Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Desain rumah antibanjir dari Rotterdam

Format : Artikel

Impresum
Parmonangan Manurung - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 17 Juli 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/17/desain/1873278.htm

Isi:

Pergeseran perilaku alam pada berbagai titik di belahan dunia membawa perubahan struktur alam yang berdampak pada ketidakstabilan kondisi manusia di dalamnya.

Kehilangan keberpihakan alam membawa kesadaran pada beberapa pihak untuk mencoba menjalin kembali persahabatan dengan alam. Bencana tsunami pada penghujung tahun 2004 yang melanda Asia mengantar pada terbentuknya tema Flood pada acara tahunan International Architecture Biennale di Rotterdam, Belanda, tanggal 26 Mei-26 Juni 2005. Acara ini mengintegrasikan pameran, seminar, diskusi, masterclass, dan aktivitas lain dalam satu tema.

Dalam acara masterclass, 70 peserta terdiri dari arsitek muda, mahasiswa arsitektur S2 dan S1 dari berbagai negara seperti Amerika, Jerman, Belanda, Inggris, Swiss, Italia, Kroasia, Australia, Perancis, Turki, India, Indonesia, Korea, Jepang, Taiwan, dan beberapa negara Amerika Latin ditantang merancang rumah yang mampu mengatasi permasalahan banjir dalam kondisi iklim berbeda pada empat musim, dengan tetap memerhatikan konteks makro dalam tataran urban.

Kegiatan tersebut diarahkan Greg Lynn, arsitek Amerika Serikat yang banyak berkarya di Belanda. Untuk lebih mempertajam konsep dan produk desain, peserta diberi lokasi nyata, yaitu kota kecil Deventer yang berjarak sekitar tiga jam berkendara dari Rotterdam.

Sebelum memulai proses perancangan, peserta lebih dulu mempresentasikan ide, gagasan, konsep, dan proyeknya tentang rumah antibanjir dengan konteks negara masing- masing.

Deventer, kota kecil yang setiap tahun mengalami masalah banjir, terutama pada saat musim dingin, diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2070. Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Kondisi ini mengakibatkan kota yang berada di bawah permukaan air laut ini tidak dapat lagi mengelak dari banjir.

Bagi Pemerintah Belanda, kondisi itu harus ditemukan solusinya sejak saat ini sehingga berbagai solusi desain rumah antibanjir betul-betul menjadi kebutuhan sangat mendesak.

Dalam tema besar yang mengusung persahabatan dengan alam, peserta dihadapkan pada upaya menyikapi banjir bukan sebagai bencana yang harus dihindari atau dibendung, tetapi lebih diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia, sebagai sahabat yang dapat datang kapan saja, tinggal bersama kita, dan berbagi lingkungan.

Dengan tema besar itu, pengembangan konsep diarahkan pada tiga konsep utama (grand concepts), yaitu hidup di dalam, di atas, dan di bawah air. Ketiga konsep tersebut dipertajam pada tiga produk desain arsitektural, yaitu spons (sponge, di dalam air), mengapung (floating, di atas), dan solid (di bawah air).

Spons, mengapung, solid

Konsep spons adalah membuat desain rumah yang berperan sebagai spons, menyerap air dan membuangnya ke tempat lain. Konsep ini diperuntukkan bagi rumah di tengah permukaan air atau melayang di dalam air pada kondisi banjir, dan mampu mengalirkan air melalui pori-pori rumah yang dibentuk pada bagian permukaannya.

Dengan menggunakan prinsip gravitasi, air dibiarkan mengalir melalui ruang di dalam rumah dan dapat dimasukkan sebagai bagian dari rumah itu sendiri, baik untuk memenuhi kebutuhan penghuninya maupun sebagai bagian estetika ruang dalam. Konsep ini memungkinkan air secepat mungkin memasuki rumah dan dengan cepat pula meninggalkan rumah menuju ke level lebih rendah.

Pada pengembangannya, konsep spons memiliki beberapa varian desain seperti sponge-zipper, sponge-sponge ’n’ solid, sponge-tubular torrents, dan sponge-box in box.

Sponge-zipper menggunakan pori-pori bangunan untuk memasukkan air ke dalam bangunan dan pada kapasitas tertentu berat air akan otomatis menggerakkan bangunan memutar 90 derajat. Satu sisi bangunan akan berputar dari posisi vertikal menjadi horizontal mengikuti permukaan air, dan ketika air kembali surut, bangunan akan kembali ke posisi semula.

Konsep mengapung memungkinkan rumah secara fleksibel mengikuti ketinggian air. Rumah dapat berdiri di atas tanah dan mengapung di atas air dengan sama baiknya. Konsep ini memang telah lama digunakan masyarakat tradisional yang bermukim di tepian air.

Konsep mengapung menghasilkan tujuh varian produk desain, yaitu floater-waterbug, floater-lilypads, floater-the veil, floater-the hull, floater-t house, floater-clock, dan floater-the beaver’s lodge. Kemampuan serangga mengapung dan berjalan di atas permukaan air menjadi inspirasi lahirnya desain floater-waterbug. Desain ini membuat rumah mampu mengikuti ketinggian permukaan air pada saat banjir.

Konsep terakhir yang dikembangkan adalah solid (padat, kokoh) yang merupakan kriteria desain rumah berada di dalam air dan menyatu dengan tanah, baik pada bagian dasar sungai maupun tepian (dinding) sungai.

Dengan konsep ini, manusia dapat betul-betul menyatu dengan air manakala banjir datang. Dalam kondisi kering, rumah akan berada di atas permukaan tanah. Dalam kondisi banjir, rumah akan berada di bawah permukaan air, namun tetap dapat melakukan berbagai aktivitas normal.

Konsep ini menghasilkan lima varian desain seperti solid tower, solid-s.solid, solid-canyon, solid-fortress, dan solid-asteroid. Solid-s.solid merupakan rumah berbentuk huruf ’S’ yang menyatu dengan dasar dan tepian sungai. Ketika ketinggian air mencapai tiga meter, level atas dapat mengakomodasi berbagai aktivitas penghuninya.

Sedangkan saat ketinggian air mencapai titik maksimal, rumah akan berperan layaknya oceanorium dan berada di bawah permukaan air, namun tetap memiliki akses ke atas permukaan air melalui jalur sirkulasi vertikal yang telah dipersiapkan.

Acuan desain

Seluruh desain yang dihasilkan akan direkomendasikan kepada Pemerintah Belanda untuk menjadi acuan desain rumah tinggal di Deventer dan dipamerkan di Netherlands Architecture Institute untuk masyarakat luas.

Dari konsep dan produk yang dihasilkan sangat jelas variasi bentuk yang sangat futuristik dengan penyelesaian sistem bangunan berorientasi teknologi. Namun, untuk waktu 65 tahun ke depan, konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terlalu muluk, bahkan dapat dikatakan merupakan representasi kondisi yang sedang dituju.

Apabila Pemerintah Belanda mau berupaya keras dan mengeluarkan biaya sangat besar untuk mendapatkan solusi bagi bencana yang akan datang dalam waktu 65 tahun, maka sudah sepantasnya Indonesia, negeri yang sering dilanda banjir serta rawan tsunami, melakukan hal senada.

Dengan mempersiapkan diri sedini mungkin, baik dari sisi infrastruktur, desain rumah tinggal, serta elemen lainnya, banjir bukan lagi merupakan bencana, namun sahabat yang sudah kita persiapkan kedatangannya dan akan hidup bersama, menjalin keselarasan dalam keseimbangan semesta.

Parmonangan Manurung, MT, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, peserta Flood Resistant Housing Masterclass International Architecture Biennale Rotterdam, Belanda

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved