Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tender jalan tol, perkawanan yang tak adil : Sekuritas proyek belum diakomodasi pasar modal

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 24 Agustus 2005

Isi:

Kegagalan tender beberapa ruas jalan dan belum berhasilnya Kantor Menko Perekonomian tarik investor membangun prasarana melalui Infrastructure Summit tidak terlalu mengherankan. Itu memberikan pelajaran bagi pembuat kebijakan bahwa kaidah ekonomi tidak bisa begitu saja bisa disiasati untuk kepentingan publik.

Dalam teori ilmu ekonomi neoklasik, kebanyakan prasarana atau infrastruktur, termasuk jalan, adalah barang publik, di mana orang mau memakai tetapi tidak mau ikut bayar. Kaidah ekonomi mengatakan, pengadaan barang publik ini harus dilakukan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN.

Ketika permintaan terhadap jalan meningkat dan APBN tidak lagi mampu membiayai, diberikanlah kesempatan kepada swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan jalan, melalui berbagai skema rekayasa keuangan seperti BOO (built, operate, and own), BOT (built, operate, and transfer), di mana swasta diperbolehkan membangun, mengoperasikan, memungut sewa untuk membayar investasi dan keuntungan sebagai reward-nya, kemudian mengembalikan kepemilikan ke tangan pemerintah atau tetap memilikinya (dengan dibeli dari pemerintah) di saat akhir masa konsesinya, yang pada umumnya bisa 30-40 tahun.

Rekayasa keuangan

Banyak yang lupa, rekayasa keuangan yang disponsori Bank Dunia dalam Program PPP (Public-Private Partnership Program) ini tak akan dapat mengubah suatu prinsip dasar dalam Ilmu Keuangan Publik (Public Finance) bahwa provision barang publik hanya bisa dibiayai secara efisien dan berkesinambungan (sustainable) oleh public fund, kecuali bila sifatnya disepakati berubah menjadi barang pribadi (private goods). Yang selama ini bisa dilakukan oleh pemerintah adalah mengajak swasta dalam pembuatan (production, bukan provision) barang publik berdasarkan keyakinan yang tidak selalu benar bahwa swasta dapat memproduksi dengan lebih murah, berkualitas, dan tepat waktu dibandingkan instansi pemerintah.

Ketika kita setuju untuk membangun jalan tol, pada hakikatnya kita setuju bahwa itu adalah private goods sehingga keputusan investasinya harus didasarkan kepada prinsip keuntungan (benefit), yang menjadi jiwa dari ekonomi pasar.

Ada tiga keuntungan yang perlu diwujudkan.

Pertama, keuntungan bagi masyarakat bahwa kini tersedia pilihan (walaupun harus bayar) selain jalan publik yang biasanya macet.

Kedua, keuntungan bagi pemerintah terlepas dari beban finansial atas tugas pengadaan jalan bagi masyarakat (bahkan kemungkinan mendapat penerimaan dari pajak atas pungutan tol).

Ketiga, keuntungan bagi investor yang mempertaruhkan risiko besar dalam membuat dan mengoperasikan jalan tol. Apabila salah satu dari tiga keuntungan tersebut absen, dapat dipastikan proyek itu tidak akan pernah jalan, atau proyek yang ada akan gulung tikar (tidak sustainable).

Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, sampai dengan dokumen tendernya, jaminan atas terwujudnya ketiga keuntungan tersebut tak pernah jelas diatur. Ini penyebab utama mandeknya pembangunan jalan tol dan infrastruktur pada umumnya di Indonesia saat ini.

Dari ketiga risiko tersebut, yang paling besar dan sulit diperhitungkan adalah risiko bagi investor. Bagi masyarakat dan pemerintah, di awal inisiasi proyek, risiko mereka adalah nol, karena setidaknya mereka tidak mengeluarkan sepeser pun uang. Ironisnya pengambil kebijakan lebih mengutamakan framework kebijakan yang terlalu melindungi kepentingan masyarakat dan pemerintah dengan dalih melindungi kepentingan publik.

Kepentingan dan risiko

Di lain pihak, kepentingan dan risiko besar investor menjadi masalah residual. Padahal, investor akan terlebih dahulu melihat risiko sebagai pertimbangan utama dalam keputusan masuk atau tidaknya mereka dalam proyek yang notabene besar dan berjangka panjang, sementara sejak awal harus sudah mengeluarkan biaya walaupun masih di tahap penjajakan proyek.

Di antara banyak risiko yang dihadapi investor, sedikitnya ada tiga risiko yang perlu dipastikan besarnya dan penanggulangannya apabila benar-benar terjadi. Yang pertama, construction risk, yakni risiko atas tidak kembalinya semua biaya sejak biaya persiapan, survei, desain, sampai konstruksi jika terjadi sesuatu sebelum proyek dinyatakan selesai dan dibayar pemilik proyek.

Untuk per kilometer jalan tol dua jalur saat ini biayanya mencapai Rp 30 miliar-Rp 40 miliar rupiah di luar harga tanah, dan untuk ruas sepanjang 10 kilometer mungkin dibutuhkan waktu sekitar satu sampai dua tahun penyelesaiannya.

Risiko ini biasanya ditanggung (assumed) oleh konsultan dan kontraktor pembangunan yang menjadi bagian dari konsorsium investor, bila diselenggarakan secara (serah-bayar) turnkey. Keinginan mereka adalah menyelesaikan secepatnya pembangunan jalan, menyerahkan, dibayar, dan mengambil profit. Setelah itu mereka bebas dari risiko.

Yang kedua adalah financial risk, yaitu risiko pihak penyandang dana atas tidak bisa kembalinya dana yang ditanamkan dalam waktu dan tingkat hasil yang diharapkan karena kegagalan konstruksi maupun kegagalan pendapatan dari pengelolaan jalan tol. Perlu diingat ini adalah proyek yang tidak liquid (uang sulit ditarik kembali) dan berjangka panjang. Bahkan, jika tingkat bunga di luar meningkat dibandingkan IRR (Internal Rate of Return), penyandang dana langsung mengalami kerugian.

Keinginan pihak penyandang dana adalah dapat keluar sewaktu-waktu dari proyek ini apabila ada peluang di luar yang lebih baik. Hal ini sulit dilakukan di Indonesia karena sekuritisasi proyek belum diakomodasi pasar modal. Berapa pun besar kapital yang ditanam dalam proyek akan terkena efek terkunci (locked-in).

Risiko ketiga adalah yang paling besar dan paling ditakuti investor, ultimate risk, yaitu risiko kegagalan pendapatan dari pengelolaan akibat naiknya biaya operasional dan pemeliharaan, dan turunnya volume lalu lintas (traffic) di luar perkiraan yang berakibat melesetnya penerimaan dan profit dari yang diproyeksikan semula. Penyebabnya biasanya naiknya tingkat inflasi dan suku bunga, resesi ekonomi, melesetnya proyeksi volume traffic, dan ketidakleluasaan investor dalam menaikkan tarif tol yang diharapkan sebagai katup pengaman (safety valve) apabila terjadi kemelesetan pengoperasian usaha dari proyeksi semula.

Tak ada jaminan

Tidak adanya jaminan atas ketiga risiko ini, terutama risiko terakhir, adalah kunci dari keengganan investor untuk masuk, dan sekaligus mencerminkan kegagalan pengambil kebijakan publik (public policy maker) dalam memahami jiwa dan mekanisme dalam industri infrastruktur yang lazim terjadi di belahan dunia mana pun.

Pada era pemerintahan masa lalu, sadar atau tidak, ketiga risiko ini ditanggung sekaligus oleh satu perusahaan atau konsorsium yang memiliki akses politik luar biasa besar terhadap kekuasaan yang dapat memberikan jaminan atas ketiga risiko tadi dan menghasilkan sebagian jalan tol dan prasarana yang wujudnya ada sampai kini.

Blessing in diguise akan sulit didapatkan kembali di era demokrasi ini.

Di samping tuntutan masyarakat dan wakil rakyat begitu myopic terhadap besarnya risiko yang dihadapi investor, pemerintah sendiri ikut menjadi egois dengan tidak mau memberikan jaminan atas risiko ketiga (sebagai contingent liability) dengan dalih keberlangsungan fiskal (sustainability).

Ini adalah kodrat dari kebijakan fiskal yang memang selalu tidak adil (assimetric treatment) terhadap risiko investor: ketika investasi itu menghasilkan mereka dengan riang akan memungut pajak, namun ketika suatu investasi baru dimulai atau bahkan rugi, mereka tidak pernah mau ikut menanggung beban.

Mereka lupa, ayam perlu diberi makan dan dibesarkan dahulu sebelum bisa dinikmati telurnya. Ironi, politisi mengatasnamakan rakyat mendukung subsidi begitu besar untuk konsumtif, mengabaikan upaya produktif untuk masa depan.

Paradigma ini tidak bisa lagi diteruskan karena hukum ekonomi tidak bisa disiasati.

Bambang Kusumanto, Direktur Kebijakan Ekonomi Makro Departemen Keuangan

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved