Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Pesona Art Deco pada gedung lama

Format : Artikel

Impresum
Yuda Wastu - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 24 April 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/24/desain/1703422.htm

Isi:

BERTAMBAH lama usia sebuah gedung tidak mutlak menjadi usang, tetapi sebaliknya bisa menjadi semakin bernilai dengan sejarah yang dimiliki dan langgam yang diwakilinya.

BANYAK langgam mewarnai wajah gedung lama di Indonesia sesuai dengan masa kependudukan kaum imperialis, salah satunya langgam Art Deco. Langgam ini berasal dari Eropa pada dekade 1920-an dan berkembang secara luas sekitar tahun 1930. Nama Art Deco atau Art Moderne diberikan setelah adanya Exposition Internationale des Arts Decoratifs et Industriels Modernes, pameran seni dekorasi dan industri modern yang diadakan di Paris tahun 1925 yang sedikit banyak berpengaruh terhadap perkembangan desain arsitektur modern saat itu.

Langgam Art Deco merupakan suatu campuran yang mengagumkan dari beragam gaya, termasuk gaya Eropa masa lampau, arsitektur Maya, Aztec dan China, serta gaya modern yang dipengaruhi kubisme, futurisme, dan ekspresionisme. Langgam ini digambarkan sebagai suatu gaya dekoratif yang megah dan flamboyan, memiliki karakter bentuk geometris yang kuat, warna mencolok, dan garis yang tajam atau jelas. Art Deco, yang diterapkan pada bangunan, berkembang pesat di Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan di negara asalnya, Perancis, Art Deco muncul sebagai penyederhanaan dan penghalusan fasad dengan hiasan berbentuk tumbuhan, pekerjaan besi, dan patung.

Langgam Art Deco cukup populer di Indonesia, khususnya pada gedung-gedung lama hasil rancangan arsitek Belanda di Indonesia sekitar tahun 1920. Banyak gedung yang didirikan dari periode tersebut dianggap mewakili arsitektur Art Deco, beberapa di antaranya terdapat di Kota Bandung.

Pada tahun 2001 Kota Bandung dianugerahi predikat peringkat 9 dari 10 World Cities of Art Deco sebagai kota yang banyak memiliki koleksi gedung lama berlanggam Art Deco. Beberapa gedung yang sering ditafsirkan berlanggam Art Deco di antaranya Hotel Preanger, Hotel Homann, Gedung Merdeka, Bank Jabar, Jaarbeurs, serta beberapa pertokoan lama di sepanjang Jalan Braga.

Grand Hotel Preanger di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Lembong, bangunan aslinya adalah bagian massa yang menghadap ke Jalan Asia Afrika yang kini menjadi pintu masuk samping. Pintu masuk utama pada sisi Jalan Lembong merupakan desain gedung baru yang terlihat menyatu dengan sempurna.

Awalnya, hotel ini berupa guest house bergaya Indische Empire Stijl yang dibangun pada tahun 1889 untuk para tuan tanah (preanger planters) yang berkunjung ke Kota Bandung. Lalu, pada tahun 1928 hotel ini direkonstruksi Prof CP Wolff Schoemaker dengan gaya mengarah pada langgam Art Deco.

Komposisi massa gedung bertingkat-tingkat dengan pola asimetris, dilengkapi menara pada bagian tengah yang dibuat tidak terlalu tinggi, tetapi sangat kaya dengan unsur dekoratif. Menara ini menjadi pusat perhatian yang sangat menarik dengan banyaknya ornamen berpola geometris, zig-zag, abstrak, dan berlapis-lapis pada bagian puncak dan sisi-sisinya.

Ornamen sejenis juga terlihat memesona menghiasi bidang kolom, lisplang, serta overhang pada pintu masuk serupa dengan pola pada menara. Pola zig-zag bersiku dan bentuk geometris lainnya yang diduga diadopsi dari budaya suku Maya dan Inca Indian diterapkan juga untuk desain kaca patri sehingga beberapa kalangan mengidentifikasikannya sebagai geometrikal Art Deco.

HOTEL Savoy Homann di Jalan Asia Afrika, yang berseberangan dengan Gedung Konferensi Asia Afrika, merupakan hotel pertama di Kota Bandung. Berdiri pada tahun 1880, hotel ini bermula dari bangunan bambu yang kemudian direkonstruksi ke gaya romantis Neogotik yang sedang populer saat itu. Tahun 1939 hotel kembali didesain ulang oleh AF Aalbers dengan karakter dan wajah seperti terlihat sekarang.

Berbeda dengan Hotel Preanger, gedung ini terlihat lebih sederhana, massa bangunan berbentuk kurva linier dengan menara sebagai pusat perhatian. Pola ramping horizontal pada balkon yang fungsional tanpa ornamen berlebihan menunjukkan keindahan terpancar dari fungsi sesuai dengan prinsip arsitektur modern.

Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika, tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika yang pertama tahun 1955, aslinya adalah Societeit Concordia. Gedung ini dibangun tahun 1895 sebagai gedung klub, kemudian direkonstruksi pada tahun 1921 oleh CP Wolff Schoemaker.

Nuansa konservatif terlihat kental pada pintu masuk utama dengan adanya pilar silinder sederhana bergaya Eropa yang dipercantik dengan lampu kaca pada puncaknya. Demikian juga tempelan ornamen berbentuk geometris pada bidang-bidang vertikal yang memisahkan jendela-jendela memperlihatkan unsur Eropa, gabungannya dengan aksen tradisional berupa ukiran-ukiran pada bagian sudut atas bangunan tampak menarik walaupun tidak dominan. Pada bagian sisi kanan terlihat kesederhanaan unsur modern dengan massa bangunan yang berbentuk bundar dan melingkar mengikuti pola jalan, berbeda dengan penyelesaian massa pada sisi kiri yang cenderung klasik.

Gedung Bank Jabar dibangun pada tahun 1915. Gedung lamanya adalah bagian yang menghadap ke Jalan Braga dengan node yang kini dipergunakan sebagai area parkir. Elemen penyelesaian akhir gedung tersebut sebagian sudah dimodifikasi dengan menggunakan elemen yang lebih baru, tetapi secara global masih menunjukkan keasliannya.

Massa bangunan berbentuk kurva linier yang dinamis dilengkapi dengan menara sebagai titik pandang dan tanda senada dengan Hotel Homann. Pola horizontal ramping yang berlapis-lapis pada bukaan atas terlihat lugas, tidak banyak unsur dekoratif lainnya memberikan kesan adanya pengaruh arsitektur modern. Gedung baru pada bagian belakang didirikan tahun 2003 terlihat berhasil menggabungkan karakter desain secara kontekstual dengan mengikuti pola-pola lama, tetapi dengan menggunakan warna teknologi baru menunjukkan identitas periode pembangunannya.

Unsur-unsur dekoratif berupa ornamen dengan garis geometris, lampu dari kaca patri berwarna-warni, dan kusen dari besi, terlihat menarik di beberapa pertokoan lama di sepanjang Jalan Braga, tetapi perlu kejelian untuk mengungkapnya karena banyak pertokoan di sana dibangun tidak pada periode sama sehingga banyak variasi langgam hadir di sana, tidak hanya Art Deco. Sangat disayangkan sebagian kondisinya kumuh, kurang mendapatkan perhatian serius.

Arsitektur Art Deco pada masanya tidak saja diterapkan pada gedung bertingkat rendah berskala kecil, tetapi juga gedung berskala besar pencakar langit. Di New York, Amerika, misalnya The Empire State Building (Shreve, Lamb & Harmon, 1930-1) memiliki desain spektakuler yang dramatis dengan ribuan cahaya lampu mengelilingi puncak menara pada malam hari yang warnanya berubah sesuai dengan jenis hari besar Nasional Amerika. Lainnya adalah Chrysler Building rancangan William van Alen. Oleh beberapa arsitek, Chrysler Building, yang dijuluki permata Art Deco dibangun pada tahun 1930 dan menjadi simbol kota New York lebih dari 60 tahun, memiliki desain fantastis dan romantis.

Dinding menara dari bata diputihkan dan abu-abu, bagian sudut atasnya dihiasi patung kepala elang lambang Amerika, sedangkan bentuk lengkung pada puncak dibuat secara cermat berdasarkan ide bentuk jendela segitiga. Penyelesaian akhir pada bagian dalam lobi menggunakan marmer merah dari Afrika dan pintu elevator bertakhtakan kayu ceri yang mewah.

PERKEMBANGAN dan penerapan langgam Art Deco pada setiap tempat berbeda-beda tergantung dari aliran yang menjadi panutan arsiteknya, lingkungan, teknologi dan kecenderungan mode yang berkembang di suatu negara.

Hal ini terlihat dengan senjangnya perbedaan karakter gedung yang dianggap mewakili langgam Art Deco di Kota Bandung. Jika dicermati, sebagian lebih terlihat bergaya konservatif murni berbau klasik, sedangkan sebagian lainnya cenderung bernuansa modern, terkecuali beberapa pertokoan di Jalan Braga dan Hotel Preanger yang dibangun setelah lahirnya istilah Art Deco.

Kilas balik tentang bangunan lama berlanggam Art Deco seperti di Kota Bandung mungkin terdapat perbedaan pendapat, mengingat Art Deco mencuat di negara asalnya tahun 1925-1930 bahkan sampai tahun 1940, sedangkan bangunan lama yang sering mendapat sebutan berlanggam Art deco saat ini sebagian berdiri pada awal tahun 1920-an yang tentunya dirancang sebelum periode itu.

Demikian pula dalam penerapan elemen-elemen massal. Pekerjaan besi, warna-warna mencolok, garis-garis tajam pola geometris, serta unsur dekorasi modern lainnya kurang terlihat menonjol. Memang secara prinsip langgam Art Deco merupakan langgam campuran yang sangat luas, tidak spesifik sejelas karakter arsitektur gotik, Yunani ataupun Romawi. Dan patut diakui apa pun jenis tepat langgam yang terdapat pada gedung-gedung lama tersebut, pesonanya tetap memikat.

Subject :

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved