Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Konservasi alam butuh lebih dari rangkulan komunitas lokal

Format : Artikel

Impresum
Merry Magdalena - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Sinar Harapan: Senin, 28 Februari 2005

Isi:

Jakarta -- Kawasan konservasi kerap dituding sebagai pemicu konflik dengan masyarakat setempat. Berbagai isu negatif sempat terhembus dari kawasan ini. Bagaimana konservasi yang ideal? Sebuah buku panduan tentang itu baru saja dirilis.

Isu konflik antara penduduk asli dengan pengelola kawasan konservasi bukan lagi barang baru. Sebut saja konflik gajah Sumatra di Lampung, konflik rakyat setempat di Taman Nasional Komodo, dan banyak lagi. Semua ibarat buah simalakama, jika konservasi tak dilakukan maka ekosistem bisa rusak, sebaliknya dengan adanya konservasi maka banyak problem baru bermunculan.

Dalam menyiasati masalah ini, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia merilis sebuah buku bertajuk Panduan Pelaksanaan Community Empowerment dalam Agenda Konservasi WWF-Indonesia. Buku mungil ini antara lain menggarisbawahi bahwa konservasi tidak bisa dicapai tanpa keterlibatan penuh dari masyarakat. Masyarakat mesti ikut merencanakan, melaksanakan, serta menikmati hasil dan manfaat konservasi.

Dengan kata lain konservasi seharusnya berjalan dari, oleh dan untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi, agar sumber daya alam lebih terjaga dan masyarakat menjadi lebih sejahtera.

Keuntungan Konservasi WWF-Indonesia memetik pelajaran bahwa tanpa keterlibatan yang menguntungkan bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi, niscaya tidak akan bisa dicapai penyelamatan sumber daya alam secara lestari. Membuat konservasi bermanfaat untuk masyarakat menjadi tantangan yang tidak bisa tidak harus dipenuhi, papar Christine Wulandari, Koordinator Nasional Partnership Program Agreement kepada pers di Jakarta, akhir pekan silam. Dengan melibatkan masyarakat setempat, konservasi bukan hal mustahil yang bisa dilaksanakan kendati dalam masyarakat pedalaman sekalipun. Ini bisa ditilik dari usaha intensifikasi peternakan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan lindung dan Cagar Alam Mutis-Timau, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di sini WWF-Indonesia mendampingi masyarakat yang secara tradisional menggembala ternak di kawasan ini, untuk melakukan intensifikasi pemeliharaan ternak dan inseminasi buatan. Hasilnya terjadi penurunan perambahan hutan sebesar 12 persen dan 12 kelompok masyarakat dari 10 desa yang didampingi memperoleh penghasilan yang meningkat sebesar 1 hingga 1,2 juta rupiah per ekor sapi.

Menurut sembilan Kepala Desa dan Camat Fatumnasi Kabupaten Timor Tengah Selatan, kegiatan intensifikasi ternak sapi sangat bermanfaat bagi peningkatan pendapatan keluarga dan kami tidak perlu lagi membuat kandang di dalam hutan.

Aktivitas ini sesuai dengan kebijakan Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang telah dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan (Permenhut. P.19/Menhut-II/2004, tanggal 19 Oktober 2004). Ini baru langkah awal yang positif, namun dalam implementasinya perlu sungguh-sungguh diperhatikan upaya pelibatan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi.

Di masa mendatang pemerintah diharapkan lebih banyak menerbitkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin di sekitar kawasan konservasi. Ini penting, mengingat berdasarkan penelitian WWF-Indonesia, seringkali akar penyebab kemiskinan di sekitar kawasan konservasi, adalah kebijakan yang tidak sesuai dan/atau tidak konsisten.

Community Empowerment adalah pilar utama pekerjaan konservasi yang dilaksanakan oleh WWF-Indonesia", ujar Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, Mubariq Ahmad.

Lebih jauh ia menegaskan bahwa keberhasilan agenda konservasi ke depan akan sangat tergantung pada kemampuan organisasi konservasi dalam mendorong pola pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, keadilan sosial, perlindungan hak akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya alam, dan sistem pembiayaan yang dikelola secara mandiri".

Kalau memang apa yang diungkap Mubariq benar, semestinya memang tidak ada konflik di kawasan konservasi. Mayoritas konflik yang terjadi berpusat pada masalah lahan antara masyarakat lokal dan pihak pengelola kawasan yang bersangkutan. Bisa kita lihat dari konflik di daerah Taman Nasional (TN) Wakatobi, Lore Lindu, Gunung Halimun maupun Komodo.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, di antaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer.

Berada di ketinggian 500-600 dpl dan terletak di antara Pulau Sumbawa (NTB) dan Pulau Flores (NTT), meliputi Pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan Pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).

Contoh Konflik Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan favorit bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan Bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, tiga orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir sembilan nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah terlarang di TNK. Kasus lain adalah yang terjadi di TN Lore Lindu yang ada di wilayah Dongi-dongi. Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999.

Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.

Masyarakat di empat desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga kecamatan, seperti Kecamatan Dol, Marawola, Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.

Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan, seperti suku Da'a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat desa ini.

Namun, melalui kedua proyek pemindahpaksaan ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.

Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas dua hektare untuk setiap Kepala Keluarga (KK).

Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 hektare untuk setiap KK. Jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga generasi.(SH)

Subject :

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved