Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tanah warga dibebaskan berdasarkan Perpres No 36 : Untuk bangun jalan tol dan Banjir Kanal Jakarta

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 15 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/15/UTAMA/1818741.htm

Isi:

Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta akan segera menerapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam rangka membangun Banjir Kanal Timur sepanjang 23,6 kilometer dan jalan tol lingkar luar Jakarta. Dengan penerapan peraturan yang diterbitkan tanggal 3 Mei 2005 itu, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berharap program pembangunan di Jakarta yang terkendala masalah pembebasan lahan itu dapat berjalan lebih cepat dan lancar.

"Kendala pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) memang pembebasan lahan karena sudah dikuasai oleh para spekulan, padahal ini untuk kepentingan umum. Kalau Jakarta mau bebas banjir tahunan, BKT harus dibangun. Makanya jangan dihambat. Apalagi kini ada peraturan presiden (perpres), kami akan terapkan perpres itu," ujar Sutiyoso di Kantor Presiden, Selasa (14/6).

Sutiyoso datang ke Kantor Presiden untuk melaporkan rencana pelaksanaan Jakarta Fair 2005 dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Ke-478 Jakarta di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, pada 16 Juni-17 Juli 2005, yang bertema "Indonesiaku Bersatu".

Rencana penerapan Perpres No 36/2005-yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tindak lanjut Pertemuan Infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005-disampaikan Sutiyoso ketika ditanya bagaimana Pemerintah Provinsi DKI menghadapi kendala utama pembebasan lahan dalam pembangunan BKT.

Sebelumnya Sutiyoso telah mengancam mencopot jabatan Wali Kota Jakarta Timur Koesnan A Halim dan Wali Kota Jakarta Utara Effendy Anas jika pada waktu yang telah ditetapkan proyek pembangunan BKT belum selesai. Sutiyoso juga mengancam akan memecat empat kepala dinasnya jika proyek yang dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada bulan Juli 2003 itu tidak berjalan.

Harga pasar

Mengenai penerapan Perpres No 36/2005 yang masih mendapat tentangan dari sejumlah kalangan, Sutiyoso menegaskan, "Perpres baru itu bukan untuk menyengsarakan rakyat. Keliru itu. Justru perpres itu untuk menyejahterakan rakyat demi kepentingan umum. Lagi pula, mereka kan tidak kami bayar sembarangan. Kami membayar sesuai harga pasar."

Dengan pegangan Perpres No 36/2005, Sutiyoso merasa lebih yakin program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang selama ini terkendala masalah pembebasan lahan akan berjalan lebih cepat dan lancar. "Perpres itu juga akan kami terapkan untuk pembangunan jalan tol dan jalur kereta api, termasuk membuat situs. Pokoknya untuk kepentingan umum," ujarnya.

Sutiyoso menjelaskan, Perpres No 36/2005 yang diterbitkan untuk menggantikan Keputusan Presiden No 55/1993 cukup membantu untuk pelaksanaan program pembangunan kepentingan umum di Jakarta.

"Perpres ini diterapkan untuk kepentingan umum. Jadi tidak ada kepentingan bisnis. Catatannya itu semata-mata untuk kepentingan umum, seperti BKT, jaringan kereta api, dan jalan tol. Kerugian kita luar biasa karena infrastruktur transportasi kita secara nasional lemah. Kita akan jalankan perpres itu. Kalau tidak bisa, terhambat semua rencana pembangunan pemerintah, seperti BKT yang adalah satu-satunya cara membebaskan Jakarta dari banjir tahunan," ujarnya.

Hak atas tanah

Sutiyoso yakin dapat mewujudkan proyek-proyek pembangunannya dengan Perpres No 36/2005 karena di dalamnya tercakup pasal-pasal yang dibuat dengan semangat mengatasi kendala pembebasan lahan. Dalam perpres itu ditegaskan, demi kepentingan umum, hak atas tanah milik seseorang atau instansi dapat dicabut oleh negara.

Pencabutan hak tersebut dapat dilakukan jika penyelesaian yang ditempuh kepala daerah setempat atau dengan Menteri Dalam Negeri tetap tidak dapat diterima pemilik tanah, sedangkan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain.

Proyek besar

Dalam catatan Kompas, Proyek Banjir Kanal Timur akan membebaskan lahan seluas 400 hektar di 13 kelurahan di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Biaya yang dianggarkan dari APBN sebesar Rp 5,1 triliun dengan rincian Rp 2,4 triliun untuk pembebasan lahan dan sisanya untuk konstruksi.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Achmad Haryadi, proyek itu harus mulai tahap konstruksi pada tahun 2007. Namun, hingga Mei lalu yang dibebaskan baru 40,13 hektar. Tahun 2004 lahan yang dibebaskan dengan dana Rp 150 miliar hanya 4,5 hektar.

Tahun ini disediakan dana Rp 450 miliar dengan target pembebasan lahan seluas 120 hektar. Sisanya, 100 hektar, ditargetkan dibebaskan tahun 2006 dan 135 hektar lagi tahun 2007.

Jalan lingkar luar Jakarta yang panjangnya 67,7 kilometer itu, sejak mulai dibangun tahun 2002 hingga pertengahan tahun 2005, baru bisa diselesaikan 32,2 kilometer, yakni ruas Taman Mini-Pondok Pinang 14,8 km, Pondok Pinang-Veteran 3 km, Taman Mini-Hankam Raya 4 km, Cikunir-Cakung 9,1 km, dan Veteran-Ulu Jami 1,3 km.

Ruas Hankam-Cikunir (8,4 km) mestinya bisa diselesaikan tahun ini jika pembebasan lahan berjalan lancar. Namun, tuntutan pemilik tanah, yang menetapkan harga Rp 1,7 juta per meter persegi, menghambat penyelesaian proyek tersebut. Ketika musyawarah, sebelumnya, sepakat untuk menentukan harga ganti rugi Rp 1,35 juta per meter, tetapi hal itu ternyata tak juga dibayarkan oleh PT Jasa Marga sebagai pemilik proyek. Lingkar barat Ulu Jami-Kebon Jeruk-Penjaringan sampai sekarang belum jelas kapan dimulai.

Pemerintah juga berencana membangun jalan lingkar luar Jakarta (Cikarang-Depok-Tangerang) yang panjangnya 157 km dengan perkiraan biaya Rp 19,42 triliun. Di samping itu, juga ada usulan swasta untuk membangun jalan tol dari Cikarang ke Pelabuhan Tanjung Priok melalui kawasan utara Bekasi.

Hak Presiden

Staf khusus sekaligus Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng mengemukakan, meski pemerintah mempunyai hak mencabut hak seseorang atas tanah, pencabutan hak itu tetap dilakukan berdasarkan penghormatan terhadap hak atas tanah seseorang. Namun, Perpres No 36/2005 tidak menjelaskan penghormatan yang dimaksud.

Menurut Perpres No 36/2005, pencabutan hak atas tanah dilakukan Presiden atas permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menteri yang memerlukan tanah serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Usulan pencabutan hak tanah harus dilakukan sebelumnya oleh kepala daerah atau Menteri Dalam Negeri setelah penyelesaiannya tidak dapat diterima oleh pemegang hak tanah.

Dengan Perpres No 36/2005, Sutiyoso dapat saja mengusulkan kepada Presiden untuk mencabut hak atas tanah milik rakyat untuk proyek seperti BKT dan jalan tol.

21 jenis kepentingan umum

Dalam Perpres 36/2005 disebutkan, kepentingan umum meliputi 21 jenis, yaitu jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan perairan lain; rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.

Selain itu, pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; peribadatan; pendidikan atau sekolah; pasar umum; fasilitas pemakaman umum; fasilitas keselamatan umum; pos dan telekomunikasi; sarana olahraga; stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya.

Kepentingan umum juga termasuk kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga internasional di bawah naungan PBB; fasilitas TNI dan kepolisian; lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; rumah susun sederhana; tempat pembuangan sampah; cagar alam dan budaya; pertamanan; panti sosial; dan pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Tidak mudah

Secara terpisah Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie mengatakan, proses pencabutan hak atas tanah bagi kepentingan umum dan negara tidaklah semudah yang ditafsirkan banyak pihak. Penerbitan Perpres No 36/2005 bertujuan agar pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan transparan melalui partisipasi publik, akuntabel, dan menghormati hak-hak atas tanah.

Menurut Aburizal, perpres ini memberi landasan bagi penyusunan jadwal pembangunan kepentingan umum yang lebih terukur sehingga memberi kepastian pembangunan. "Dalam perpres ini diamanatkan rentang waktu penyelesaian pengadaan lahan yang memungkinkan waktu paling lama 90 hari kalender bagi pelaksanaan musyawarah terhitung dari undangan pertama musyawarah," ujar Aburizal.

Pengadaan lahan bagi pembangunan kepentingan umum ini dilakukan dengan pelepasan atau penyerahan hak tanah atau pencabutan hak atas tanah. Untuk melakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, maka hal itu dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan hak tanah, sementara pencabutan hak atas tanah diatur berdasarkan UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di Atasnya.

Perpres itu, lanjut Aburizal, mengamanatkan perhatian kepada pemegang hak atas tanah untuk mendapat keadilan atas ganti rugi sekaligus menjaga keseimbangan antara penghormatan hak atas tanah serta kebutuhan kepentingan umum.

Jadi, pencabutan hak atas tanah harus melalui proses panjang dan merupakan jalan terakhir. Salah satu prosesnya haruslah melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang harus dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Dengan konsultasi publik, diharapkan ada keterbukaan bagi masyarakat tentang lokasi yang akan dibangun untuk kepentingan umum. Dari RTRW itulah bupati atau gubernur membuat surat keputusan soal lokasi proyek.

Dalam proses peralihan atas tanah diperlukan izin tertulis dari bupati/wali kota/gubernur. Penentuan nilai atas tanah yang dibebaskan melibatkan lembaga/tim penilai harga independen yang akan ditetapkan bupati/wali kota atau gubernur. Jika setelah dilakukan musyawarah dan ganti rugi sudah dititipkan di pengadilan masih ada ketidaksepakatan dari pemilik tanah, masih ada peluang mengajukan keberatan kepada kepala daerah setempat dalam waktu 90 hari.

Dibandingkan dengan proses pembebasan tanah era Orde Baru, perpres ini mengatur prosedur yang sedikit berbeda. Dulu proses pembebasan dan penilaian nilai ganti rugi tanah dilakukan tim sembilan instansi atau sering disebut tim sembilan. Kini dengan Perpres No 36/2005, penentuan nilai ganti rugi tanah dilakukan tim penilai independen yang susunannya ditetapkan bupati/wali kota atau gubernur.

(INU/HAR/msh/nug)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved