Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Kisah pedagang pasar tradisional di tengah pusat perbelanjaan modern

Format : Artikel

Impresum
M Puteri Rosalina - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 19 Mei 2005

Isi:

Sekitar pukul 13.00, Ibu Mardi duduk termangu di dalam kiosnya. Tidak tampak satu pun pembeli menghampiri kios yang menjual sembilan bahan pokok tersebut. Ada beberapa orang yang mendekat, tetapi bukan pembeli. Mereka adalah distributor telur dan gula aren di kios Bu Mardi yang datang untuk menagih pembayaran telur.

SAYA hanya punya Rp 150.000. Sisanya ngutang dulu ya," kata ibu beranak dua tersebut. Si penagih menerima uang itu dan terpaksa pergi. Bu Mardi kembali melanjutkan lamunannya.

Tidak hanya kios Bu Mardi yang sepi. Di depannya, deretan kios sayur-sayuran juga tampak sepi pengunjung. Padahal, sayur-mayur segar masih menumpuk dan tertata rapi di atas meja kios. Beberapa pedagang malah asyik mengobrol di pojokan pasar tanpa menghiraukan dagangannya.

Beberapa pedagang mengatakan, pasar hanya ramai pukul 07.00-09.00. Padahal, menurut data PD Pasar Jaya, Pasar Santa merupakan pasar wilayah dan beroperasi siang sampai malam. Pagi hari yang berbelanja hanya pedagang-pedagang warteg dan warung kopi di sekitar Kebayoran Baru. Jarang terlihat ibu- ibu rumah tangga yang belanja di pasar tersebut.

Suasana di dalam pasar becek karena tidak berubin. Beberapa kios mengalami kerusakan dan tidak bisa dipergunakan lagi. Hawa di dalam pasar terasa panas karena tidak ada ventilasi udara. Bahkan terlihat beberapa pedagang menggunakan kipas angin untuk mengusir hawa panas.

Itulah sekilas suasana Pasar Santa. Kondisinya bertolak belakang dengan pusat perbelanjaan modern yang berada di sekitarnya. Lokasi pasar yang terimpit oleh minimarket, toko buah, dan bakery inilah yang membuat Pasar Santa terlihat sepi. Ditambah lagi permukiman elite di sekitarnya cenderung memanfaatkan pusat perbelanjaan modern untuk berbelanja.

Pedagang Pasar Santa patut resah. Pasalnya, sebelum minimarket, supermarket, dan hipermarket menjamur, pedagang bisa meraup keuntungan tinggi. "Dua belas tahun yang lalu saya bisa membeli emas dan menabung. Tapi sekarang malah ngutang terus," kata Bu Mardi.

Bahkan pedagang lain mengatakan, pendapatan yang didapat hari ini tidak bisa disisihkan untuk menabung karena digunakan untuk kulakan hari berikutnya.

Keadaan Pasar Santa tidak jauh berbeda dengan Pasar Tulodong. Pasar yang juga berlokasi di kawasan Kebayoran Baru ini kondisinya cukup memprihatinkan. Sekitar 50 pedagang hanya menempati jajaran kios-kios nonpermanen di Jalan Tulodong Atas II dan IV. Jalan selebar lima meter itu tersita 1,5 meter untuk kios-kios non permanen tersebut.

Bahkan, kondisi jalan tersebut tidak mulus, berlubang-lubang, dan becek. Jika pembeli tidak berhati-hati, pasti akan terpeleset.

Jam beroperasi pasar ini pukul 04.00 sampai pukul 13.00. Setelah itu pasar akan berhenti beroperasi. Hanya ada satu-dua pedagang kelontong yang masih berjualan karena menempati kios permanen. Pasar Tulodong merupakan pasar lingkungan yang beroperasi pada siang hari.

Parinem, seorang pedagang bumbu, menuturkan dari hari ke hari kondisi pasar memang sepi. Pasar hanya ramai saat subuh sampai sekitar pukul 10.00. Dia mengaku pasar ini dari dulu sudah sepi dan makin sepi ketika bahan bakar naik.

Lokasi Pasar Tulodong memang tidak strategis. Di sebelah utara dan barat terdapat dua hipermarket yang berjarak tidak kurang dari 0,5 kilometer dari pasar tersebut. Juga dengan lokasinya yang berada di jalan lingkungan, membuat sebagian warga merasa terganggu. Bahkan, ketika salah satu penghuni rumah di jalan tersebut meninggal, terpaksa pasar berhenti beroperasi.

Lain halnya dengan beberapa pedagang Pasar Palmerah. Menjamurnya pusat perbelanjaan modern tidak membuat pedagang kehilangan pelanggan. "Kami sudah punya pelanggan sendiri kok," kata seorang pedagang telur. Dia menambahkan, terkadang pasar sepi pengunjung, tetapi itu merupakan risiko berdagang.

Pernyataan pedagang tersebut memang benar. Pasar Palmerah selalu ramai setiap waktu. Kegiatannya dimulai pada dini hari, saat truk-truk menurunkan sayur dan buah di Jalan Palmerah Barat.

Sampai sekitar pukul 09.00 pedagang sayur, buah, dan daging masih memenuhi sebagian jalan di samping kanan dan kiri Palmerah. Pembeli yang sebagian besar ibu rumah tangga dari sekitar pasar terlihat sibuk berbelanja. Bahkan, sampai malam pukul 21.00 pasar tersebut masih tetap hidup.

Kondisi Pasar Palmerah jauh berbeda dengan Pasar Santa dan Tulodong. Bangunannya terdiri dari tiga lantai. Beberapa tempatnya disewa oleh sebuah pusat perbelanjaan modern. Pasar ini juga dikenal sebagai tempat penjualan onderdil motor dan mobil.

Seluruh lantainya juga sudah berubin. Jadi jika hujan, tidak becek. Pengunjung pun masih merasa nyaman untuk berbelanja di pasar ini.

Sebenarnya pedagang pasar tradisional tidak perlu resah dengan keberadaan pusat perbelanjaan modern. Terbukti di Pasar Palmerah masih banyak konsumen yang senang berbelanja di pasar. Vera (31) mengatakan lebih senang membeli sayuran di pasar karena harganya lebih murah dan bisa membeli eceran. "Bisa menentukan mau membeli cabai rawit dan merah 500 rupiah," katanya.

Hal ini tentu saja tidak bisa dilakukan di pusat perbelanjaan modern. Barang-barang dagangannya sudah dikemas khusus.

Vera menambahkan, ia lebih senang berbelanja ke pasar karena lokasinya lebih dekat dari rumah. "Pagi-pagi pasar kan sudah buka, jadi kalau perlu sesuatu, lebih cepat membelinya," katanya.

Pengunjung pasar tradisional lainnya mengatakan, harga daging, sayur, dan buah di pasar tradisional lebih murah dibandingkan dengan pusat perbelanjaan modern. Harga daging di hipermarket bisa mencapai Rp 60.000 per kilogram. Sedangkan di pasar tradisional hanya Rp 50.000 per kilogram.

PD Pasar Jaya sebagai pengelola pasar tradisional sudah bisa membaca keresahan pedagang tradisional. Menurut Nurman Adhi, Asisten Manajer Divisi Hubungan Masyarakat PD Pasar Jaya, pihaknya menyikapi keadaan tersebut dengan memperbaiki sarana dan prasarana pasar supaya lebih nyaman bagi para pengunjung.

Pada tahun 2005 PD Pasar Jaya akan meremajakan 19 pasar di Jakarta, di antaranya Pasar Kawi Sentiong, Pal Meriam, Cibubur, Santa, dan Ciplak.

Sayang peremajaan pasar ini tidak disambut gembira oleh para pedagang. Ibu Mardi, contohnya. Peremajaan pasar justru membuat dia semakin merana. Dia diharuskan membeli kios baru seharga Rp 60 juta yang pembayarannya dicicil setiap bulan. Padahal, kios yang ditempatinya sekarang sudah menjadi hak miliknya sejak 12 tahun lalu.

Bagaimana nasib pedagang pasar tradisional yang terimpit oleh pusat perbelanjaan modern masa mendatang? Apakah solusinya hanya cukup dengan peremajaan pasar?

Litbang Kompas

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved