Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2005
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 14 Juni 2005
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/14/metro/1809963.htm
Isi;
GAGASAN membangun jalan tol tengah kota di Jakarta sepanjang 85 kilometer merupakan gagasan yang betul-betul gila. Gagasan itu hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi saja. Secara bisnis membangun jalan tol di tengah kota akan sangat menguntungkan karena investasi pasti akan cepat balik. Namun, secara sosial, budaya, dan lingkungan fisik, pembangunan tol itu jelas akan merusak tatanan.
Gagasan serupa pernah muncul di Surabaya, yaitu jalan tol Waru-Wonokromo-Tanjung Perak sepanjang 18,4 kilometer. Rencana itu sudah disetujui oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (2003), tetapi sampai sekarang belum terealisasi. Masalahnya selain ada pada investor, Pemerintah Kota Surabaya juga menolak. Hanya Pemprov Jawa Timur dan pemerintah pusat yang ngotot membangun jalan tol tengah kota tersebut.
Argumen yang dikemukakan oleh para perencana dan pejabat yang berambisi adalah jalan tol dapat mengatasi kemacetan, khususnya untuk jalur Jalan A Yani-Wonokromo yang sangat padat dan diperkirakan pada tahun 2010 tingkat kecepatan di dalam Kota Surabaya hanya 10 km/jam.
Jalan tol dianggap satu-satunya alternatif untuk memecahkan masalah kemacetan. Namun, studi kelayakan yang dilakukan oleh institusi independen menunjukkan bahwa bila jalan tol tengah kota itu dibangun, akan memperpanjang tundaan pada jalan-jalan sekitarnya dan menambah polusi udara.
Bercermin pada Surabaya
Jakarta sebagai Kota Megapolitan dapat bercermin pada Pemkot Surabaya yang melihat jalan tol bukan sebagai pemecahan, tetapi sebagai masalah baru. Pengalaman selama ini adalah setiap kali jalan tol dibangun bukannya kemacetan yang teratasi, tetapi justru deret kemacetan yang bertambah seiring dengan penambahan mobil-mobil baru yang dirangsang oleh keberadaan jalan-jalan tol.
Masyarakat kota sekitar lokasi jalan tol itu tidak pernah memperoleh manfaat dari jalan tol karena investasi dilakukan swasta dan pengelolaannya dilakukan oleh PT Jasa Marga (Persero). Sebaliknya, masyarakat hanya akan menuai kebisingan suara dan polusi udara dari mobil-mobil yang semakin banyak melintas.
Yang diuntungkan secara besar-besaran dari pembangunan jalan tol tengah kota sepanjang 85 km itu adalah perencana, konsultan, jasa konstruksi, rekanan, industri otomotif, Jasa Marga, dan pejabat yang terlibat dalam proses pembangunan. Warga kota umumnya justru akan termarjinalisasi karena semakin sulit memperoleh layanan angkutan umum. Sebab, kendaraan umum yang tidak mau terjebak kemacetan akan memilih lewat jalan tol.
Di Jakarta sebetulnya banyak terdapat cermin buruk. Pembangunan puluhan jalan layang dan underpass dengan investasi puluhan miliar per ruas ternyata tidak mengurangi kemacetan, tetapi hanya memperluas ruas kemacetan saja. Hal yang sama akan terjadi pada pembangunan jalan tol tengah kota. Mungkin di jalan tolnya bisa lancar, tetapi jalan-jalan di sekitarnya terjadi sumbatan total.
Banyak dampak negatif yang akan timbul dari rencana pembangunan jalan tol tengah kota di Jakarta. Pertama, dalam prosesnya akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap warga. Kedua, keberadaan jalan tol di tengah kota menciptakan segregasi masyarakat atas dasar batasan ruang jalan. Antarkomunitas sekitarnya yang semula terbangun relasi cukup baik tiba-tiba terputus karena aksesnya dipisahkan oleh jalan tol. Kasus ini sudah terjadi pada masyarakat di sepanjang jalan tol yang ada di Jakarta.
Ketiga, jalan tol di tengah kota juga akan membuat Jakarta semakin mekanis dan mati karena kota hanya dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan bermotor yang melintas dengan kecepatan tinggi, bukan oleh interaksi antarpersonal yang intens dan manusiawi.
Keempat, secara budaya, jalan tol juga menawarkan nilai lain yang serba cepat, bayar, waspada, dan individualistik. Hanya mereka yang membayarlah yang bisa lewat.
Kelima, kehadiran jalan tol tengah kota sepanjang 85 km itu pasti akan merusak kondisi fisik lingkungan. Jakarta yang sudah gersang akan semakin gersang karena banyak pohon ditebang untuk pembangunan jalan tol. Keenam, keberadaan jalan tol di tengah kota juga akan semakin meningkatkan jumlah korban kecelakaan fatal lalu lintas karena selama ini keberadaan jalan tol memiliki sumbangan besar terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas, seperti yang terjadi pada Jalan Tol Jagorawi dan Cikampek.
Ketujuh, pembangunan jalan tol tengah kota itu kontradiktif dengan proyek Pemda DKI Jakarta mengembangkan busway. Sebab, busway mengarah pada perbaikan angkutan umum, sedangkan pembangunan jalan tol tengah kota cenderung memfasilitasi pengendara mobil pribadi.
Mengingat jalan tol tengah kota tidak akan menyelesaikan masalah kemacetan, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya tak menyetujui rencana itu. Persetujuan pembangunan jalan tol tengah kota itu berlawanan dengan kebijakan otonomi daerah, yang mendorong agar daerah dapat berkembang secara seimbang sehingga pertumbuhan ekonomi tidak tersentral di Jakarta.
Bila daerah dapat berkembang baik, arus urbanisasi bisa ditekan sehingga kepadatan kota Jakarta pun berkurang. Namun, dengan membangun infrastruktur di Jakarta yang lebih baik, otomatis akan mendorong orang daerah untuk menjadi kaum urban di Jakarta.
Darmaningtyas, Country Director ITDP (Institute for Tranportation and Development Policy) di Indonesia
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved