Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Mengapa Perpres Nomor 36 menjadi masalah

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 16 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/16/opini/1819882.htm

Isi:

BERUNTUNGLAH kita memiliki seorang presiden yang cepat tanggap terhadap berbagai persoalan yang menghadang. Dengan itu, langkah penyelesaian bisa segera diambil dan tidak harus sampai menimbulkan kebuntuan.

Kita lihat bersama bagaimana reaksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dikeluhkan para petani tidak memenuhi undangan mereka. Merasa tidak menerima undangan itu dan mencoba memperbaiki saluran komunikasi yang tersendat, Presiden kemudian memberikan nomor telepon seluler yang bisa dihubungi setiap saat, termasuk dengan mengirimkan pesan layanan singkat atau SMS (short message service).

Segera saja orang kemudian berebut menghubungi telepon Presiden. Akibatnya, sempat terjadi gangguan dalam sistem pengirimannya dan Presiden akhirnya menutup sementara saluran teleponnya.

Andai saja Presiden didampingi staf yang lebih paham teknologi, hal itu bisa dihindarkan. Dengan membuka call center seperti yang biasa dibuat stasiun-stasiun televisi untuk menerima respons masyarakat, maka tidak perlu ada penumpukan pengiriman SMS dan keinginan Presiden untuk membuka saluran khusus bisa efektif.

BANYAK langkah cepat yang dilakukan Presiden untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Sekali lagi, langkah cepat seperti yang dilakukan Presiden itu sangatlah diperlukan untuk situasi yang kita hadapi sekarang ini.

Namun, ironisnya, langkah Presiden itu sering kali justru menjadi bumerang dan akhirnya balik menyulitkan Presiden sendiri. Mengapa? Karena dalam banyak hal, Presiden tidak didukung oleh tim yang bisa menutup kelemahan dari langkah Presiden tersebut. Termasuk menutup kelemahan dari sisi legal, sisi hukumnya.

Satu hal yang mencolok dan sekarang ini menjadi kontroversi juga adalah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kita menilai Perpres No 36 itu sangat kita perlukan karena banyak proyek pembangunan yang tidak bisa dilaksanakan akibat terkendala masalah pertanahan.

Contoh paling nyata adalah Jalan Tol Bintaro-Ulujami. Bertahun-tahun proyek itu terbengkalai karena terkendala masalah tanah, bahkan sampai muncul sinisme di tengah masyarakat bahwa JORR bukanlah "Jakarta Outer Ring Road", tetapi "Jalan Ora Rampung-Rampung".

Bahkan ketika jalan tol itu pun sudah selesai dibangun, ternyata tetap saja tidak bisa segera dipergunakan. Penyebabnya adalah karena ada seorang pemilik tanah yang tidak setuju dengan pembebasannya.

DENGAN Perpres No 36, pemerintah berkeinginan peristiwa seperti itu tidak sampai terjadi lagi. Janganlah hanya karena masalah satu orang, seluruh proyek pembangunan bagi masyarakat banyak jadi terbengkalai dan tidak bisa dikerjakan.

Pemerintah seumur-umur tidak akan pernah bisa melaksanakan pembangunan seperti yang diharapkan seluruh rakyat kalau setiap kali terkendala masalah pertanahan. Padahal, di samping memiliki nilai ekonomi, tanah juga harus memiliki nilai sosial.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun sekarang ini dihadapkan kepada peliknya soal pengadaan tanah bagi pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT). Proyek itu sudah ditetapkan tahun 2003 ketika banjir besar melanda Jakarta tahun 2002. Namun, sampai dua tahun berjalan, pengadaan tanah untuk pembangunan itu masih belum selesai juga.

Padahal, tanpa ada BKT, Jakarta bisa setiap saat terancam banjir. Dan kalau itu terjadi, maka yang akan direpotkan juga adalah masyarakat secara keseluruhan.

NAMUN, kita lihat maksud baik tersebut tidak ditangkap seperti itu. Keinginan pemerintah untuk semakin menyejahterakan rakyatnya justru ditangkap dengan ancaman untuk menyengsarakan rakyat.

Mengapa? Pertama, karena memang ada trauma masa lalu. Pembangunan di masa lalu selalu dipakai sebagai alat kepentingan ekonomi sekelompok pengusaha tertentu.

Akan tetapi, yang lebih krusial, Perpres No 36 itu memiliki banyak kelemahan yang mudah "ditembak" orang. Misalnya, istilah "kepentingan umum". Dalam perpres itu tidak cukup dijelaskan arti "kepentingan umum" yang dimaksud. Padahal, pandangan yang lain menyebutkan bahwa "kepentingan umum" hanya berlaku untuk proyek-proyek yang dilaksanakan pemerintah. Swasta tak boleh menggunakan apa yang merupakan fasilitas negara.

Soal lain adalah batas waktu penyelesaian sengketa yang ditetapkan 90 hari dan pemerintah kemudian bisa menitipkan ganti rugi itu melalui pengadilan. Hal itu dinilai tidak sejalan dengan semangat musyawarah yang diinginkan pemerintah meski, di sisi lain, kita pun memahami bahwa musyawarah tentunya tidak bisa juga dilakukan tanpa batas waktu yang jelas.

MEMANG ada yang mengingatkan bahwa semua persoalan itu tidak murni masalah hukum. Ada juga urusan perpolitikan di dalamnya.

Kita tidak menutupi fakta tersebut karena demokrasi yang baru kita bangun ini lebih banyak tertumpu kepada urusan hak. Belum mencakup soal kewajiban dan juga memikirkan hak orang lain.

Hanya saja kita tetap berpendapat, persoalan seperti itu bisa dikurangi potensi kontroversinya apabila dipersiapkan secara lebih matang dan lebih saksama. Dilihat lebih komprehensif dari seluruh seginya dan dihindarkan adanya peluang untuk menjadi sasaran perpolitikan.

Inilah yang harus menjadi pelajaran dan bahan untuk perbaikan. Bahwa agar maksud baik itu bisa diterima dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang memang baik, tidak bisa terjadi dengan begitu saja. Kita tidak bisa taken for granted, semua itu akan terjadi dengan sendirinya.

Dibutuhkan kesiapan, sosialisasi, dan komunikasi yang baik. Apalagi kalau kita sadar di mana kita sekarang ini sedang berada. Dalam situasi yang pancaroba, di mana kepentingan setiap orang tidak selalu sama.

Sungguh disayangkan apabila tujuan yang baik, yang bisa memberikan kemaslahatan bagi banyak orang, tidak bisa dilakukan seperti yang kita rencanakan. Yang kini dibutuhkan adalah kerelaan untuk menerima input yang positif itu bagi upaya penyempurnaan peraturan. Kedua, tentunya kita perlu yakin bahwa tujuan dari dikeluarkannya perpres tersebut adalah sepenuhnya untuk kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.

Mike Tyson di Ambang Kehancurannya yang Tragis

PEPATAH dalam olahraga berlaku untuk Mike Tyson. Petinju paling kontroversial itu membenarkan pepatah, "kekalahan terjadi karena ada yang lebih baik". Dia dikanvaskan oleh petinju Irlandia, Kevin McBride, di ronde keenam dalam pertarungan non-gelar di Washington, Amerika Serikat, Minggu (12/6).

Kita, terutama pengagum petinju kelahiran Brooklyn, 30 Juni 1966, itu, terenyak. Kaget dan terharu mendengar pernyataannya. Dia mengaku kalah. "Saya tak memiliki semuanya untuk bertarung lagi," kata Tyson.

Sebelumnya dia bilang, "Saya tidak dapat membohongi diri saya lagi. Saya tidak akan melakukan olahraga ini lagi. Saatnya sudah berakhir."

PERNYATAAN Tyson niscaya spontan. Umur tidak bisa menipu. Dengan umur yang sudah 38 tahun lebih, usia langka untuk petinju-kecuali untuk beberapa nama legendaris-Tyson mengaku "sudah habis".

Dia memang sudah berusaha keras untuk bangkit, tetapi faktor fisik tidak mendukung. "Saya merasa tidak mempunyai kemampuan lagi." Yang dilakukannya bukanlah putus asa. Sebelumnya dia bilang, "... tetapi memang saya tidak dapat melakukannya."

Sosok Tyson adalah sosok serba kontroversial. Petinju yang semula menakutkan bagi pesaing-pesaingnya itu, dianggap nyaris tidak terkalahkan, mengakhiri kariernya secara tragis. Tyson dikalahkan oleh petinju tak terkenal dari Irlandia, Kevin McBride.

Padahal, sebagai pencandu tinju, kita teringat bagaimana dia mengalahkan juara tinju dunia versi WBC, Trevor Berbick, pada ronde kedua. Seusai kemenangannya tanggal 22 November 1986 itu dia dinyatakan sebagai juara tinju kelas berat termuda. Lewat pertandingannya yang ke-13, namanya melejit. Gelar juara tinju dunia kelas berat sejati diraihnya ketika pada 7 Maret 1987 mengalahkan James Smith, juara tinju dunia kelas berat WBA, kemudian Tony Tucker dari versi IBF.

Tyson ibarat bayi ajaib. Ajaib karena kehadirannya yang serba instan dengan nafsu membunuh yang besar di atas ring. Ia juga menjadi tambang uang, dipuja orang-sesuatu yang gampang menjerumuskan orang pada split personality. Kasus-kasus "sampingan" seperti proses pengadilan atas tuduhan pemerkosaan peserta kontes ratu sejagat hanya salah satu kejadian "pedih" dalam lembaran riwayat hidup Tyson.

Split personality (skizofrenia) itu pula yang disebut-sebut para analis tentang perilaku Tyson. Termasuk juga ketika dia mulai surut setelah dikalahkan oleh James Douglas tahun 1990 di Tokyo; juga dalam kasus "gigit kuping" Evander Holyfield.

Catatan tinju Syamsul Anwar Harahap menjelang pertarungan Tyson-Kevin McBride (Kompas, 12 Juni) sudah bernada meragukan keperkasaan Tyson. "Manusia juga mempunyai batas kekuatan dan batas keberanian, tidak ada yang sempurna," tulis Syamsul.

TULISAN kita tidak terutama tentang kilas balik karier Mike Tyson. Kita ingin mengambil hikmah dari sosok split personality seorang anak manusia, petinju paling kontroversial tetapi sudah pasti mendatangkan banyak uang untuk pundi-pundi promotor tinju semacam Don King.

Kita dibuat kagum oleh pernyataan "mengaku kalah", sebuah pernyataan yang niscaya benda asing untuk seorang Mike Tyson. Tyson tidak kenal kata mundur dan kalah. Tidak kenal kata takut.

Tragis, memang! Dia dikalahkan secara memilukan oleh petinju tidak terkenal. Pernyataan Tyson seusai kekalahannya minggu lalu, selain membalikkan penilaian kita tentang dia, mengangkat ke permukaan jati diri olahraga. Olahraga memiliki kandungan hakiki sportivitas, olahraga sering dipadankan dengan sport.

Sport dan sportivitas terasa kompatibel. Tyson mengingatkan kembali nilai sportivitas yang nyaris hilang dari percaturan kehidupan kita sehari-hari. Makna luhur sport dihidupkan kembali sebagai contoh oleh seorang kontroversial seperti Mike Tyson.

HOMO ludens, manusia bermain karya Huizinga jadi referensi kita. Ia mengandung makna harus sportif. Mestilah apa yang terjadi dalam olahraga bisa kita bawa ke dalam berbagai segmen kehidupan lain. Taruhlah di bidang politik atau hukum. "Kebiasaan" partai-partai politik berakhir ricuh, menunjukkan pimpinan parpol, kita belum bisa bermain sportif.

Berani berbuat harus berani bertanggung jawab! Itu pun kalimat bersayap yang sarat makna. Ketika negeri ini menguakkan satu per satu "penyakit sosial" semacam korupsi, dan satu per satu pun disangkal, bangsa ini harus berhadapan dengan sosok Mike Tyson.

Tyson berani mengatakan "saya kalah". Sebaliknya pimpinan parpol atau tersangka kasus korupsi, bahkan terpidana kasus korupsi, masih bersikeras "saya tidak terima, saya tidak bersalah".

Mengaku bersalah perlu dipahami sebagai bagian integral kebenaran. Mike Tyson telah memberi contoh bagus. Di ambang kekalahannya, terempas kalah secara tragis, dia meminta maaf kepada istri, dan semua dilakukannya secara publik, di atas ring.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved