Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Minggu, 12 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-%20cetak/0506/12/UTAMA/1809249.htm
Isi:
Jakarta, Kompas - Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie menegaskan, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum bukan dimaksudkan untuk menyengsarakan masyarakat. Perpres tersebut justru dikeluarkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Berbicara kepada Kompas hari Sabtu (11/6), Ical, panggilan akrab Aburizal, menangkap adanya pemahaman yang kurang tepat mengenai Perpres No 36/2005. Digambarkan seolah-olah pemerintah tidak mengakui hak atas kepemilikan tanah dan secara sepihak ingin mengambil alih hak itu dengan mengatasnamakan kepentingan umum.
"Pemerintah sangat menghormati hak atas kepemilikan tanah. Hanya saja dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melakukan pembangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat umum sering dihadapi adanya kendala dalam pengadaan tanah untuk kepentingan tersebut," ujar Ical.
Dengan adanya Perpres No 36/2005, pemerintah ingin mendapatkan cara terbaik bagi pengadaan tanah tersebut tanpa merugikan siapa pun. Pemerintah, melalui pemerintah daerah, akan berhubungan langsung dengan para pemilik tanah untuk menentukan nilai ganti rugi yang pantas dan tidak membuat pemilik tanah harus hidup sengsara.
"Selama ini dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sering kali yang lebih banyak bermain adalah para calo tanah. Dengan perpres ini justru kita upayakan agar hal itu tidak lagi terjadi. Jadi, masyarakat sebagai pemilik tanah bisa memperoleh ganti rugi sesuai dengan yang disepakati," kata Menko Perekonomian.
Mengenai cara penilaian harga tanahnya, menurut Ical, hal itu diserahkan kepada musyawarah antara pemerintah daerah dan pemilik tanah. Acuannya bisa berdasarkan nilai jual obyek pajak yang ditetapkan dalam pajak bumi dan bangunan atau menunjuk pihak ketiga yang diminta untuk melakukan penilaian atas harga tanah.
Ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga memperhitungkan yang nonfisik.
"Pemerintah tidak menginginkan masyarakat yang diminta untuk menyerahkan tanahnya bagi kepentingan pembangunan itu kemudian hidupnya menjadi lebih sengsara. Mereka justru harus memperoleh ganti rugi yang memungkinkan untuk hidup lebih baik. Kalaupun disepakati untuk diberikan tanah pengganti yang memungkinkan masyarakat daerah itu untuk bisa hidup lebih baik, tentunya dipersilakan kepada pemda untuk melakukannya," kata Ical.
Menko Perekonomian mengajak lembaga swadaya masyarakat untuk terlibat secara positif dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dari pelaksanaan perpres.
"Marilah kita tidak bersikap apriori. Pemerintah secara terbuka mengajak LSM berperan serta mengontrol pelaksanaan perpres ini agar memang sesuai dengan tujuan besar yang ingin kita capai, yakni menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera," kata Ical.
Salah wadah
Sementara itu, Dr Maria SW Soemardjono, ahli hukum pertanahan dari Universitas Gadjah Mada, tetap menekankan bahwa asas pembentukan Perpres No 36/2005 itu keliru.
"Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan UU, kalau substansi masalah yang akan diatur itu menyangkut soal hak asasi manusia (HAM), peraturan yang akan dibuat atau diciptakan seharusnya setingkat undang-undang. Nah, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang mendapat reaksi berbagai macam dari masyarakat itu juga menyangkut soal HAM, yaitu soal hak milik perorangan atas tanah. Ini jelas soal HAM. Maka pertama-tama perpres itu salah wadahnya," kata Maria yang dihubungi Kompas kemarin.
Menyangkut detail isi perpres, salah satu yang dikutip Maria dan potensial memicu persoalan ialah tentang sengketa. Dalam Perpres No 36/2005 ditetapkan bahwa jika terjadi sengketa atas tanah, dan dalam waktu 90 hari sengketa itu tercapai musyawarah, uang ganti rugi oleh pemerintah selaku pemrakarsa proyek dapat menitipkan di Kantor Pengadilan.
"Ini yang saya kira oleh masyarakat memang ditafsirkan pemaksaan kehendak. Apalagi, misalnya, itu urusan pembangunan jalan tol. Jalan tol itu belum tentu menyangkut kepentingan umum dan jalan tol tidak begitu saja lalu jadi kepentingan umum," ujarnya.
Maka, Maria melihat Perpres No 36/2005 sebagai kemunduran. Itu, katanya, perpres yang mundur kualitasnya dibandingkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 55/1993.
Di dalam Keppres No 55/1993 kepentingan umum itu jelas maksudnya, yaitu kegiatan yang tujuannya untuk kepentingan masyarakat luas dan tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
"Yang disuarakan sejumlah ornop (organisasi nonpemerintah), terus terang saja, memang merupakan pressure group yang menekan pemerintah. Saya selaku akademisi memang mengkritik, tetapi saya memberikan jalan keluar," katanya.
Karena itu, Maria mengusulkan, Perpres No 36/2005 jangan diberlakukan karena esensinya jauh lebih mundur dibandingkan dengan Keppres No 55/1993-meskipun peraturan lama itu produk Orde Baru.
"Sekarang, supaya tidak terjadi kekeliruan yang berlarut-larut, Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ini dicabut saja dan penggantinya ialah memberlakukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993, sambil terus diupayakan terbentuknya undang-undang," kata Maria. (TOM/HRD)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved