Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Masih Indonesiakah mereka? Potret daerah yang terabaikan

Format : Artikel

Impresum
Ahmad Arif - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 26 Agustus 2005

Isi:

Hanya dua hal yang masih mengikat mereka sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia. Pertama, setiap tahun mereka dipungut pajak. Kedua, saat pemilihan umum mereka diminta ikut mencoblos. Selebihnya, tak ada penanda mereka menjadi bagian negeri ini. Sebagian besar warga di Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, tersebut tak punya kartu tanda penduduk. Kalaupun ada, hampir semuanya sudah kedaluwarsa. Dan ketika tiga bulan lalu kondisi sekolah di dusun itu ditulis Kompas, seorang pejabat tinggi Kabupaten Tapanuli Selatan menanggapinya dengan sangsi. "Benarkah Dusun Sigoring-goring masuk wilayah kami?" tanyanya.

Dusun yang dihuni 285 jiwa itu memang terlupakan. Tak ada listrik, apalagi telepon. Untuk mencapai Kota Binanga-ibu kota Kecamatan Barumun Tengah-saja, mobil yang ditumpangi perlu 14 jam menapaki jalan darat dari Medan. Dari Binanga ke dusun itu masih harus melakukan perjalanan menembus belukar dan hutan akasia sejauh 22 kilometer. Padamusim penghujan, ruas jalan ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Nasib serupa dialami 245 warga Dusun Aek Pastak, tetangga Sigoring-goring. Dusun ini pun tak tersentuh pembangunan. "Mungkin kami tak dianggap bagian dari negara ini. Hanya saja, tiap tahun kami dipungut pajak, rata-rata Rp 15.000-25.000 per keluarga. Saat pemilu kami juga disuruh mencoblos," kata Ridwan Dalimunthe, warga Aek Pastak. Sebuah pernyataan yang terasa amat sarkastis, tapi ia justru menemukan bentuk yang sesungguhnya.

Maulup Hasibuan, Sekretaris Desa Pangirkiran Dolok, mengatakan bahwa selama ini tak pernah ada pembangunan. "Bandes (bantuan desa) tak pernah kami terima. Bantuan IDT, raskin, atau bantuan apa pun tak pernah sampai," katanya.

IDT yang ia maksudkan adalah dana bantuan sesuai instruksi presiden (Inpres) bagi desa-desa yang masuk kategori daerah tertinggal. Adapun raskin tak lain adalah jatah beras untuk rakyat miskin. Sebenarnya ada satu lagi dusun yang lebih mengenaskan, yaitu Sibenggol. Namun, pada bulan Maret 2004, dusun itu dibakar perusahaan sawit swasta yang hendak memperluas lahan. Sedikitnya 20 rumah warga, sekolah, dan mushala dibakar, sementara 70 penghuninya diusir. Warga Sibenggol kini mengungsi ke dusun-dusun lain.

Kala itu, warga desa mengadu kepada camat dan DPRD Tapanuli Selatan. Dengan diantar warga, tim dari kabupaten kemudian mencoba ke Sibenggol. Namun di tengah jalan mereka dihadang para centeng bersenjata. Tim itu pun lari lintang pukang, meninggalkan warga yang jadi sasaran centeng. Kasus pembakaran Sibenggol tak pernah diusik lagi.

"Ini tanah tak bertuan. Siapa kuat, dia berkuasa," kata Amsal Rambe, warga Sigoring-goring. Empat dusun lain di wilayah desa itu, yaitu Pangirkiran, Meranti, Balakka, dan Ruraburangir, sedikit lebih baik kondisinya karena sudah dialiri listrik. Akan tetapi, kondisi sosial- ekonomi warga tak lebih baik alias sama-sama mengenaskan. Di desa itu, harga bahan pokok melambung. Misalnya, gula Rp 7.500 per kg, minyak tanah Rp 3.000 per liter, dan minyak goreng Rp 7.000 per kg.

"Sejak 1980-an, ada beberapa perkebunan sawit di sekitar sini dan terus buka lahan hingga kini. Tiga tahun ini PT Perkebunan Nasional II juga buka kebun. Namun mereka tak berguna, kecuali bagi sedikit warga di Aek Pastak yang jadi buruh harian dengan upah Rp 12.000 per hari," kata Maulup.

Sebaliknya, keberadaan perkebunan yang didahului pembukaan hutan itu justru berdampak buruk karena sungai jadi keruh dan airnya pun susut. "Lima tahun lalu, Sungai Ela masih jernih dan airnya sepinggang. Sekarang, sungai ini keruh dan airnya selutut. Entah lima tahun lagi," kata Amsal. Menyusutnya debit air mengancam ekonomi warga yang bertumpu pada bercocok tanam padi. Saat kemarau, air tak mencukupi. Kala hujan, banjir menghanyutkan padi.

Potret lain dari terabaikannya warga adalah buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tak seorang pun tenaga medis yang ditugaskan di sana. Jangankan dokter, mantri atau bidan pun tak ada. "Dulu pernah ada bidan, sekitar 10 tahun lalu. Tak lama, bidan itu pergi, tak ada lagi gantinya," kata Maulup.

Warga yang sakit harus dibawa ke Binanga. "Kalau tidak hujan dia bisa dibawa naik sepeda motor. Tetapi, kalau hujan turun si sakit harus digotong karena mantri tak mungkin mau ke sini jalan kaki," katanya. Yang lebih repot adalah ibu yang hendak melahirkan. Mereka hanya mengandalkan dukun bayi. Tak jarang si ibu meninggal karena pendarahan, seperti yang dialami istri Saparudin Tamba, tiga bulan lalu.

Imunisasi, baik polio maupun campak, tak pernah dikenal di wilayah desa ini. "Bayi di sini sejak umur satu bulan sudah diajak ke sawah. Tak pernah kenal imunisasi. Lagi pula siapa yang mau mengimunisasi?" kata Raja Dima Siregar, guru SD satu-satunya di Sigoring-goring yang mengajar borongan mulai dari kelas I hingga kelas VI.

Bahan renungan Warga Sigoring-goring dan Aek Pastak harus menyediakan pendidikan sendiri. Sejak didirikan warga tahun 1956, SD di dua dusun itu tak pernah dapat bantuan. Siswa dari kelas I-VIbelajar dalam satu ruangan.

Di Aek Pastak, pasangan suami-istri Ridwan Dalimunthe dan Nurlela Siregar harus bergantian mengajar anak-anak di sana. "Kalau suami ke sawah, saya yang ngajar. Kalau saya ke sawah, maka suami saya yang ngajar," kata Nurlela.

Namun, guru-guru itu hanya dibayar 80 kaleng beras per tahun, di mana satu kaleng beras setara dengan 16 kg. "Tiap siswa memang dipungut Rp 500 per bulan, tetapi yang Rp 150 disetorke kepala SD negeri di desa tetangga yang jadi kepala rayon kami. Sisanya kami belikan kapur. Anak-anak baru juga wajib menyetor Rp 10.000 ke sana, tak sepersen pun untuk kami," kata Nurlela Siregar.

Dengan semua gambaran itu, muncul pertanyaan menggelitik: masihkah mereka itu bagian dari republik ini? Sekilas, ini cuma sekadar pertanyaan nakal beraroma sarkastis, tetapi justru gugatan semacam itu bisa menjadi bahan refleksi kita bersama saatbangsa ini memperingati 60 tahun kemerdekaannya.

Barangkali, keraguan pejabat Kabupaten Tapanuli Selatan yang dikutip di awal tulisan ini memang benar adanya. Bahwa, dusun-dusun itu bukanlah bagian bagian dari wilayah mereka. Akan tetapi, terlepas dari ada atau tidak pengakuan itu, bukankah warga yang tinggal di sana juga adalah anak kandung Ibu Pertiwi? Sebagai anak bangsa, tentunya mereka pun pantas untuk selalu disambangi....

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved