Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 16 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/16/UTAMA/1820292.htm
Isi:
Jakarta, Kompas - Pernyataan para pejabat pemerintah bahwa Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 lebih menjamin kepentingan umum dan kepastian proses pembangunan justru makin memicu berbagai protes. Pengamat, anggota DPR, sampai kalangan petani terus mendesak agar perpres tersebut dicabut karena merupakan kemunduran di era reformasi ini.
Lontaran protes itu muncul setelah Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melontarkan rencananya untuk menerapkan Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam rangka membangun Banjir Kanal Timur dan jalan tol lingkar luar.
Selain merupakan tindakan arogan dan melestarikan budaya Orde Baru yang represif, kebijakan tersebut menunjukkan ketidakpedulian penyelenggara negara terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Kritik itu disampaikan Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad, serta Koordinator Simpul Pokja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Ivan V Agung, Rabu (15/6). Ketiganya tergabung dalam Koalisi Ornop untuk Penolakan Perpres No 36/2005.
Sehari sebelumnya Sutiyoso menyatakan, demi kepentingan umum, dia akan menerapkan Perpres No 36/2005 untuk membangun jalan tol dan Banjir Kanal Timur yang selama ini terkendala masalah tanah.
Menurut Usep, sikap Sutiyoso tidak mencerminkan pejabat publik yang seharusnya lebih aspiratif, transparan, dan mengedepankan kepentingan publik, bukan memfasilitasi kepentingan pelaku bisnis dengan dalih kepentingan umum. "Sutiyoso tidak mau mendengarkan aspirasi berbagai pihak yang keberatan terhadap pemberlakuan perpres itu," katanya.
Padahal, keberatan dan penolakan atas Perpres No 36/2005 telah disampaikan berbagai kalangan organisasi nonpemerintah serta para pengamat dan pakar, DPR, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
"Penolakan sudah datang dari DPR dan Komnas. Bukankah DPR merupakan wakil rakyat yang telah dipilih secara langsung melalui pemilu yang demokratis," kata Ivan lagi.
Menambah penderitaan
Chalid Muhammad menegaskan, pernyataan Gubernur DKI Jakarta itu akan membuat perpres sebagai alat untuk menambah daftar panjang penderitaan rakyat akibat penggusuran. "Ancaman Sutiyoso untuk mencopot wali kota, jika proyek pembangunan belum selesai tepat waktu, dapat menimbulkan percepatan penggusuran tanah warga yang terkena banjir kanal," ujarnya.
Apa yang dilakukan Sutiyoso, menurut Chalid, membuktikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie bahwa Perpres No 36/2005 untuk kesejahteraan rakyat tidak terbukti. "Sebab, kenyataan pemerintah daerah justru ingin menggunakan perpres tersebut dalam proses mempercepat ambisi pembangunan mereka," paparnya.
Aburizal Bakrie, Selasa lalu, mengatakan, Perpres No 36/2005 justru memberikan perhatian kepada pemilik tanah untuk mendapat keadilan secara seimbang dengan kepentingan umum yang manfaatnya lebih luas. Pencabutan hak atas tanah tidak semudah yang dipikir orang karena harus melalui proses panjang, setelah melalui keterbukaan publik dan konsultasi wakil rakyat di lembaga legislatif.
"Perpres itu di satu sisi memberi landasan bagi kepastian proses pembangunan fasilitas umum, tetapi di sisi lain memberi keadilan bagi hak-hak perorangan," ujar Aburizal.
Namun, menurut Chalid, jika DKI Jakarta saja bisa melakukan kebijakan seperti itu, bagaimana dengan daerah yang jauh dari perhatian publik. Ia mendesak DPRD DKI Jakarta memanggil Gubernur DKI Jakarta dan meminta Sutiyoso mengubah model pendekatan dalam pembangunan Banjir Kanal Timur. "Semoga Presiden lebih jeli dan jernih melihat perkembangan sehingga tidak hanya mendengar masukan tim ekonominya dan mengutamakan kepentingan pelaku bisnis," ujar Chalid.
Suara wakil rakyat
Beberapa anggota Komisi II DPR kembali melontarkan kekecewaan mereka atas rencana pemerintah memberlakukan Perpres No 36/2005. Komisi II sebenarnya sudah memberi waktu dua bulan kepada pemerintah untuk merevisi perpres itu. Bahkan, semangat awal Komisi II adalah meminta pemerintah "mencabut" dulu Perpres No 36/2005. Namun, proses politik di internal Komisi II bisa melunakkannya dengan mengganti redaksional menjadi "merevisi" saja.
Anggota Komisi II Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional/PAN, daerah pemilihan Jawa Barat III) serta anggota Komisi II M Nasir Djamil (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nanggroe Aceh Darussalam I) secara terpisah menyatakan kecewa dengan pemberlakuan Perpres No 36/2005. Padahal, kata mereka, sudah jelas sikap DPR, yakni meminta agar perpres direvisi dan tidak dipergunakan dulu.
Menurut Sayuti, sebenarnya Komisi II bersikeras meminta perpres tersebut dicabut. "Memang kita perlu sikapi dengan tegas agar tidak dilecehkan. Kesimpulan kita itu bukan dibuat secara asal-asalan," kata Nasir menambahkan.
Dalam kesimpulan Komisi II DPR yang sudah disampaikan kepada pemerintah dinyatakan, Perpres No 36/2005 dinilai belum memberikan penghormatan dan perlindungan memadai terhadap pemegang hak atas tanah. Terdapat kemungkinan terjadinya perlakuan diskriminatif, terutama atas pengertian kepentingan umum. Materi perpres mengabaikan hak asasi pemegang tanah karena ketidakjelasan prinsip penghormatan dalam pengadaan tanah.
Icu Zukafril, fungsionaris DPP PAN, juga menilai perpres itu sudah mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan sehingga harus dicabut. "Pembangunan jalan tol adalah kegiatan yang berorientasi bisnis. Kaidah pengembalian dan kapitalisasi modal, mencari laba merupakan prasyarat jalan tol. Sehingga bahkan dalam acara infrastructure summit yang digelar pemerintah baru-baru ini telah disepakati bahwa pembangunan infrastruktur akan dilakukan untuk kepentingan bisnis, bukan kepentingan umum," ujar Icu.
Suara petani
Kemarin sekitar 200 orang yang menamakan diri Persatuan Perjuangan Rakyat Tergusur berdemonstrasi di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Mereka menolak pemberlakuan Perpres No 36/2005.
Juru bicara kelompok dari Walhi Jawa Timur, Ridho Saeful Ashadi, mengatakan, seharusnya pemerintah mengedepankan pembangunan yang dibutuhkan masyarakat.
Di Semarang, sekitar 5.000 petani dari Organisasi Petani Jawa Tengah berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Jawa Tengah. Mereka menuntut Presiden Yudhoyono mencabut Perpres No 36/2005. (D02/BRO/IKA/SON/dik)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved