Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Maria SW Sumardjono -
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 16 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/16/opini/1819882.htm
Isi:
DI antara berbagai permasalahan dalam Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pengertian kepentingan umum dan penjabarannya dalam sebagian kegiatannya semakin mempertegas bahwa perpres ini sarat permasalahan. Kepentingan umum merupakan hal yang abstrak, mudah dipahami secara teoretis tetapi menjadi sangat kompleks ketika diimplementasikan.
Pemberian makna kepentingan umum tampaknya seiring sejalan dengan orientasi kebijakan pemerintah.
Ketika orientasinya lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, maka kepentingan umum cenderung didefinisikan secara luas. Sebaliknya, bila pertumbuhan ekonomi tidak menjadi fokus, kepentingan umum cenderung didefinisikan secara sempit.
Kepentingan umum dalam berbagai peraturan
Huybers dalam bukunya Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah mendefinisikan kepentingan umum sebagai "kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik, dan pelayanan publik".
Kepentingan umum dapat dijabarkan melalui dua cara. Pertama, berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi syarat kepentingan umum. Kedua, penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktik kedua cara itu sering ditempuh secara bersamaan.
Di Amerika Serikat (AS), pada masa awal pembangunan negara tersebut kepentingan umum (public use) didefinisikan secara luas, yakni sepanjang suatu kegiatan berdampak pada perluasan lapangan kerja, peningkatan aktivitas perdagangan/industri dan pengembangan sumber daya alam, maka hal itu termasuk dalam kepentingan umum. Ketika kemudian berkembang kekhawatiran bahwa hal itu akan mendesak perlindungan individu, muncul penafsiran secara sempit, yakni kepentingan umum sebagai hak masyarakat untuk menggunakan hasil kegiatan tersebut terkait dengan pelayanan publik.
Kecenderungan terakhir adalah bahwa suatu kegiatan bersifat kepentingan umum jika hal itu berkaitan dengan kesehatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditetapkan oleh badan legislatif.
Penafsiran apa pun yang dianut di AS, penetapan kegiatan yang bersifat kepentingan umum dilakukan oleh legislatif, pelaksanaannya dilakukan oleh eksekutif, dan putusan atas keberatan atau sengketa kepentingan umum ditetapkan oleh pengadilan.
Di Indonesia, kata "kepentingan umum" dan ekuivalennya disebut dalam Pasal 18 UUPA dan UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, yang merupakan pelaksanaan Pasal 18 UUPA, kata "kepentingan umum" ditambah dengan "kepentingan pembangunan". Kedua UU ini mengatur kepentingan umum dalam suatu pedoman umum.
Dalam perkembangannya, Inpres No 9/1973 sebagai peraturan pelaksanaan UU No 20/1961 menggunakan dua pendekatan, yakni pedoman umum (Pasal 1 Ayat (1) Lampiran Inpres) dan 13 daftar kegiatan (Pasal 1 Ayat (2) Lampiran Inpres).
Keppres No 55/1993 juga menganut dua pendekatan. Tetapi berbeda dengan inpres, "kepentingan umum" sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat diberi batasan tiga kriteria, yakni bahwa kegiatan dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dalam keppres ditegaskan bahwa hanya pemerintah yang dapat menggunakan keppres, pengadaan tanah oleh pihak swasta harus dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, dan sebagainya.
Kepentingan umum dalam perpres
Melalui perpres, makna kepentingan umum telah bergeser. Kepentingan umum sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat tidak dibatasi dengan tiga kriteria seperti keppres sehingga membuka penafsiran yang longgar. Contoh pergeseran makna itu adalah dimasukkannya "jalan tol" dalam salah satu kegiatan yang bersifat kepentingan umum. Keppres tidak memuat hal itu. Mudah dipahami bahwa batasan tiga kriteria kepentingan umum dihapuskan dalam perpres karena hal itu tidak dapat diaplikasikan untuk proyek jalan tol.
Dalam UU No 38/2004 tentang Jalan (18 Oktober 2004) dan PP No 15/2005 tentang Jalan Tol (21 Maret 2005) jelas bahwa jalan tol berbeda dengan jalan umum (jalan provinsi, kabupaten/kota, desa) karena spesifikasi teknisnya, pengguna dan kewajiban membayar pemakaian, dan pendanaan serta pengusahaannya dapat dilakukan oleh badan usaha milik swasta yang sudah tentu harus memperolah pengembalian investasi dan keuntungan yang wajar.
Dihapusnya tiga kriteria ini menjadi rancu ketika perpres membedakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah/pemerintah daerah melalui perpres, sedangkan untuk pihak swasta pengadaan tanah dilakukan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, dan sebagainya.
Tidak dimungkiri bahwa pembangunan jalan tol memerlukan dana besar yang tidak sepenuhnya dapat ditanggung pemerintah dan pelaksanaannya harus sesuai jadwal. Tetapi janganlah pertimbangan ini dicoba diatasi melalui perpres dengan risiko mengaburkan makna kepentingan umum dan nilai-nilai keadilan. Jika perpres tetap dipertahankan, sulit ditepis anggapan bahwa perpres ini dijadikan instrumen untuk legitimasi kepentingan tertentu.
Pilihan bijak
Ke depan perlu dipikirkan bahwa pengadaan tanah jangan hanya dilihat dari hasilnya, tetapi juga prosesnya. Seyogianya untuk setiap kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan pemerintah/pemerintah daerah atau pihak swasta, sepanjang hal itu berdampak terhadap penurunan kesejahteraan sosial ekonomi pemegang hak atas tanah, tata caranya harus diatur dalam UU.
Mengingat perpres ini bermasalah, baik dari segi substansi maupun wadahnya serta berpeluang tidak berlaku secara sosiologis, maka perlu ditunda pemberlakuannya. Untuk mencegah kekosongan hukum, Keppres No 55/1993 diberlakukan kembali untuk sementara waktu sampai dengan terbentuknya undang-undang tentang pengadaan tanah.
Benar bahwa setelah berlakunya UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penerbitan keppres tidak lagi dimungkinkan (Pasal 7). Namun, Keppres No 55/1993 yang semestinya tetap berlaku bila tidak diganti dengan perpres yang bermasalah ini, dapat diberlakukan kembali dengan membaca keputusan presiden sebagai peraturan presiden sesuai Pasal 56 UU No 10/2004.
Maria SW Sumardjono Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved