Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Pasca-KAA, Sampah di Bandung gawat

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 26 April 2005

Isi:

Bandung, Kompas - Pasca-peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-50, masalah sampah di Kota Bandung diperkirakan akan sangat gawat sebab sekitar bulan Juli nanti Kota Bandung dan Cimahi tidak lagi memiliki satu pun tempat pembuangan akhir sampah. Tempat pembuangan akhir sampah darurat di Cicabe dan Pasir Impun akan habis masa pakainya pada awal bulan Mei 2005 ini, sedangkan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Jelekong akan habis masa pakainya bulan Juli tahun ini juga.

Demikian dikatakan Prof Dr Ir Enri Damanhuri, peneliti sampah di Bandung, Senin (25/4). Permasalahan sampah Bandung yang semakin gawat ini sudah disampaikan Enri kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Jumat (22/4).

Dengan habisnya masa pakai tempat pembuangan akhir (TPA) di ketiga tempat di atas, Kota Bandung dan Cimahi tak lagi memiliki satu pun TPA.

Setelah TPA Leuwigajah ditutup akibat bencana longsor pada 21 Februari 2005 lalu, Kota Bandung membuang 3.000 meter kubik dan Kota Cimahi membuang 100 meter kubik sampah ke TPA Jelekong. Bulan Maret lahan terbuka di TPA Jelekong tinggal 300.000 meter persegi.

"Kalau dihitung-hitung, sekitar Juli sudah habis masa pakainya. Kalau dipaksakan tidak bisa lagi karena sampah akan menggunung dan berbahaya. Lagipula, TPA Jelekong pada dasarnya memang sempit," ujar Enri.

Kalau tetap mau memaksakan diri, misalnya, dengan menggunakan seluruh kapasitas TPA darurat Cicabe dan Pasir Impun, itu hanya bisa bertahan sampai September 2005.

Alternatif lain, setelah TPA Jelekong habis masa pakainya, sampah dapat dibuat ke dua TPA di Kabupaten Bandung, yaitu ke TPA Babakan dan Pasirbulu, yang masa pakainya habis pertengahan tahun 2006. "Artinya, pertengahan tahun depan masalah sampah di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan di Kabupaten Bandung akan semakin gawat," ujar Enri.

Paling cepat dua tahun

Sementara Proyek Greater Bandung Waste Management Corporate (GBWMC) pun mustahil dilaksanakan di tahun 2006. Kalaupun investor Malaysia setuju bekerja sama, maka paling cepat dua tahun lagi proyek tersebut berjalan.

"Untuk studi kelayakan saja butuh waktu sampai Desember 2005. Setelah itu harus memproses analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), membuat desain, dan membangun sarana. Itu membutuhkan waktu sekitar dua tahun," ujarnya.

Untuk kembali memfungsikan TPA Leuwigajah, banyak masalah belum selesai. "Hal yang paling penting diselesaikan adalah masalah sosial, misalnya, merelokasi penduduk dan mengganti kerugian masyarakat akibat bencana longsor di Leuwigajah," ujar Enri.

Menurut informasi yang didapatnya, untuk relokasi penduduk butuh dana sekitar Rp 50 miliar, sedangkan untuk memfungsikan kembali TPA Leuwigajah perlu dana rehabilitasi awal sekitar Rp 65 miliar.

"Tetapi, sampai sekarang belum tahu dana itu dari mana dan berapa porsi untuk Pemerintah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, dan pemerintah pusat," kata Enri. Padahal, andaikan Leuwigajah akan dipakai lagi, masalah sosial dan rehabilitasi awal harus dilaksanakan secepatnya.

Untuk rehabilitasi TPA Leuwigajah dibutuhkan waktu sekitar enam bulan hingga satu tahun. Dibandingkan dengan TPA lain, TPA Leuwigajah memiliki kapasitas paling memungkinkan untuk mengelola sampah dari tiga wilayah.

Menurut Enri, untuk menangani masalah persampahan tersebut, Menneg LH Rachmat Witoelar mengusulkan agar mencari lagi sesegera mungkin calon TPA darurat.

"Tetapi, mereka harus memperlakukannya betul-betul sebagai TPA darurat. Jika masa pakainya sudah habis, ya habis. Jangan dipakai lagi," kata Enri. Mengutip Rachmat, Enri mengatakan, untuk TPA darurat akan dibuatkan amdal dan penilaian teknis secara darurat, yang bisa selesai dua tiga hari. Amdal ini selain tetap mementingkan faktor lingkungan, juga tidak berada di dekat permukiman padat dan tidak menimbulkan masalah pada sumber air di wilayah itu.

Selain mencari TPA baru, pemda tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten sudah saatnya mulai menggencarkan pendidikan lingkungan, terutama soal penanganan sampah, mulai dari rumah dengan melakukan pemilahan, untuk mengurangi volume sampah.

"Dari sampah yang terangkut sekarang, masih ada 50 persen sampah belum terangkut dan berada di rumah-rumah penduduk atau di tempat pembuangan sementara," katanya. Dengan tutupnya TPA Jelekong, bisa 100 persen sampah tidak terangkut.

Direktur Utama Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung Awan Gumelar mengakui, Pemerintah Kota Bandung hingga kini belum menentukan lokasi TPA sampah yang baru. (Y09/lkt)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved