Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Jaringan kereta api kota

Format : Artikel

Impresum
Franz Magnis-Suseno - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Sabtu, 19 Maret 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/19/opini/1614781.htm

Isi:

MEGAPOLIS-megapolis di Jawa-Surabaya dan sekitarnya dengan satu jalur sampai ke Malang, Bandung dari Padalarang sampai ke Cileunyi dan, tentu saja, Jabotabek sampai ke Cikarang-semakin tercekik dalam kemacetan. Keseriusan masalah ini disadari umum.

Kalau berikut ini seorang awam mengajukan tiga pikiran sederhana hanya untuk Jakarta saja, maka bukan karena tidak mengetahui betapa mereka yang resmi bertanggung jawab sudah dengan sungguh-sungguh mencari solusi. Jelas juga, pemecahan mujarab memang tidak ada.

Kalau saya berani mengajukan beberapa saran, maka semata-mata untuk menarik perhatian pada beberapa kemungkinan sederhana untuk mengefektifkan jaringan angkutan umum yang sudah ada dalam jangka pendek, yang tidak mahal di luar segala kemampuan kita (seperti subway yang di negara-negara kaya saja sulit dibiayai).

Gagasan yang akan diajukan berikut ini menyangkut busway, kereta rel listrik (KRL) Jabotabek, dan jaringan rel yang sudah ada di DKI Jakarta.

"Busway"

Yang diajukan di sini sebenarnya tidak lebih dari suatu kata dukungan. Busway, meskipun banyak kekurangannya, sudah jelas merupakan langkah ke arah yang betul dan perlu diteruskan. Inilah cara relatif murah untuk menciptakan jaringan angkutan umum.

Dan semakin erat jaringannya, makin lebih besar lagi manfaatnya. Yang perlu adalah agar DKI terus mengevaluasi kelemahan-kelemahan sistem yang muncul untuk semakin menanggulanginya.

Misalnya: orang dari Jakarta Selatan jangan diharapkan akan membawa mobilnya ke Blok M untuk meninggalkannya di situ dan naik busway. Tetapi andaikata busway sampai Jakarta Selatan, dan di situ ada tempat parkir mobil yang aman, baginya naik busway akan cukup menarik apabila ia bekerja di Kebayoran Baru atau 500 meter sebelah Barat dan Timur dari Jalan Sudirman sampai ke Kota.

KRL Jabotabek

Jaringan KRL yang sudah ada ke Bekasi-Cikarang, Depok- Bogor, Tangerang dan Serpong adalah amat strategis. Apalagi kalau ditambah dengan KA Cepat ke Soekarno-Hatta (yang memang sangat mendesak). Akan tetapi, pengelolaannya sama sekali belum memadai sehingga empat jalur itu bekerja jauh di bawah kapasitasnya yang sebenarnya.

Mari kita ambil KRL Kota- Depok-Bogor. Inilah salah satu jalur KA Cepat paling ramai dan paling strategis di dunia! Mestinya di jam-jam sibuk setiap tiga menit ada kereta ke kedua belah arah! Sekurang- kurangnya sampai ke Depok. Barangkali setiap 18 menit ke Bogor pergi-pulang.

Dengan permintaan begitu tinggi-orang sampai bersedia duduk di atap-mestinya jalur ini bisa untung. Orang naik ke atap bukan karena tidak mau atau tidak bisa membayar, melainkan karena tempat lain tidak ada.

Seharusnya disediakan dua kelas dalam semua KRL. Kelas satu yang agak mahal, misalnya ke Depok Rp 10.000. Kiranya banyak orang akan memakai KRL dengan harga ini asal tidak harus menunggu lama dan kondisi nyaman. Kelas dua tetap relatif murah dengan berpedoman pada harga tiket bus kota dan bus antarkota. Tak boleh ada orang yang tidak bayar. Mengingat gaji belum tinggi, bisa dipekerjakan cukup banyak personel untuk menjamin kontrol ketat di peron dan di dalam kereta.

Kalau semua jalur KRL dikelola demikian, efeknya akan sangat terasa dan bagi masyarakat tetap tersedia sistem angkutan yang tidak terlalu mahal.

Jaringan rel dalam DKI

Jaringan rel yang ada di dalam DKI, dan sekarang sudah dipakai untuk KRL, harus dan memang dapat ditingkatkan fungsinya setingkat dengan jaringan subway.

Jaringan rel yang sudah tersedia mencakup Jatinegara- Senen-Tanjung Priok, Jatinegara-Manggarai-Gambir-Kota, Manggarai-Pasar Minggu, Manggarai-Tanah Abang-Priok, Tanah Abang-Serpong, dan Kota-Tangerang. Meskipun wilayah-wilayah penting di Jakarta Pusat agak jauh, namun wilayah-wilayah yang disentuh oleh jaringan ini masih cukup strategis.

Tentu jalur-jalur itu harus dipisahkan dari jalur kereta api jarak jauh. Nah, kalau jalur-jalur itu diperlakukan seperti subway sehingga ada kereta setiap tiga menit lewat di semua arah, jaringan ini akan cukup atraktif.

Caranya adalah menerapkan sistem tiket terintegrasi sehingga orang bisa, dengan sekali membeli tiket, bisa ke tujuannya, juga apabila ganti kereta. Dari Johar Baru, misalnya, saya dapat naik angkot ke Stasiun "Kramat" di perlintasan Jalan Percetakan Negara, lalu naik KRL lewat "Kampung Bandan" ke "Tanah Abang". Atau dari "Jatinegara" dan "Manggarai" ke "Pasar Minggu", atau ke "Dukuh Atas", lalu naik busway ke Komdak.

Kalau setiap satu kilometer ada stasiun, bayar tiket hanya sekali, dan frekuensi kereta sesuai model subway, jaringan rel yang sudah ada akan menjadi menarik untuk dipergunakan dan memberikan sumbangan berarti untuk menarik lalu lintas dari jalan ke rel. Sekarang hal itu mustahil karena karcis harus ke stasiun tertentu sehingga setiap kali saya mau pindah KRL saya harus membeli tiket lagi. Apalagi frekuensi KRL tidak mencukupi.

Hanya itulah yang dapat disumbangkan di sini. Mengapa kita tidak menelusuri semua jalur yang bisa membantu mengatasi masalah lalu lintas umum yang begitu serius bagi DKI dan Jabotabek?

Franz Magnis-Suseno SJ, Rohaniwan, Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved