Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 6 Mei 2005
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0505/06/metro/1727174.htm
Isi:
SEPASANG suami-istri berjalan sambil berpegangan tangan. Di dermaga Marina Ancol, sang suami yang mengenakan topi koboi begitu sabar menuntun langkah istrinya sewaktu memasuki kapal wisata. Kemesraannya seakan menciptakan kesan bahwa penumpang kapal lainnya cuma ngontrak di kapal itu.
INILAH sebuah perjalanan wisata bahari yang ingin menunjukkan betapa dahsyatnya penyebaran isu- isu tsunami-seperti terjadi di Aceh dan sebagian Sumatera Utara-hingga mengakibatkan kawasan wisata bahari Kepulauan Seribu terkena dampaknya, yakni penurunan jumlah wisatawan sebesar 80 persen selama empat bulan belakangan ini.
Tepat pukul 07.30, speedboat yang dikemudikan Kapten Abdul Azis mulai melesat meninggalkan dermaga. Sebuah perjalanan wisata bahari dari pulau satu ke pulau lain segera dimulai.
Terpaan angin di tengah laut menciptakan gelombang. Kapal motor pun tetap melesat menerjang ombak yang mengombang-ambingkan kapal.
Dari sekitar 40 penumpang, hanya satu atau dua orang yang tetap asyik menikmati suasana laut. Perbincangan yang awalnya begitu hangat, tiba-tiba saja sunyi. Satu sama lain terdiam.
Terjangan ombak makin menjadi-jadi. Keringat dingin mulai mengucur. Sinar matahari pagi seakan menembus badan kapal. Bikin gerah. Padahal, kapal itu sudah dilengkapi dengan pendingin udara. Suasana itu juga terjadi di lantai dua speedboat yang hanya muat untuk tiga penumpang.
Rupanya, kenyamanan sejumlah penumpang sedikit terganggu. Bau bensin sebagai bahan bakar kapal motor itu menembus ruangan tempat duduk para penumpang.
Wah, betul-betul menyengat tubuh. Perut pun makin terasa enek. Sampai-sampai, seorang penumpang yang duduk di bagian belakang tak dapat lagi menahan mual. Akhirnya, muntah.
Ternyata, perjalanan awal "Familization Trip" yang diadakan Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu itu tetap membuat pasangan suami-istri tadi terlihat mesra. Sebuah romantisme di sela-sela perjalanan seakan ingin direnggut bersama di Kepulauan Seribu. Setelah satu jam perjalanan berlalu, kapal mulai merapat ke dermaga Pulau Rambut.
Satu per satu penumpang, termasuk suami-istri itu, turun dari kapal. Mereka singgah ke pulau yang juga dikenal sebagai pulau burung. Cukup sulit untuk melangkah ke pelataran dermaga. Sebab, gelombang laut masih saja mengombang-ambingkan kapal itu.
Setelah lebih kurang 45 menit menikmati suasana hutan yang dihuni burung-burung pemakan ikan, biawak, dan juga aneka ular, perjalanan wisata bahari itu pun dilanjutkan kembali menuju Pulau Putri.
PULAU Putri menawarkan kecantikan. Wisatawan diajak menikmati pemandangan dasar laut yang dihuni oleh ikan-ikan dengan aneka jenis dan warna. Lorong sepanjang 20 meter itu dibuat menyerupai Seaworld Taman Impian Jaya Ancol.
Suasana makan bersama pun terasa lebih nikmat karena dapat melihat ikan laut dalam akuarium di sudut restoran. Di sudut lainnya, ikan- ikan hias air tawar pun juga menjadi pemandangan tersendiri.
Pemandangan pantai nan indah juga terlihat di Pulau Antuk yang dahulu dikenal sebagai Pulau Pantara. Menurut Penanggung Jawab Pulau Pantara Agus Yunito, Pantara merupakan singkatan dari Japan dan Nusantara. Dulunya, sebuah perusahaan dari Jepang memang pernah "memiliki" pulau tersebut.
"Sampai sekarang umumnya wisatawan Jepang, Korea, dan Taiwan yang lebih banyak menikmati pulau ini," kata Agus.
Hanya sekitar 15 menit, perjalanan wisata bahari itu dapat dilanjutkan ke Pulau Sepa. Di pulau itu, lagi-lagi kami menikmati semilir angin di pantai.
Suasana canda ria itu meredup kala perjalanan dilanjutkan ke Pulau Matahari. Resor pantai itu terasa begitu hening. Sunyi. Hanya desiran ombak yang mewarnai kehidupan pantainya.
Romantisme pun terungkap kembali di Pulau Bira. Lapangan golf dengan sembilan hole menjadi pilihan tersendiri. Apalagi, kolam renang nan menyegarkan juga tersedia.
Bagi penyayang binatang atau setidaknya yang ingin melihat tempat konservasi burung elang bondol (Haliastur indus), Pulau Kotok menjadi pilihan. Ah, betul juga. Cuma menempuh perjalanan sekitar 10 menit, kita sudah sampai di Pulau Kotok.
Melintasi hutan yang dipenuhi dengan daun-daun pandan laut, suara- suara burung dan kelelawar mudah sekali terdengar. Apalagi, pulau itu menjadi satu-satunya tempat penyelamatan elang bondol sebagai maskot Provinsi DKI Jakarta.
Perjalanan pun belum berhenti sampai di sini. Walaupun umumnya memiliki kekhasannya, kami juga dapat menikmati keindahan Pulau Pramuka yang memiliki pusat pengembangan penyu sisik dan Pulau Gosong dengan kekhasannya pembudidayaan ikan kerapu dan bandeng.
Selain itu, Pulau Untung Jawa yang memiliki hutan mangrove, Onrust yang kaya dengan taman arkeologinya, Pulau Bidadari yang memiliki Benteng Martello, dan tak ketinggalan fasilitas rekreasi yang lengkap di Pulau Ayer.
Alamaak.... Keindahan pulau-pulau dan semilir angin rupanya menjadi momen untuk pemotretan, seperti romantisme suami-istri itu.
Betul juga. Heddi T selaku Marketing Communication Pulau Bidadari menuturkan, sejak tsunami menerjang Aceh, ditambah lagi isu-isu tsunami, praktis kunjungan wisatawan menurun drastis.
"Paling enggak, cuma pemotretan pasangan pengantin baru yang bekerja sama dengan perusahaan jasa pemotretan. Itu pun cuma satu hari, tanpa menginap di pulau-pulau ini," kata Heddi.
ITULAH sekelumit perjalanan romantisme yang terus-menerus mengandalkan kapal-kapal motor. Ombak yang mengombang-ambingkan wisatawan menjadi nuansa yang memberi kesan tersendiri.
Kepala Dispenda Kabupaten Kepulauan Seribu Nandri Bagus mengatakan, "Ya beginilah kalau kawasan wisata cuma bisa ditempuh dengan menggunakan kapal-kapal motor. Sudah begitu, tidak ada pajak perawatan lingkungan sehingga pihak-pihak swasta yang mengelola sebuah pulau bisa seenaknya memperlakukan pulau miliknya tanpa mau memerhatikan pelestarian lingkungannya," kata Nandri.
Pemkab Kepulauan Seribu memang berharap, rencana perluasan pembangunan air strip di Pulau Panjang Besar dapat terealisasi. Saat ini, panjang run way (landasan pacu) untuk jenis pesawat terbang Cassa 212 (kapasitas 16 penumpang) cuma 930 meter.
Karena itu, panjang landasan pacu perlu diperpanjang menjadi 1.800 meter. Jalan satu-satunya adalah mereklamasi laut dangkal yang terdapat di ujung landasan. Langkah ini perlu dilakukan sehingga siang ataupun malam bisa berfungsi. Termasuk, potensi pasar dari Singapura. Dana yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 1 miliar.
Bagi wisatawan, mengapa Pantai Marina Ancol yang dijadikan dermaga andalan menuju Kepulauan Seribu? Haruskah wisatawan hitung- menghitung biaya rekreasi untuk sekadar melintas di pintu masuk Ancol?
Ya kalau dihitung-hitung, wisata ke Kepulauan Seribu memang terasa mahal. Bayangkan saja, sewaktu masuk ke kawasan Ancol, Jakarta Utara, wisatawan dewasa sudah harus membayar harga tanda masuk (HTM) sebesar Rp 10.000 per orang dan anak-anak Rp 8.000 per orang. Belum termasuk, biaya masuk mobil atau sepeda motor pribadi.
Selanjutnya, biaya perjalanan juga harus dikeluarkan untuk naik kapal motor sebesar Rp 35.000 per orang. Mengingat gelombang air laut yang kurang bersahabat pada waktu-waktu tertentu, waktu keberangkatannya pukul 07.00 pun dirasakan kurang bersahabat.
Dermaga yang bisa menolong wisatawan untuk sedikit ngirit biaya perjalanan justru terletak di Muara Angke. Kapal motor reguler itu dikelola oleh nelayan. Biaya sekali penyeberangan cuma sekitar Rp 18.000. Namun, kondisinya sangat kurang kondusif.
Djoko Ramadhan menyebutkan, pembangunan dermaga Muara Angke dianggarkan sebesar Rp 2,74 miliar. Seluruhnya dikelola oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Saat ini, dermaga tersebut cuma terbangun sepanjang 200 meter. Sempit dan kurang nyaman untuk wisatawan.
Sewaktu berkunjung, seorang anggota DPRD DKI Jakarta sempat mempertanyakan, bagaimana perolehan pendapatan asli daerah dari pulau-pulau yang disinyalir dijadikan lokasi perjudian?
Alamaak.... Bupati Djoko Ramadhan yang didampingi Wakilnya, Mara Oloan Siregar, cuma tersenyum kecut. Bukan tidak mau angkat bicara, Djoko masih enggan.
Dia cuma bisa menjawab secara singkat, "Sudah menjadi rahasia umum. Sulit sekali saya menjawabnya. Sensitif sekali!"
Wah, rupanya pertanyaan serupa juga sempat diangkat dalam pertemuan dengan pengelola-pengelola resor dan perwakilan biro-biro perjalanan akhir pekan lalu. Tantangan terberat masih menghadang, yakni membangkitkan keramaian wisata bahari di Kepulauan Seribu!
Jadi, tidak melulu menggunakan fasilitas kapal motor. Namun, juga tidak menyingkirkan kekhasan penduduk aslinya lho...!
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved