Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Sutiyoso : Perpres No 36/2005 untuk lawan spekulan tanah

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 17 Juni 2005
http://www.kompas.com//metro/news/0506/17/151926.htm

Isi:

Peraturan Presiden (Perpres) No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum diterbitkan untuk melawan para spekulan tanah yang sering menguasai tanah yang hendak dijadikan proyek pembangunan. Perpres itu tidak bermaksud merugikan warga pemilik tanah.

Gubernur DKI Jakarta mengemukakan hal itu di Balaikota, Jumat (17/6), berkaitan dengan keberatan sejumlah pihak terhadap rencana penerapan perpres tersebut di Jakarta. "Yang kita lawan bukan masyarakat. Yang kita lawan itu spekulan. Setiap ada proyek-proyek besar, spekulan masuk. Itulah yang menghambat pembangunan proyek-proyek besar termasuk BKT (Banjir Kanal Timur)," ujar Sutiyoso.

Karena itu, ia berkeras tetap menerapkan Pepres No 36/2005 tersebut di Jakarta. Menurut Sutiyoso, perpres itu tergolong cukup baik, karena patokan harga tanah yang dibayarkan kepada warga adalah sesuai harga pasar.

Dalam Perpres No 36/2005 disebutkan, untuk pembebasan tanah bagi pembangunan kepentingan umum, diberikan waktu 90 hari bagi pengembang dan pemegang hak atas tanah untuk bernegosiasi. Jika dalam 90 hari tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah akan menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi serta menitipkannya ke pengadilan negeri setempat.

Apabila setelah itu belum juga dicapai kesepakatan, Presiden atas usul bupati/wali kota, gubernur atau Menteri Dalam Negeri dapat mencabut hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang tadi.

Sutiyoso melanjutkan, penerapan perpres itu di Jakarta tidak akan dilakukan secara serta merta. Pelaksanaan akan didahului dengan tahap sosialisasi.

Sebelumnya Sutiyoso menyatakan, demi kepentingan umum, dia akan menerapkan Perpres No 36/2005 untuk membangun jalan tol dan BKT yang selama ini terkatung-katung, antara lain karena tidak ada kesepakatan soal pembebasan tanah antara Pemprov DKI dengan pemilik tanah. Warga biasanya mengajukan nilai ganti rugi lahan dengan berpatokan pada harga pasar, tapi Pemprov DKI berpatokan pada nilai jual objek pajak (NJOP). (Ima)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved