Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Suara Pembaruan: Selasa, 14 Juni 2005
Isi:
JAKARTA - Pemerintah mengakui sosialisasi dan penjelasan yang memadai tentang Peraturan Presiden (Perpres) No 36 Tahun 2005 masih kurang sehingga muncul banyak reaksi penolakan dari masyarakat.
Untuk itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan kepada para menteri terkait agar memberikan penjelasan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Demikian Sekretaris Kabinet (Seskab) Sudi Silalahi dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra di Gedung DPR/ MPR di Jakarta, Senin (13/6), menjawab pertanyaan Sayuti Alsatiri dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) tentang maraknya aksi penolakan dari warga masyarakat atas Perpres tersebut.
Sudi Silalahi mengatakan, Perpres tersebut sudah sesuai keinginan yang diharapkan semua pihak. Salah satunya adalah menunjukkan keberpihakan kepada rakyat karena sudah mencakup mekanisme yang berlaku sehingga pemilik tanah tidak akan dirugikan.
Saat ini, kata Sudi, kebutuhan membangun infrastruktur sudah sangat mendesak. Tapi sayangnya belum ada kepastian hukum. Karena itu, Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dalam beberapa kali sidang kabinet selalu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar ada kepastian hukum untuk pembangunan.
"Tapi kalau masih ada hal-hal yang ingin ditinjau kembali, maka masih ada kemungkinan revisi. Tapi kita kaji dulu nanti, karena hal-hal yang menyangkut peraturan tidak bisa dipikirkan sejenak," kata Sudi.
Yusril mengatakan, rekomendasi DPR agar pemerintah merevisi Perpres No 36 bisa saja dipertimbangkan. "Tapi apakah usulan itu bisa diterima atau tidak, ini sepenuhnya wewenang presiden," katanya.
Mengenai siapa yang berhak memberi pertimbangan dan rekomendasi perihal keluarnya Perpres No 36 Tahun 2005 yang dinilai sangat represif itu, Sudi Silalahi dan Yusril terkesan saling melempar tanggung jawab. Keduanya tidak memberikan jawaban pasti perihal sejauh mana keterlibatan Sekretariat Negara dalam memberikan pertimbangan tentang keluarnya Perpres 36 tersebut.
Saling lempar tanggung jawab berlangsung hingga sidang ditutup sekitar pukul 14:30 WIB, walau sebagian besar anggota Komisi II DPR RI dengan berbagai ragam pertanyaan mencoba mencecar dan mengorek di mana letak permasalahannya sehingga Perpres tersebut lolos, walau mendapat penolakan dari DPR RI.
Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Eddy Maikati mengatakan, Komisi II DPR telah melakukan kajian dan menemukan ada 13 dari 24 pasal dalam Perpres tersebut yang dikritisi atau lebih dari 50 persennya bermasalah.
Empat Prinsip
Sementara itu dalam penjelasannya Senin (13/6), Menko Perekonomian Aburizal Bakrie mengungkapkan, proses pencabutan hak atas tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, tidaklah semudah yang ditafsirkan banyak pihak selama ini.
Menurutnya, penerbitan Perpres 36/2005 bertujuan agar proses pengadaan tanah yang diperuntukkan kepentingan umum, dilakukan secara transparan melalui partisipasi publik, dapat dipertanggungjawabkan, dan menghormati hak-hak yang sah atas tanah.
"Pencabutan hak atas tanah seperti yang ramai diberitakan tidaklah semudah yang dipikirkan orang. Itu harus melalui proses yang sangat panjang dan merupakan jalan terakhir. Salah satu prosesnya haruslah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah yang sebelumnya harus dikonsultasikan dengan legislatif," ujarnya.
Ditegaskan, ada empat prinsip utama dalam Perpres 36/2005. Keempat prinsip itu adalah kepastian atas terselenggaranya proses pembangunan, keterbukaan publik dalam proses pembangunan untuk kepentingan umum, penghormatan hak atas tanah, serta keadilan bagi yang menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah bagi kepentingan umum.
Menyangkut prinsip yang pertama, diharapkan memberi landasan bagi penyusunan jadwal penyelesaian pembangunan kepentingan umum yang lebih terukur. Selain itu juga memberi landasan bagi tahapan prosedur kerja yang harus dilakukan.
Dalam Perpres tersebut diamanatkan bahwa waktu penyelesaian pengadaan lahan paling lama 90 hari kalender bagi pelaksanaan musyawarah, terhitung dari undangan pertama.
Selanjutnya mengenai keterbukaan publik, Menko Perekonomian menjelaskan, Perpres 36/2005 menetapkan tahap-tahap yang harus dilalui sebelum dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Tahapan dimaksud meliputi, pencantuman lahan yang akan diserahkan atau dilepaskan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), serta penetapan lokasi pembangunan kepentingan umum melalui SK Bupati atau Wali Kota atau Gubernur. Dia menambahkan, dalam proses penyusunan RTRW dan penetapan SK, diperlukan konsultasi publik dan asistensi bersama legislatif.
Dijelaskan pula, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Hal itu dimaksudkan sebagai bentuk keadilan bagi masyarakat yang menyerahkan atau melepaskan hak atas tanah.
(L-8/A-17)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved