Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Mana ruang publik kami?

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 15 Mei 2005

Isi:

DERETAN bentuk alam imitasi menanti kita dengan berbagai label. Sebut saja Junction, City Walk, City Square, atau Town Square. Nama-nama yang mengundang imajinasi selangit itu pada kenyataannya berupa imitasi semata.

Mulai tanaman, pohon, suara gemericik air, lantai dari batu kali, hingga langit biru dan awan yang berarak putih dibuat demi terciptanya suasana tepi jalan di sebuah kafe tepi jalan di Eropa.

Tidak jauh dari situ, tampak taman kota yang asli justru tidak terawat. Rumputnya tinggi dan tumpukan sampah di sana-sini. Malam hari, tempat yang seharusnya menjadi "ruang publik" menjadi lebih mencekam lagi dengan tidak adanya lampu dan munculnya sekelompok orang yang bergerombol dengan kartu remi atau ramalan judi togel di tangan. Merekalah "pemilik" taman kota ini.

APA yang disebut sebagai ruang publik tidak lagi tampak wajahnya di berbagai penjuru Jakarta dan Indonesia.

Nirwono Yoga, Ketua Kelompok Studi Arstektur Lanskap Indonesia, mengatakan, dari definisinya, ruang publik adalah ruang yang diadakan untuk berbagai kepentingan dan kegiatan publik. Ini berarti siapa saja, tanpa batasan, bisa berinteraksi di ruang itu. Tidak hanya sejarah Eropa yang mengenal ruang publik, seperti Agora dan La Piazza di zaman Yunani kuno dan abad pertengahan. Zaman kerajaan Jawa pun mengenal apa yang disebut sebagai alun-alun, yang selalu menjadi titik nol atau pusat dari sebuah kota.

Hingga saat ini masih banyak pusat pemerintahan, pasar, rumah peribadatan, dan fasilitas umum seperti sekolah dan kantor pos yang berada di sekitar alun-alun. Berbagai upacara publik selalu melewati alun-alun sebagai bagian dari prosesinya. Alun-alun sebagai ruang publik menjadi penyatuan unsur pemerintahan, agama, ekonomi, dan sosial. "Manusia, terlebih akar budaya kita, punya outdoor personality," kata Nirwono.

Namun, pada zaman modern ini, kepribadian itu tidak terakomodasi. Ruang publik yang sarat dengan muatan sosial-budaya itu tersingkir oleh pusat-pusat perbelanjaan yang mengemas kebutuhan akan ruang terbuka sekadar untuk membuat kita belanja..., belanja..., dan belanja lagi.

Publik didorong menjadi masyarakat konsumtif dalam ruang tertutup yang disulap seakan-akan menjadi ruang terbuka tadi.

Mal memang bisa disebut sebagai ruang publik, yaitu tempat di mana publik bertemu. Namun, sebutan itu masih dalam tanda kutip. "Ruang publik sejatinya harus bisa diakses semua orang tanpa diskriminasi," kata Nirwono.

Apa yang terjadi sekarang, masing-masing kelas memiliki "ruang publik"-nya sendiri-sendiri. Ketika taman-taman kota diduduki oleh gelandangan, sementara trotoar penuh dengan pedagang kaki lima, kelas sosial yang lain mengisi mal-mal yang sebenarnya merupakan belantara dunia konsumsi. Tanpa ragu, petugas keamanan akan menegur siapa pun yang terlihat "tidak menyatu" dengan atmosfer mal. Biar bagaimana pun, pihak pengelola mal tidak ingin kenyamanan pengunjungnya yang datang untuk minum kopi seharga Rp 30.000 ribu seusai berbelanja sepatu seharga Rp 5 juta terganggu. "Kesenjangan dalam pemanfaatan ruang publik itu berakibat semakin lebarnya gap-gap sosial yang sudah ada," kata Yayat Supriatna, dosen Jurusan Planologi Universitas Trisakti.

Kualitas ruang publik sebuah kota bergantung pada negosiasi kepentingan antara tiga kekuatan: swasta, publik, dan negara. Masalah muncul kalau terjadi ketidakseimbangan, terutama ketika ruang publik hanya dipandang sebagai komoditas yang bisa dengan mudah diperjual-belikan oleh pemerintah. Terjadilah kota yang hanya diperuntukkan untuk memfasilitasi kepentingan modal pihak swasta.

Bahkan, Ketua Bidang Pelestarian Arsitektur di Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Jakarta Hasan Halim menyebutkan, apabila keterusan, pihak swasta bisa menjadi monster yang memakan ruang publik. Gejala diabaikannya ruang publik oleh kepentingan bisnis terlihat dengan, misalnya, dihasilkannya banyak daerah tak terpakai akibat pembangunan yang semena-mena, misalnya desain jalan tol dekat Waduk Grogol yang menyia-nyiakan ruang waduk yang sebenarnya sangat potensial. "Itu akibatnya kalau pembangunan hanya menitikberatkan pada fungsi tanpa memerhatikan kualitas ruang kota yang terjadi," kata Hasan Halim.

Di sisi lain, persepsi bahwa ruang publik harus steril dari masyarakat yang marjinal, seperti pedagang asongan, terkonstruksi di kepala para birokrat. Masyarakat marjinal divonis tidak akan bisa dididik. Tidak heran, dalam kasus Monas, solusi yang muncul pun adalah pemagaran sebagai sebuah upaya yang menurut Nirwono dan Yayat sebagai tindakan menghindari masalah dan bukan memecahkannya.

Sejak awal, masalah muncul karena perancangan ruang publik tidak lagi menjadi prioritas utama dari sebuah kawasan. Ruang publik yang seharusnya terletak di tengah malah dibangun sekadar dari tanah sisa yang dianggap tidak bernilai ekonomi tinggi. Yayat mengatakan, perancangan awal juga harus mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik masyarakat dan lingkungan setempat dalam membuat ruang publik. "Kalau masyarakat butuhnya tempat olahraga, jangan disediakan taman untuk duduk-duduk dong," kata Yayat.

PADA akhirnya kita jadi bertanya: mana ruang publik kami?

Menurut Hasan Halim, masyarakatlah yang harus kuat dan konsisten menuntut tersedianya ruang publik kota. Masyarakat juga yang harus mengambil peran serta dalam perawatan ruang publik, terutama pada tingkat yang semi privat, misalnya di taman-taman di kompleks perumahan. Rasa kepemilikan oleh masyarakat sekitar akan membawa pada penggunaan ruang publik tersebut dan niat untuk bersama-sama menjaganya. "Kalau hanya mengandalkan pemerintah, dengan luas lahan terbuka di Jakarta sekitar 13,9 persen, berarti ada Rp 2 triliun setahun untuk pemeliharaan," kata Yayat.

Kalau Singapura sejak tahun 1965 sudah mencanangkan diri menjadi Negara Taman, itu tidak sekadar slogan. Tidak seperti perlombaan akronim seperti "Berhiber", "Berseri", dan "Ber-Ber" lain sebagainya yang sempat mewabah beberapa tahun lalu. "Ketika berbagai negara di seluruh dunia trennya justru membangun kota taman, di sini malah membangun mal. Padahal, ruang publik yang ideal untuk negara tropis adalah taman kota," kata Nirwono.

Kalau boleh berandai-andai, ingin rasanya membayangkan sebuah taman kota yang bersih dengan udara dan pohon yang asli di Jakarta.

Bekerja dengan laptop tidak lagi dilakukan di gedung-gedung tinggi yang "angkuh", tetapi di taman kota yang teduh dan hijau. Seusai sedikit lari sore, para pedagang kaki lima berderet tertib menawarkan berbagai cemilan. Dan kita bisa mencomot singkong goreng sebelum pulang ke rumah atau sekadar ngopi di pedestrian yang steril dari debu dan asap knalpot. Sekali lagi, itu hanya berandai-andai.... (SF/DHF/EDN)

Subject :

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved