Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Furnitur lokal "perang" tanpa strategi

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Media Indonesia: Jum\'at, 29 April 2005
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005042900072570

Isi:

DALAM berbagai kesempatan, pemerintah sering kali menyebutkan bahwa industri berbahan dasar kayu yang diunggulkan adalah mebel atau sering disebut furnitur. Tetapi dalam kesehariannya, bisnis furnitur Indonesia minim dukungan pemerintah.

Dalam bersaing dengan produk furnitur negara tetangga pun produk furnitur lokal dibiarkan 'bertempur' sendirian. Jangankan mau membela dalam persaingan, untuk menentukan arah pengembangan industrinya saja pemerintah seperti tidak tahu apa yang akan diperbuat.

"Pemerintah tidak memiliki grand strategy untuk mengembangkan bisnis furnitur dalam negeri. Akibatnya, kondisi kami seperti saat ini. Harus kalah dari Vietnam," ungkap Direktur Eksekutif Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Tanangga Karim, beberapa waktu lalu.

Padahal secara umum permintaan furnitur dunia saat ini cukup tinggi. Sehingga ekspor Indonesia pada 2003 dibanding 2004 meningkat 3%. Bila pada 2003 nilai ekspor furnitur Indonesia tercatat US$1,55 miliar, tahun lalu nilai ekspor produk yang sama mencapai US$1,67 miliar. Tetapi pencapaian tersebut masih lebih rendah dari Malaysia, yang tahun lalu tercatat mengekspor furnitur senilai US$1,7 miliar.

Ternyata pencapaian ekspor furnitur Malaysia masih lebih rendah dari Vietnam. Tahun lalu Vietnam berhasil mengekspor furnitur senilai US$1,8 miliar. Industri furnitur Vietnam memang mengalami kenaikan cukup signifikan. Karena pada 2003, nilai ekspor produk yang sama hanya US$800 juta. Lonjakan pendapatan Vietnam dari sektor furnitur tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Amerika mengenakan pajak 33%-400% terhadap bedroom set produksi China yang dituduh dumping dan menghancurkan industri sejenis di Amerika.

Dengan keunggulan dari sisi bahan baku, tudingan dumping produk furnitur China oleh pemerintah Amerika itu, seharusnya bisa dijadikan peluang bagi produsen furnitur di Indonesia untuk meningkatkan ekspor. Tetapi nyatanya peluang tersebut diambil oleh Vietnam. "Soal bedroom set ini kita sudah kehilangan momentum untuk menguasainya," ungkap Tanangga.

Peluang untuk meningkatkan nilai ekspor furnitur Indonesia sebenarnya masih terbuka, dengan mengedepankan ekspor furnitur rotan. Apalagi jumlah bahan baku rotan Indonesia terbanyak dibanding negara pengekspor furnitur lainnya. "Untuk furnitur rotan saja diperkirakan Indonesia bisa mendapat tambahan nilai ekspor US$1 miliar setiap tahunnya."

Tidak cermat

Tetapi peluang tersebut tampaknya tidak dicermati oleh pemerintah. Bahkan, dalam waktu dekat pemerintah merencanakan membuka kembali ekspor rotan mentah. Padahal, sejak larangan ekspor rotan mentah diberlakukan tahun lalu, ekspor furnitur rotan Indonesia naik sekitar 7%. "Jadi larangan ekspor rotan mentah itu sebenarnya berdampak positif bagi produsen furnitur rotan," jelas Tanangga.

Bila di perdagangan luar negeri furnitur Indonesia menghadapi persaingan yang sengit dari negara tetangga. Di dalam negeri, furnitur China mulai membayangi keberadaan furnitur lokal. Lima tahun lalu, kebutuhan furnitur dalam negeri 90% dipasok oleh produsen lokal, sisanya dipenuhi oleh produk furnitur dari Italia, Inggris dan Spanyol. "Furnitur produk luar negeri ini biasanya untuk memenuhi kebutuhan kalangan atas."

Tetapi dua tahun terakhir produk furnitur China mulai melengkapi kafe-kafe di Jakarta. Desainnya cukup menarik dan futuristik dari bahan plastik dan metal. Keunggulan lainnya, harga furnitur produk China murah dibanding produk sejenis dari Eropa. Tetapi soal daya tahan, furnitur produk China ini dinilai paling rendah.

"Sayang, pemerintah tidak menerapkan persyaratan yang ketat pada produk furnitur China ini. Padahal, Indonesia sudah memiliki mekanisme SNI untuk standar produk yang digunakan di Indonesia," ujar Tanangga.

Diakuinya, produsen furnitur Indonesia belum mampu memproduksi furnitur semurah produk China. Karena industri furnitur China sudah terintegrasi dengan baik. Sehingga mampu memproduksi furnitur secara massal dan berbiaya murah.

Peluang lain yang bisa mendongkrak produksi furnitur lokal adalah menjamurnya apartemen di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Direktur Teknik PT Estetika Rekacipta, perusahaan desain interior dan furnitur Ade Irawan Irdam mengungkapkan dalam satu bulan, pihaknya bisa menerima pesanan dari daerah untuk mendesain interior, sekaligus mengisi furnitur hingga lima rumah atau unit apartemen.

Dia mencontohkan, untuk unit apartemen seluas 120 m2, harga jual secara lengkap untuk desain interior dan pengisian furnitur termasuk karpet, tirai, dan lukisan mencapai Rp200 juta, sedangkan untuk tipe 38 m2 berkisar Rp40-50 juta.

Peluang meningkatnya daya serap furnitur lokal oleh apartemen juga diakui oleh Tanangga. Apalagi para pengamat properti memperkirakan tahun 2007 merupakan puncak pertumbuhan bisnis properti. Salah satu penggerak pertumbuhan itu adalah pembangunan apartemen.

Direktur PT Intersatria Budi Perkasa Mulia, pengembang apartemen Casablanca Mansion Budi Yanto Lusli mengakui saat ini muncul tren pembangunan apartemen yang menawarkan unit apartemen untuk kalangan masyarakat menengah. "Pasar apartemen di kelas menengah bawah ini masih terbuka luas," jelas Budi. Meski diakuinya, apartemen untuk masyarakat kelas atas pun masih dibangun di beberapa lokasi di Jakarta.

Melihat kenyataan itu sebenarnya banyak peluang furnitur lokal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Jangankan pasar lokal, pasar luar negeri pun masih terbuka lebar. Tetapi, strategi upaya menyamai kualitas dan kuantitas produk furnitur negara tetangga akan sia-sia. Campur tangan pemerintah yang intensif dalam industri furnitur lokal sangat didambakan. (Sad/E-3).

Subject :

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved