selanjutnya, kawan tersebut bertindak sebagai perantara dan mengutarakan kesulitan si calon mempelai seraya mengumpulkan dana dari kawan-kawannya yang lain.

Dari aksi solidaritas tersebut sesama warga Pekojan mengupayakan bagaimanapun caranya si calon mempelai pria harus bisa punya modal yang dibutuhkan untuk menikah, kata Faisal.

Berbagi hidup juga dilakukan di saat musim kemarau. Biasanya jika warga kesulitan air, mereka mengambil air di Musola Azzawiyah, Pekojan. Arab, Tionghoa, Muslim ataupun bukan Muslim antre mengambil air di tempat itu.

Petang pun beranjak malam. Suara azan terdengar dan warga Arab Pekojan pun menunaikan ibadah Shalat Magrib. Kesibukan suasana perdagangan di Pekojan pun terhenti dan hari esok akan kembali menjalin keakraban penghuninya.

Kampung Pekojan bukan hanya situs dan komunitas peninggalan sejarah. Pesan kerukunan di tengah kepastian merupakan hal nyata bagi komunitas Kampung Pekojan.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved