Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Harry Kurniawan -
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 15 Mei 2005
Isi:
SEMUA manusia dilahirkan "sama" dan memiliki hak sama pula menjalankan dan menikmati hidup. Dalam kehidupan nyata yang dinamis, pemenuhan hak tersebut menyebabkan setiap orang tanpa terkecuali membutuhkan informasi dari dan tentang lingkungannya untuk melakukan aktivitasnya dengan baik.
INFORMASI lingkungan diartikan Passini (1984) sebagai semua informasi penting meliputi komponen deskriptif, lokasional, dan waktu, yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugas pencarian jalan. Namun, informasi lingkungan ini akan bermanfaat jika ia bisa dimengerti, diorganisasi, dan diingat. Untuk mencapai ketiga syarat tersebut, media penyampai informasi menjadi alat sangat penting.
Bentuk media penyampai informasi pada fasilitas publik cukup mudah kita temukan keberadaannya dan variasinya. Namun, rasanya sulit menemukan media penyampai informasi yang benar-benar tidak mendiskriminasi.
Pengembangan media penyampai informasi yang mampu diakses oleh kaum difabel inilah yang harus menjadi fokus perhatian di Indonesia. Dari sekian macam ke-tuna-an, tunanetra adalah kelompok yang tidak mengandalkan indra visual sebagai alat pengumpul informasi, padahal indra visual pada orang "normal", menurut Setyo Adi Purwanto (Setiawan, 2002), berkontribusi menyampaikan 85 persen informasi.
Passini (1984) menunjukkan, seseorang berada pada koridor yang ditentukan karena dia menemukan tujuannya (informasi sensorik) dan mengetahui tujuannya ada pada koridor itu (informasi memori). Pada tunanetra, dua proses yang dilakukan adalah mengganti informasi visual dengan informasi nonvisual dan mengorganisasi informasi tersebut secara teratur.
Ada tiga media penyampai informasi pasif bagi tunanetra yang mampu membantu kedua proses tersebut, yaitu denah timbul, penanda timbul, dan ubin pemandu-peringatan. Ketiga media pasif tersebut menempatkan sensitivitas indra peraba tunanetra sebagai dasar pembuatannya.
Media pertama yang penting dalam bangunan maupun lingkungan binaan adalah keberadaan ubin pemandu-peringatan, yang terdiri dari dua macam tekstur, yaitu garis dan titik, tetapi memiliki peran sangat mendasar bagi aktivitas tunanetra.
Bagi tunanetra, aspek paling mudah dari memosisikan tubuh dan bergerak, seperti menghadap ke arah tertentu atau berjalan lurus, menjadi tugas sulit untuk dilakukan. Media ini menjadi alat tepat untuk menutupi kelemahan tunanetra melalui kemampuannya memberi kejelasan arah dan informasi elemen ruang lingkungan sekitarnya.
Informasi mengenai arah dan jalur yang aman untuk mereka tempuh disampaikan oleh ubin pengarah. Sementara ubin peringatan memberi informasi lain, seperti keberadaan fasilitas yang mampu diakses, misalnya telepon umum, lampu penyeberangan, dan lift; keadaan yang membutuhkan kehati-hatian yang lebih, seperti perbedaan ketinggian; titik yang menunjukkan akhir jalan atau persimpangan; dan lain sebagainya.
Di Indonesia, contoh penerapan di antaranya dapat ditemukan di jalur pedestrian Jalan Mangkubumi-Malioboro Yogyakarta, Pasar Gedhe Solo, dan Masjid Istiqlal Jakarta.
Ubin pengarah juga memiliki manfaat lain, seperti warna kuning pada ubin dipilih agar dapat diidentifikasi dan dimanfaatkan masyarakat low vision dan buta warna, serta juga sangat bermanfaat bagi orang tua sebagai penanda area aman.
MEDIA kedua yang sangat bermanfaat dalam proses pengumpulan informasi bagi tunanetra adalah denah timbul. Denah timbul pada skala urban dan kota bisa memfasilitasi pemahaman spasial dan membantu dalam proses menemukan jalan (wayfinding) dengan sangat baik.
Denah timbul pada prinsipnya sama dengan peta "Anda di sini" dan peta wayfinding bagi masyarakat umum yang biasanya merepresentasikan pergerakan dan lokasi. Elemen yang membedakan antara denah timbul dan peta biasa adalah kelengkapan informasi dalam fitur yang dapat diraba.
Informasi standar dalam bentuk fitur timbul dapat berisikan kata-kata dalam huruf braille, simbol, serta bisa juga dilengkapi informasi keberadaan ubin pengarah-peringatan yang tersedia pada bangunan atau lingkungan binaan. Denah timbul ini memang belum populer di Indonesia, tetapi sebagai media awal penyampai informasi bangunan atau lingkungan secara menyeluruh, dia menjadi sangat berguna bagi mobilitas tunanetra.
MEDIA ketiga yang berperan dalam skala paling kecil adalah penanda timbul. Salah satu contoh yang dapat kita temukan di Indonesia adalah yang terdapat pada pegangan tangga di Stasiun Gambir yang berfungsi memberi informasi ruang yang ada di lantai di atas atau di bawahnya.
Penanda timbul bisa juga terpasang pada halte untuk memberikan informasi nomor, tujuan, dan jadwal kedatangan bus; terpasang pada pintu atau dinding ruangan yang memberi informasi nama atau fungsi ruang; dan juga bisa berdiri sendiri untuk memberi informasi tertentu. Contohnya, pemasangan tanda oleh Jogja Heritage Society pada rumah cagar budaya di kawasan Njeron Beteng Keraton Yogyakarta yang berisi informasi mengenai sejarah rumah yang dilengkapi dengan huruf braille dan denah timbul rumah tersebut.
Contoh dan petunjuk perencanaan dan perancangan media penyampai informasi yang aksesibel bagi semua orang sebenarnya dapat ditemukan dengan sangat mudah sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah keinginan kuat dari semua pihak untuk menerjemahkan penghargaan persamaan hak tersebut ke dalam wujud nyata. Salah satu pemahaman yang harus ditanamkan dalam usaha menciptakan fasilitas yang aksesibel adalah ini bukan kegiatan sia-sia, melainkan (mengutip Ikaputra, 2002) perwujudan cara berpikir desain universal di mana "jika desain bekerja baik bagi orang yang memiliki kemampuan berbeda (difabel), maka ia akan bekerja lebih baik bagi semua orang".
Harry Kurniawan Mahasiswa Program S2 Arsitektur UGM, Staf Center for Universal Design & 'Diffability' (CUDD) Arsitektur UGM
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved