Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Semangat Gie dan revitalisasi makam

Format : Artikel

Impresum
Nirwono Joga - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 12 Juli 2005
www.kompas.com/kompas-cetak/0507/12/metro/1889383.htm

Isi:

Salah satu film nasional terbaru yang paling ditunggu-tunggu adalah film Gie yang mengisahkan perjalanan dan pejuang demokrasi Soe Hok Gie, yang diperankan Nicholas Saputra. Selain bertaburan bintang dan kisah Soe Hok Gie yang diinspirasi dari buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, sosok Gie sendiri memang belum banyak dikenal masyarakat awam.

Jika ditanya kepada penonton di mana makam Soe Hok Gie, barangkali sebagian besar akan menjawab tidak tahu. Tidak mengherankan memang karena rasanya hampir sebagian besar masyarakat Jakarta juga tidak tahu di mana gerangan Gie dikebumikan.

Apa boleh buat, dalam keseharian makam memang kerap terasingkan di kehidupan kita dan kota. Kehidupan berkota yang materialistik, keengganan menghadapi kematian, dan faktor psikologis mistis membuat makam dibiarkan semrawut, kumuh, padat, seram, dan angker.

Mendengar nama Kerkof Laan, Kebon Jahe Kober, atau Museum Taman Prasasti, sebagian besar warga Jakarta bisa jadi tidak mengenalnya. Sebaliknya, sebagian warga Jakarta, apalagi Jakarta Pusat, dipastikan bisa menunjuk persis lokasi Kantor Wali Kota Jakarta Pusat yang di Jalan Tanah Abang 1 itu.

Namun, tahukah Anda bahwa Kantor Wali Kota Jakarta Pusat itu berdiri di atas lahan Museum Taman Prasasti (TMP) alias Kebon Jahe Kober (kober = kuburan) alias Kerkof Laan (kerkof = kuburan, laan = jalan) yang dibangun pemerintah kota Batavia pada tahun 1795. Ia adalah makam modern tertua di Jakarta. Bahkan salah satu tertua di dunia. Lebih tua dari Fort Canning Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts (yang diklaim sebagai taman makam modern pertama di dunia), atau Arlington National Cemetery (1864) di Washington DC (ikon visual lanskap sejarah Amerika Serikat).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, Pemda DKI Jakarta melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 475 Tahun 1993 menetapkan MTP sebagai bangunan bersejarah.

Ya, di Museum Prasasti itulah almarhum Soe Hok Gie dimakamkan. Malah April lalu makam itu tertimpa dinding bagian depan bangunan balairung bergaya Doria (1844) yang roboh.

Keberadaan makam Soe Hok Gie itu setidaknya dibuktikan dengan sebuah batu nisan bertuliskan Soe Hok Gie yang terletak di halaman belakang museum yang tampak kurang terawat rapi. Di atas batu nisan (yang mulai kabur tergerus alam), dengan patung seorang malaikat tengah berdoa tertulis:

Soe Hok Gie

17 Desember 1942

16 Desember 1969

Menurut catatan, letak batu nisan tersebut memang bukan kuburan asli Gie. Akibat pembangunan gedung perkantoran baru yang menyempitkan lahan makam dan penataan ulang makam oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun 1975, kuburan Gie yang asli telah hilang entah di mana.

Selain makam Gie, di MTP juga masih ada 32 makam yang masih asli (in situ). Antara lain makam Olivia Mariamne Raffles (1814) istri Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles; Mayor Jenderal JHR Kohler (1818-1873) panglima perang Belanda dalam Perang Aceh; Dr HF Roll (1867-1935), pencetus dan pendiri Stovia; Dr JLA Brandes (1857-1905) dan Dr Willem Frederik Stutterheim (1892-1942), ahli sejarah kepurbakalaan Indonesia dengan corak nisan prasasti zaman Hindu Jawa; dan Miss Riboet (Miss Tjitjih) (1900-1965) tokoh panggung rakyat legendaris.

Momentum

Lalu apa hubungannya film Gie, Museum Taman Prasasti, dan permasalahan permakaman di Jakarta? Kehadiran film Gie, kepopuleran Nicholas Saputra, dan semangat muda pembaruan Soe Hok Gie dan Nicholas Saputra sebenarnya merupakan momentum tepat bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengampanyekan kesadaran pelestarian makam, mengingatkan adanya krisis lahan makam, dan semangat merevitalisasi manajemen/penataan makam di seluruh Jakarta.

Sebab, Jakarta memang tengah mengalami krisis lahan makam. Dengan luas makam 578,19 hektar (2005) di mana lahan siap pakai 380,19 ha (323,16 ha atau 85 persen sudah terisi) dan lahan yang masih dalam tahap pematangan 198 ha, praktis lahan makam siap pakai hanya 57,03 ha (15 persen).

Sementara itu, angka kematian resmi penduduk Jakarta meningkat dari 80 orang per hari (1997) menjadi 95-100 orang per hari (2005) dan terus bertambah seiring meningkatnya fenomena angka kematian, bunuh diri, dan tindak kriminal.

Kantor Pelayanan Pemakaman (KPP) DKI rata-rata menangani 37.980 jenazah per tahun dengan rincian 30.249 dimakamkan, 1.375 dikremasi, dan 6.356 dibawa keluar Jakarta. Keterbatasan lahan makam mendorong sebagian keluarga memilih makam susun (baru sekitar 5 persen) yang biasanya dilakukan pada makam yang masih memiliki ikatan keluarga dengan biaya lebih murah. KPP DKI menghitung kebutuhan lahan makam sebesar 785 hektar (2005), sementara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta tahun 2010 hanya menargetkan 745,18 hektar (2010).

Bandingkan dengan TPU terluas di wilayah Kota Jakarta, TPU Karet Bivak (16,1861 ha) di Jakarta Pusat, TPU Tegal Alur (62,7608 ha) dan TPU Pegadungan (65,9430 ha) di Jakarta Barat, TPU Semper (57,1240 ha) di Jakarta Utara, TPU Tanah Kusir (52,7203 ha) dan TPU Menteng Pulo (32,4093 ha) di Jakarta Selatan, serta TPU Pondok Ranggon (56,5553 ha) dan TPU Pondok Kelapa-Malaka (41,2488 ha) di Jakarta Timur.

Karena itu, Pemprov DKI harus segera merevisi Perda No 2 Tahun 1992 tentang Pemakaman di Wilayah DKI Jakarta. Untuk mengatasi keterbatasan lahan dan demi efisiensi lahan makam, Jakarta dapat belajar dari kota Ottawa, Montreal, dan Vancouver di Kanada dalam merevitalisasi makam-makam tua menjadi taman makam modern yang dilengkapi krematorium dan dapat dimanfaatkan sampai 100 tahun ke depan.

Atau melihat kota Melbourne, Australia, yang membangun New Grand Melbourne Cemetery (taman makam berdiri pertama di dunia). Motonya adalah higienis, efisiensi, efektif, hemat, dan sehat. Kota New Orleans, Amerika Serikat, dijuluki �City of The Dead� karena kepiawaiannya menjual taman makam kota sebagai tujuan wisata dan pemasok pendapatan.

Nirwono Joga Arsitek Lanskap

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved