Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Kaki di Indonesia, perut di Filipina

Format : Artikel

Impresum
Jean Rizal Layuck - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 1 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/daerah/1789160.htm

Isi:

PULAU Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, adalah teritorial Indonesia. Akan tetapi, jangan tanya soal kewarganegaraan. Mereka pasti bimbang. Tak heran ketika pulau itu dihebohkan dengan kematian Sekretaris Desa Johny Awala, yang diduga dianiaya Kepala Kepolisian Sektor Border Crossing Area Brigadir Polisi Satu Darida, pekan lalu, sejumlah warga mengerek bendera Filipina.

Memang tindakan itu sangat emosional. Tetapi tentunya tidak bisa dianggap remeh. Dalam banyak hal, pola hidup warga Pulau Miangas yang hanya berpenduduk sekitar 750 jiwa itu mirip dengan masyarakat di gugusan pulau-pulau Talaud, yakni menjadi nelayan dan petani. Namun, orientasi ekonomi yang lebih banyak ke Filipina menjadikan warga Pulau Miangas enggan mengaku dirinya orang Indonesia.

Sebaliknya, di Filipina mereka dianggap kaum migran. Kedatangan mereka harus dengan menunjukkan surat perjalanan yang dikeluarkan aparat Kecamatan BCA Miangas. "Kaki kami di Indonesia, tetapi perut di Filipina," kata Julius, warga Miangas.

Di Filipina, rakyat Miangas sebagian besar tinggal di Pulau Saranggani, General Santos, ataupun Davao di Filipina Selatan. Mereka dikenal sebagai pekerja kasar yang ulet. Terjadinya interaksi ekonomi di kedua wilayah itu membuat rakyat Miangas jarang menyimpan uang rupiah. Sebagian besar malah mengaku memiliki peso, mata uang Filipina.

Peso diperoleh dari hasil perdagangan ikan dan kelapa yang dijual ke wilayah terdekat Filipina, yakni Santa Agustien. Uang peso lalu dibelanjakan warga Miangas untuk membeli kebutuhan sehari-hari di daerah General Santos.

Untuk ke Santa Agustien, warga Miangas hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga jam perjalanan dengan pamboat. Begitu juga jika hendak ke General Santos. Jarak Miangas ke Santa Agustien atau General Santos sekitar 60 mil laut. Bandingkan dengan jarak Miangas ke Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud, sekitar 90 mil. Untuk ke Manado warga Miangas akan menempuh waktu sampai dua hari karena jaraknya mencapai 274 mil.

Setali tiga uang juga dilakukan masyarakat Pulau Marore, tetangga Pulau Miangas. Pulau berpenduduk 900 jiwa itu, meskipun masuk wilayah Indonesia, namun interaksi ekonomi masyarakatnya lebih dekat ke daerah Balut, Pulau Saranggani di Filipina. Jarak Marore dan Balut malah lebih dekat, hanya sekitar 40 mil. Kondisi geografis itu memaksa masyarakat Miangas dan Marore

berinteraksi (outward looking) ekonomi secara alamiah ke Filipina.

Julius mengatakan, harga beras dan gula pasir relatif lebih murah dibeli di Filipina ketimbang membeli di Melonguane atau Manado karena mereka juga mempertimbangkan risiko dan biaya perjalanan. Harga beras di Filipina sekitar 20 peso (satu peso sekitar Rp 300).

Jalur niaga yang terbuka di antara pulau-pulau di perbatasan tersebut justru memberi peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat meski dalam skala kecil. Awalnya perdagangan di sana dilakukan secara barter, tukar-menukar barang. Akan tetapi, barter hasil bumi masyarakat Miangas sangat tergantung dengan harga komoditas perkebunan pasar internasional. "Pernah harga satu kilogram kopra hanya lima peso, tak cukup untuk membeli satu kilo beras," tambah Abraham, warga di sana.

Penjabat Gubernur Sulawesi Utara Lucky Harry Korah mengakui keraguan warga perbatasan atas kewarganegaraan Indonesia lebih banyak diukur dari aspek ekonomi. Ia mengatakan, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2004 tentang pemberdayaan ekonomi perbatasan bertujuan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan Indonesia dapat mengatasi problem kesejahteraan. Namun, aplikasi peraturan itu masih dipertanyakan warga setelah ekonomi mereka terpuruk.

Alex Ulaen, dosen Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang concern masalah-masalah perbatasan, mengatakan, perdagangan barter kerap timpang dan merugikan warga Miangas. Ketika kopra melimpah, harganya justru turun saat dijual ke Filipina. Menurut Ulaen, warga sangat kesulitan manakala hasil bumi tidak bisa dijual karena kondisi laut mengganas.

GAMBARAN buruk ekonomi rakyat perbatasan dapat diukur dengan kehidupan normal warga setempat. Dalam setahun masyarakat Miangas hanya bisa makan beras selama delapan bulan. Sisa waktu empat bulan, mereka mengonsumsi galuga, yaitu umbian keras dicampur daging kelapa. Untuk air minum, mereka memanfaatkan air kelapa.

Kehidupan warga Miangas yang terisolasi akibat ganasnya gelombang laut pada musim tertentu, biasanya Desember-Maret, cukup memprihatinkan. "Setiap tahun kami hidup seperti ini," kata Abraham.

Ketika Kompas berada di sana beberapa waktu lalu, masyarakat memang masih memiliki cadangan beras di rumahnya yang berasal dari bantuan Pemerintah Kabupaten Talaud. Tetapi menurut Abraham, meski laut tenang, kehidupan mereka juga sangat tergantung dari kedatangan kapal perintis yang membawa logistik. "Hampir dua bulan kapal perintis Daraki Nusa tidak menyinggahi Miangas. Kapal perintis yang mendapat subsidi dari pemerintah itu dikabarkan rusak," katanya.

Hidup dalam kondisi kekurangan juga dirasakan murid-murid SD dan SMP di Miangas. Sejumlah bangunan SD di Miangas rusak berat. Apabila hujan turun mereka pun tidak bisa belajar. Demikian juga ruangan Balai Pertemuan Umum (BPU) yang dibangun pemerintah rusak parah.

Bangunan yang sekilas tampak kokoh meski telah kusam, hanya monumen perbatasan yang dibangun pada era pemerintahan Gubernur Sulut CJ Rantung, dan diresmikan Panglima ABRI (saat itu) Jenderal Try Sutrisno. Monumen setinggi dua meter dan

lebar enam meter, yang bagian tengahnya terdapat gambar burung Garuda, itu masih berdiri tegak dan menjadi tanda Miangas adalah wilayah Indonesia.

Akan tetapi, nasionalisme warga Miangas terusik manakala mereka terus didera kemiskinan dan kelaparan. Bupati Kabupaten Talaud Elly Lasut mengidentifikasi persoalan Miangas dan pulau-pulau perbatasan lainnya pada aspek kemiskinan.

Menurut Lasut, pembangunan infrastruktur di pulau perbatasan itu sangat minim, sebab terhambat tidak adanya dana pembangunan. Bahkan, untuk membangun gudang penyimpanan beras saja sangat sulit. "Untuk sementara kami hanya bisa menyuplai beras sebanyak 25 ton yang terpaksa disimpan di rumah-rumah penduduk," katanya.

Lasut menyebutkan juga bahwa prasarana kesehatan di wilayahnya cukup terpuruk karena minimnya tenaga medis dan kondisi puskesmas di pulau-pulau yang sudah rusak. Ia menyebutkan, untuk menjangkau wilayah Talaud yang terdiri atas puluhan pulau, pihaknya hanya mengandalkan delapan dokter, termasuk dirinya.

Untuk berobat warga disarankan datang ke Melonguane karena di ibu kota kecamatan itu telah dibangun sebuah rumah sakit yang memadai. Tetapi warga Miangas mengalami trauma gara-gara peristiwa kecelakaan laut pada tahun 1999. Saat itu sebanyak 22 warga Miangas tenggelam ketika perahu mereka diterjang ombak ganas.

"Dengan kondisi ekonomi buruk, miskin, fasilitas kesehatan kurang menunjang, dan sarana pendidikan serba pas-pasan, mana mungkin warga Talaud dapat menjadi penjaga perbatasan andal dan gagah berani. Demi keamanan perbatasan kita, sebetulnya tidak serta-merta menempatkan tentara dalam jumlah besar. Sebab di samping mahal, juga tidak cukup memecahkan persoalan. Alternatif terbaik adalah memberdayakan masyarakat dari sisi ekonomi dan sosial budaya," tutur Lasut.

ELLY Lasut mengungkapkan, pihaknya telah menawarkan sebuah program BTA (Border Trade Area) kepada pemerintah pusat, yang nantinya bisa mendongkrak ekonomi masyarakat perbatasan secara keseluruhan. Dalam BTA tergambar pembangunan infrastruktur ekonomi, jalan, kesehatan, ataupun pendidikan.

Max Ulaen menambahkan, hal prinsip bagi Miangas dan pulau-pulau perbatasan adalah pembangunan ekonomi rakyat. "Monumen perbatasan akan hambar jika ekonominya tidak dibangun," katanya.

(Jean Rizal Layuck)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved