Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Penerapan Perpres No 36/2005 : Pimpinan DPR minta pemerintah jangan terburu-buru

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 17 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/17/UTAMA/1822372.htm

Isi:

Jakarta, Kompas - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono dan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma’arif meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Tanpa ada sosialisasi yang cukup, pimpinan DPR khawatir hal ini akan dimanfaatkan oleh provokator atau pihak ketiga yang ingin mengomersialisasikan tanah yang semula akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

"Atau, karena kurang menguasai, perpres tersebut juga bisa disalahgunakan dengan semena-mena oleh aparat," kata Agung, Kamis (16/6) di Jakarta, menanggapi rencana penerapan Perpres No 36/2005 untuk pembangunan Banjir Kanal Timur dan jalan tol di DKI Jakarta, yang disampaikan Gubernur Sutiyoso seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Selasa lalu.

Zaenal Ma’arif juga khawatir apabila perpres tersebut diterapkan terburu-buru akan menimbulkan gejolak di masyarakat dan akhirnya merugikan pemerintahan Yudhoyono. "Sutiyoso itu kadang memang terlalu tergesa-gesa. Kalau sosialisasi belum berjalan, bisa menimbulkan masalah," katanya.

Zaenal berharap, sebelum perpres itu diterapkan, pemerintah memerhatikan berbagai catatan yang pernah disampaikan masyarakat maupun Komisi II DPR. "Jangan karena seolah-olah ada dasar hukum, langsung main berondong. Tolong Pak Sutiyoso juga menjaga nama baik pemerintahan karena ini bisa merugikan pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono-Red)," ucap politisi dari Partai Bintang Reformasi itu.

Berdasarkan catatan Kompas, kesimpulan Komisi II DPR terhadap Perpres No 36/2005 adalah perpres belum memberikan penghormatan dan perlindungan yang memadai terhadap pemegang hak atas tanah. Hal itu terlihat dari adanya kemungkinan terjadinya perlakuan diskriminatif terhadap pelaksanaan Perpres No 36/2005, terutama karena pengertian kepentingan umum hanya dimaksudkan untuk kepentingan sebagian besar masyarakat.

Perpres tersebut juga dinilai membuka ruang kolusi antara pemerintah dan pembeli tanah (pemodal besar) dalam proses jual beli atas tanah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Unsur represif, pemaksaan pun, terlihat dengan adanya pembatasan waktu untuk musyawarah, yaitu 90 hari, serta sistem konsinyasi dalam ganti kerugian yang diterapkan setelah musyawarah gagal disepakati.

Atas dasar pertimbangan itu, Komisi II DPR merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera merevisi perpres tersebut. Rekomendasi ini sudah diserahkan secara resmi oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Ida Fauziyah kepada Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dalam rapat di DPR tanggal 7 Juni 2005.

Tak menekan

Secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan, kehadiran Perpres No 36/2005 bukan untuk menekan rakyat. Peraturan itu dibuat guna menghindari perbuatan segelintir orang yang ingin menghambat pembangunan jalan, jembatan, waduk, atau bangunan lain yang berfungsi untuk masyarakat banyak.

"Mohon dicatat, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tidak untuk menyengsarakan rakyat, tidak untuk menekan rakyat, tetapi itu (perpres-Red) untuk mencegah pihak-pihak tertentu yang ingin menghambat pembangunan," kata Djoko Kirmanto di Jakarta, Kamis.

Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie menilai, kontroversi tentang perpres itu adalah akibat dari kurangnya sosialisasi. Dia juga meyakini, setiap pembangunan fisik, seperti waduk, jalan, jembatan, dan perumahan, takkan berjalan tanpa didukung atau bertentangan dengan tata ruang.

Dalam tata ruang sudah diatur tentang posisi dari setiap jenis pembangunan, seperti di mana harus dibangun jalan umum, jalan tol, dan perkantoran. Pemerintah pun sangat menghormati kepemilikan tanah setiap orang dari suatu proyek. "Jadi jangan sampai ada orang yang mendadak mengklaim tanah yang ingin dibebaskan untuk kepentingan pembangunan sebagai miliknya," ujar Aburizal.

Djoko Kirmanto menambahkan, pemerintah takkan secara sepihak mencabut hak milik atas tanah tertentu yang gagal dilakukan negosiasi nilai ganti kerugian. Alasannya, proses pencabutan hak tersebut tidak mudah. (SUT/TAV/JAN)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved