Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Sabtu, 26 Maret 2005
Isi:
DENTANG aduan martil dengan betel terdengar dari kejauhan. Beberapa lelaki menggunakan alat-alat itu untuk melepas satu per satu batu bata yang terbilang kuno dari sebuah dinding tua.
Tanpa disadari, secara perlahan mereka sedang menghancurkan benteng tepi timur Batavia, satu-satunya penanda tersisa batas timur kompleks Batavia yang dibangun sekitar tahun 1740.
Benteng itu terletak persis di pinggir jalan Tol RE Martadinata, Jakarta Utara. Pada Kamis (24/3) siang tampak dua lelaki saling mengulurkan satu per satu batu bata untuk diturunkan di balik dinding atau di sisi utaranya.
Pada siang itu tinggi dinding masih mencapai empat meter lebih. Dentang aduan martil dan betel tetap bergema pertanda masih ada orang lain yang terlibat "vandalisme", merusak peninggalan bangunan berusia 250 tahun lebih itu.
Uni, bocah perempuan berusia sekitar 12 tahun, seraya membuatkan es teh di warung kolong tol, terdekat dengan dinding tua yang sedang dijarah itu, mengatakan, kira-kira sudah sepekan orang-orang itu mengambil batu bata dari bangunan tua tak terawat itu.
Benteng tepi timur Batavia memang tersembunyi. Tetapi, dua bangunan benteng berbentuk rumah limas yang saling berhadapan itu dapat dilihat jelas dari jalan layang Tol RE Martadinata.
MENURUT penulis buku- buku sejarah Jakarta, Adolf Heuken (75), bangunan itu seharusnya diselamatkan pemerintah. Sebab, benteng sisi timur Batavia merupakan satu- satunya yang tersisa sebagai penanda batas wilayah Batavia atau Kota Lama Jakarta di sisi timur.
"Semula, saya melihat perusakan benteng tepi timur Batavia itu saat melintas di jalan tol dari arah Pluit menuju Tanjung Priok, Rabu lalu. Pada hari itu juga saya menelepon Pemerintah DKI Jakarta agar menghentikan perusakan tersebut," kata Heuken, yang juga rohaniwan dan lahir di Jerman, tetapi menetap di Jakarta sejak tahun 1963.
Heuken menuturkan, benteng tepi timur Batavia berada di pinggir Sungai Ciliwung. Benteng itu sekaligus dipergunakan sebagai gudang bahan makanan pada zaman VOC Belanda.
Menilik dua fungsi yang digunakan untuk gudang bahan makanan dan benteng penjagaan wilayah terlihat ada efisiensi penugasan militer. Tentara yang berjaga itu dapat menjaga keamanan persediaan bahan makanan, sekaligus menjaga batas wilayah.
Benteng tepi timur Batavia ini juga dikenal dengan gudang gandum (graanpakhuizen). Letak gudang ini sekitar ratusan meter setelah Menara Syahbandar dari arah laut. Menara itu sekarang dapat dilihat berada di seberang jalan Gedung Galangan Kapal VOC.
Menurut Heuken, sebetulnya bangunan benteng tepi timur Batavia terdiri atas lebih dari dua bangunan yang letaknya saling berdekatan. Namun, beberapa bangunan lainnya di sebelah selatan bangunan yang tersisa sekarang sudah dibongkar untuk jalur jalan layang Tol RE Martadinata.
Selain benteng tepi timur Batavia, juga dikenal benteng tepi barat Batavia (Westzijdsche Pakhuizen/Gudang Tepi Barat).
Benteng tepi barat Batavia sekarang dikenal sebagai bangunan Museum Bahari, dulunya benteng tepi barat Batavia itu sekaligus berfungsi sebagai gudang bahan makanan pula.
Di benteng tepi timur Batavia dipergunakan untuk menyimpan gandum, beras, kacang tanah, kacang ijo, kue- kue kering untuk perbekalan kapal, dan sebagainya. Di benteng tepi barat Batavia dipergunakan untuk menyimpan hasil perkebunan, seperti lada, kopi, teh, atau kain dalam jumlah besar.
Efisiensi militer zaman VOC Belanda waktu itu terlihat jelas. Gudang bahan makanan perlu diawasi tentara, sekaligus tentara itu berjaga untuk pertahanan wilayah Batavia.
DARI perihal pertahanan Batavia ini, Heuken dalam bukunya berjudul Historical Sites of Jakarta yang disadur menjadi buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1995) menceritakan, ada kisah lucu saat penyerangan kedua pasukan Kerajaan Mataram di Yogyakarta ke benteng tepi selatan Batavia (1629).
Kisah lucu ini sebelumnya dilaporkan Johan Neuhoff dalam buku berbahasa Jerman, Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an den Tatarischen Cham, yang diterjemahkan dari naskah Belanda 1666.
Benteng tepi selatan Batavia saat itu terletak di dekat Gereja Portugis di kawasan Stasiun Kota sekarang. "Pada penyerbuan itu, pasukan Belanda tak sanggup lagi mempertahankan kubu karena kehabisan amunisi," kata Heuken.
Dalam situasi genting itu, lanjut Heuken, Sersan Hans Madelijn dari daerah Pfalz (Jerman) mendapat siasat gila. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyiramkan tinja kepada pasukan Kerajaan Mataram yang berusaha memanjat tembok benteng.
Ketika dihantam dengan "peluru" jenis baru itu, pasukan Kerajaan Mataram lari sambil berteriak marah. "Dari peristiwa itu, untuk pertama kali kata-kata Melayu tercatat dalam buku berbahasa Jerman," kata Heuken.
Mau tahu kata-kata itu?
"O seytang orang Ollanda de bakkalay samma tay!" (Nawa Tunggal)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved