Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Perpres No 36/2005 : Dijalankan atau dibatalkan?

Format : Artikel

Impresum
Usep Setiawan - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Sinar Harapan: Sabtu, 2 Juli 2005
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0507/02/opi01.html

Isi:

Kontroversi mengitari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (3 Mei 2005). Tulisan ini meraba kemungkinan ke depan mengacu kontradiksi pandangan dan sikap yang berkembang. Komisi II DPR merekomendasikan penundaan pelaksanaan dan revisi Perpres 36/2005 dalam dua bulan (7 Juni 2005) – ada 10 dari 24 pasal isi perpres yang diminta direvisi. Rekomendasi DPR diawali kesimpulan yang intinya: Diskriminasi kepentingan umum hanya kepentingan sebagian besar masyarakat, (2) Pengadaan tanah memberi peluang kesewenang-wenangan, Ketidakjelasan yang mengabaikan hak asasi pemegang hak atas tanah, Membuka ruang kolusi antara pemerintah dengan pembeli tanah bermodal besar, Memperkecil harapan rakyat memperoleh keadilan karena pemerintah memonopoli panitia pengadaan tanah, dan Represivitas pada pembatasan waktu musyawarah 90 hari dan konsinyasi dalam ganti kerugian. Ketua Komnas HAM melayangkan surat bernomor 168/TUA/VI/05 kepada Presiden (21 Juni 2005). Jika DPR "hanya" minta penundaan dan revisi, Komnas HAM lebih tegas: mendesak pencabutan Perpres 36/2005 karena potensial melanggar HAM. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mengkhawatirkan perpres ini. Misalnya, Laode Ida (DPD Sultra) menemukan kasus penggusuran di Korumba Kendari yang memakai Perpres 36/2005 ini. DPD berencana segera mempertanyakannya kepada presiden.

Tutup Mata dan Telinga
Menarik mencermati respon balik pemerintah terhadap kritik dan usulan berbagai pihak terhadap perpres ini. Andi Malarangeng, Jubir Presiden, beberapa kali berusaha meyakinkan publik bahwa perpres ini tak seburuk yang disangka. Bukannya menjernihkan, klarifikasi Malarangeng malah makin membingungkan publik. Aburizal Bakrie, Menko Perekonomian, — yang pengusaha itu — juga tampil membela perpres, malah disisipi pernyataan sinis bahwa penolak perpres pastilah spekulan tanah. Tak ketinggalan Wapres Jusuf Kalla (JK), yang juga saudagar, pernah berujar yang menolak Perpres 36/2005 hanyalah segelintir orang. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, bersikukuh akan menjalankan Perpres 36/2005 untuk melancarkan proyek infrastruktur, seperti Banjir Kanal Timur dan jalan tol yang tertunda. Sikap Sutiyoso menuai kecaman karena dianggap arogan dan otoriter. Sofyan Djalil, Menteri Infokom, datang menghentak — setelah rapat khusus dengan Jusuf Kalla, Menteri PU, Kepala BPN, Menteri Perumahan Rakyat, dan Gubernur DKI Jakarta— bahwa pemerintah tidak berencana menunda, merevisi, apalagi mencabut Perpres 36/2005. Rapat ini "menantang" penolak untuk menguji materi perpres ke MA. Setelah lama ditunggu, dari Kalimantan Presiden angkat bicara. Intinya, Presiden menganggap penolakan terhadap Perpres 36/2005 karena kurangnya sosialisasi. Presiden minta menteri dan pemerintah daerah mensosialisasikan dan menjabarkan lebih lanjut. Perpres 36/2005 bukan untuk Presiden atau Wakil Presiden, atau investor, tapi untuk kepentingan umum. Begitu tandas Presiden.

Jalankan atau Ralat?
Penulis memprediksi dua kemungkinan, bila tak ditemukan jalan tengah. Pertama, jika perpres ini dipaksakan dilaksanakan, pemerintah akan segera "membebaskan" tanah-tanah milik rakyat untuk "kepentingan umum". Banyak proyek infrastruktur mungkin segera dibangun. Namun, berbarengan dengan itu, kemungkinan besar akan terjadi ketegangan, benturan bahkan bentrok fisik karena sengketa tanah. Tak mustahil korban jiwa akan berjatuhan menyertai praktik penggusuran. Hal ini memicu delegitimasi politik pemerintah yang dipilih rakyat secara demokratis tetapi menerapkan kebijakan yang anti-demokrasi. Ini memupuk ketidakpercayaan rakyat serta memancing pembangkangan sosial terhadap rezim yang berkuasa. Kedua, kalau perpres ini ditunda (atau dicabut/diralat sendiri) pelaksanaannya, pembangunan kepentingan umum dapat menggunakan Keppres No.55/1993. Sembari menyusun RUU pengadaan tanah bagi pembangunan, pemerintah dan DPR menyempurnakan UUPA No. 5/1960 secara transparan melalui suatu kepanitiaan negara. Pemerintah juga menyiapkan strategi komprehensif pelaksanaan pembaruan agraria atau reforma agraria. Lebih baik menangani penyelesaian konflik agraria ketimbang menjalankan perpres yang potensial memicu konflik agraria baru. Kebijakan ini akan mengukuhkan legitimasi politik pemerintah di mata rakyat. Ralat sendiri Perpres 36/2005 bukanlah aib yang memalukan pemerintah (khususnya Presiden), melainkan sikap elegan dari penguasa yang rendah hati meralat kebijakan yang dinilai keliru oleh banyak pihak.

Tekanan Massa dan Uji Materi Selain kemungkinan di atas, kini aksi massa dan rencana uji materi untuk mendesak pencabutan Perpres 36/2005 terus bergulir. Aksi bersama ribuan petani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota, mahasiswa, aktivis, akademisi, seniman dan budayawan digelar di Istana Negara. Aksi sejenis dirancang di daerah (provinsi maupun kabupaten). Bahkan di lapangan digencarkan penentangan penggusuran, juga didorong aksi- aksi reklaiming dan okupasi oleh berbagai kelompok masyarakat. Jika aksi massa ini berjalan mulus maka tuntutan reforma agraria menyeluruh kian menemukan konteksnya. Uji materi Perpres 36/2005 kepada Mahkamah Agung (MA) yang dilakukan oleh puluhan pengacara handal yang disokong pakar hukum agraria dan ribuan surat kuasa gugatan dari publik bisa berujung pada pembatalan Perpres 36/2005 oleh MA karena dinilai bertentangan dengan perundang- undangan, termasuk UUD 1945. Jika Perpres 36/2005 dibatalkan oleh MA maka pemerintah mengalami kekalahan hukum. Ini preseden buruk yang merongrong pemerintah "kehilangan muka". Citra politik pemerintah, khususnya Presiden, pun di ambang kepudaran. Inilah segi politis Perpres 36/2005 yang bisa diolah jadi peluru politik macam-macam pihak. Apabila Perpres 36/2005 dibenarkan oleh MA maka pemerintah memiliki legalitas yang kuat untuk menggusur tanah rakyat. Secara yuridis formal pemerintah menang. Tapi ini bom waktu bagi meledaknya konflik sosial yang dipicu pendekatan legal formal versus terusiknya rasa keadilan rakyat dalam pembebasan tanah untuk pembangunan. Tampaknya, kemauan dan keberanian Presiden meralat sendiri Perpres 36/2005 adalah pilihan tepat yang paling kecil risikonya.

Penulis adalah Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved