Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tanah dan rakyat

Format : Artikel

Impresum
Iman Sjahputra - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Suara Pembaruan: Jum\'at, 10 Juni 2005

Isi:

Peraturan presiden (Perpres) No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditandatangani Presiden Yudhoyono 3 Mei 2005 menuai kritik banyak kalangan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun minta pemberlakuannya ditunda. Bahkan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat mengusulkan mencabutnya.

Mengapa kritikan begitu tajam? Padahal jika disimak, penerbitan Perpres yang mengatur soal alokasi tanah bagi pembangunan ini, dimaksudkan sebagai revisi Keputusan Presiden (Keppres) No 55 Tahun 1993 yang mengatur masalah yang sama.

Bila mengamati fenomena penolakan yang dilansir media masa, sejatinya lebih pada adanya kekhawatiran, jika Perpres ini nantinya menjadi alat pembenar penguasa dalam mengambil alih tanah rakyat, khususnya rakyat kecil.

Meskipun bertajuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, Perpres ditengarai bisa mengabaikan aspek-aspek Hak Asasi Manusia (HAM) yang sarat dalam persoalan pertanahan. Bahkan ada yang menilai, Perpres ini lebih "kejam" bila dibandingkan dengan Keppres No.55/1993.

Jika menilik substansi Perpres No 36 Tahun 2005 ini, maka menyangkut pengadaan tanah untuk pembangunan dilakukan dengan dua cara, yaitu pelepasan hak dan pencabutan hak. Nah, mengenai pencabutan hak atas tanah, sebelumnya tidak diatur dalam Keppres No 55/1993.

Selain itu, jika tidak tercapai kata sepakat antara pemerintah dengan pemilik tanah (rakyat), maka pemerintah (panitia pengadaan tanah) hanya memberikan waktu 90 hari untuk bernegosiasi dan pencabutan hak atas tanah bisa dilakukan.

Jadi meskipun semangatnya baik, yakni pengadaan tanah demi kepentingan umum, Prepres ini menuai banyak kritik.

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa ada pasal-pasal Perpres yang bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku selama ini. Misalnya, dalam hal ganti rugi.

Sedangkan perluasan objek demi kepentingan umum dalam Perpres juga dinilai tidak lagi murni untuk kepentingan pembangunan. Ada 21 batasan objek yang dimaksud untuk kepentingan umum: Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (diatas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi; Waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; Peribadatan; Pendidikan atau sekolah; Pasar umum; Fasilitas pemakaman umum; Fasilitas keselamatan umum; Pos dan telekomunikasi; Sarana olahraga; Stasiun penyiaran radio, televisi, dan sarana pendukungnya; Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, PBB, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB; Fasilitas TNI dan Kepolisian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan; Rumah susun sederhana; Tempat pembuangan sampah; Cagar alam dan cagar budaya; Pertamanan; Panti sosial dan Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Dari batasan-batasan ini, Perpres dinilai berpotensi mengundang konflik di kemudian hari. Selain itu, dalam salah satu pasal ditentukan bilamana masyarakat tidak setuju dengan ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah dan setelah dinegosiasikan dalam jangka waktu tertentu, maka pemerintah dapat menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan. Apakah tindakan pemerintah ini bukan semacam pemaksaan terhadap rakyat untuk melepaskan tanah?

Perlu kita sadari, suatu proses pengadaan tanah sudah sepatutnya harus atas dasar mufakat. Artinya, jika pemerintah membutuhkan tanah untuk kepentingan umum, maka pemerintah wajib membayar kompensasi dengan harga yang sepatutnya. Dalam negosiasi suatu harga tidak dapat dipatok secara sepihak oleh pemerintah, tetapi pemerintah harus melihat harga-harga pasar yang berlaku.

Bilamana harga yang ditawarkan kepada rakyat sudah sesuai dengan harga pasar dan rakyat tidak mau menerimanya. Maka untuk kepentingan umum/pembangunan, kiranya pemerintah baru dapat menempuh proses penitipan melalui pengadilan. Dasar hukumnya, Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 yang isinya menegaskan, bahwa semua hak milik atas tanah mempunyai fungsi sosial juncto pasal 33 (3) UUD 1945 hasil Amandemen yang menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lantas, akankah Perpres bisa memakmurkan rakyat? Bukan sebaliknya menambah deretan panjang konflik agraria yang sampai sekarang sudah ribuan jumlahnya.

Hak negara (pemerintah) untuk membebaskan atau mengambil atau mencabut hak tanah warga negara untuk kepentingan umum merupakan sesuatu yang melekat pada negara sebagaimana dikenal dengan asas eminen domain, namun harus tetap diikuti dengan ganti rugi yang adil.

Kita berharap, janji Presiden Yudhoyono dengan mengeluarkan Perpres No.36/2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ini, bahwa pencabutan hak atas tanah harus tetap berdasarkan prinsip penghormatan terhadap HAM seseorang. Bisakah itu tercermin dari Perpres No 36 Tahun 2005?

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved