Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Rumah untuk rakyat miskin di ujung tanduk

Format : Artikel

Impresum
Jannes Eudes Wawa - : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 26 Agustus 2005

Isi:

Widodo (31), pegawai sebuah perusahaan swasta di Bekasi, sudah sekitar lima tahun berniat memiliki rumah. Namun, setiap kali menjajaki pembelian rumah sederhana sehat bersubsidi di berbagai perumahan di wilayah Bekasi dan sekitarnya, ayah tiga anak itu tidak pernah dapat. Stok rumah untuk masyarakat miskin itu sangat terbatas, sedangkan peminatnya mencapai 100-300 kali lipat.

Pernah sekali waktu, saat mendatangi kantor pemasaran perumahan, petugas mengatakan saya sudah terlambat sebab sehari sebelumnya semua rumah bersubsidi sudah laku terjual, kata Widodo.

Lelaki asal Jawa Tengah tersebut bekerja sebagai tenaga distributor. Gaji bersih yang diperoleh rata-rata Rp 1,5 juta per bulan.

Pemerintah sejak awal tahun 1970-an sudah menyadari perlu ada keseimbangan dalam penyediaan kebutuhan pokok manusia, yakni sandang, pangan, dan papan (rumah). Rumah, misalnya, tidak sekadar tempat huni. Lebih dari itu, rumah berfungsi menjadi tempat bersemi nilai-nilai sosial.

Rumah juga sebagai sarana awal dan pusat pendidikan dan moral keluarga serta persemian budaya. Karena itu, rumah tergolong sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan manusia, dan negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar tersebut.

Pada 18 Juli 1974 pemerintah mendirikan Perum Perumnas. Tugas perusahaan itu adalah mendirikan rumah sederhana bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Perumahan yang pertama kali dibangun adalah di Depok pada tahun 1975.

Demi kelancaran pembiayaan pembangunan dan kepemilikan rumah, pemerintah mendirikan lagi bank yang khusus menangani kredit perumahan, yakni Bank Tabungan Negara (BTN) pada tahun 1976. Hingga 12 Agustus 2005 dana yang telah dikucurkan BTN melalui kredit pemilikan rumah (KPR) sebanyak Rp 38,4 triliun untuk 2,29 juta unit rumah. Sebanyak Rp 13,7 triliun di antaranya berupa KPR bersubsidi guna pembangunan rumah sebanyak 1,741 juta unit.

Kontribusi BTN mencapai 98 persen dari total perumahan subsidi yang direalisasikan setiap tahun. Hal itu dimungkinkan karena BTN memiliki sistem kerja, jaringan, dan sumber daya manusia yang andal dalam mengelola KPR bersubsidi.

Ide menyesatkan

Di tengah harapan masyarakat dan pengembang tercurahkan kepada BTN, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara malah ingin melakukan akuisisi dengan BNI. Bahkan, sekitar setahun berikutnya bank khusus perumahan itu digabungkan dalam BNI. Tujuannya untuk memperkuat modal BNI sehingga bisa laku terjual dengan harga yang cukup tinggi saat dilakukan privatisasi.

Anggota Komisi V DPR Achmad Muqowam menilai rencana merger itu merupakan ide yang menyesatkan. Alasannya, pertama, segmen yang digarap BNI dan BTN berbeda. BNI lebih pada korporasi, sedangkan BTN memfokuskan diri pada perumahan rakyat. Jika kedua bank itu diakuisisi atau digabungkan, tidak akan menguntungkan. Bahkan, posisi BTN semakin dikerdilkan dan dihilangkan sebab yang akan menonjol adalah fungsi korporasi BNI.

Kedua, sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia, setiap bank fokus harus memiliki modal berkisar Rp 100 miliar sampai Rp 10 triliun. BTN memiliki modal Rp 1,5 triliun. Artinya, posisi BTN sebagai bank fokus perumahan tak perlu diutak-atik lagi.

Ketiga, merger BTN ke dalam BNI hanya menguntungkan BNI dan pihak asing. Sebab setelah digabungkan, nilai modal BNI menjadi besar dan harga saham BNI meningkat drastis saat dilakukan privatisasi. Saham itu nantinya dijual kepada perusahaan asing. Dana yang diperoleh pemerintah dari privatisasi tersebut hanya sekitar Rp 3 triliun.

Lebih parah lagi, negara dan masyarakat harus kehilangan bank yang khusus membiayai perumahan. Itu berarti, krisis perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah semakin meningkat.

Jadi, rencana penggabungan dan akuisisi BTN lebih banyak ruginya dibanding keuntungan yang diraih pemerintah dan masyarakat. Makanya, gagasan itu harus segera dihentikan, ujar Muqowam.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, selama tahun 2004-2009 dibangun 1.350 juta unit rumah bersubsidi. Untuk suksesnya rencana itu, menurut Menteri Negara Perumahan Rakyat M Yusuf Asy ari, dibutuhkan dukungan penuh dari bank khusus perumahan.

Selama ini, BTN mampu mengucurkan dana untuk pembangunan 70.000 unit. Untuk itu dibutuhkan penambahan tiga sampai empat bank perumahan. Jika tidak, maka modal BTN perlu ditingkatkan lagi agar mampu mengucurkan KPR untuk pembangunan 270.000 unit rumah bersubsidi.

Harus diingat, pembangunan perumahan tidak sekadar menyediakan tempat hidup yang layak dan sehat bagi masyarakat. Fakta di lapangan juga membuktikan, kehadiran perumahan selalu menimbulkan efek domino yang besar bagi perekonomian.

Lihat saja Depok. Daerah itu pada awal tahun 1970-an masih dianggap angker dan sentra pembuangan sampah dari Jakarta. Berkat kehadiran perumahan Perumnas tahun 1975, kemudian disusul pembangunan rumah dalam berbagai tipe yang dilakukan para pengembang swasta, membuat wajah Depok dalam tempo 25 tahun berubah menjadi kota baru dengan penduduk sekitar 2,5 juta jiwa.

Contoh lain adalah Karawaci. Semula daerah itu hanya sebuah kawasan pemakaman masyarakat Tionghoa. Namun, setelah dibangun perumahan bersubsidi pada tahun 1979, wajah Karawaci langsung berubah dan menjelma menjadi salah satu kawasan permukiman paling elite di Tangerang.

Demikian pula Rawa Tembaga dekat gerbang tol Bekasi Barat. Berkat kehadiran perumahan bersubsidi tahun 1978, perkembangan wilayah tersebut begitu pesat. Bekasi kini menjadi salah satu wilayah di Jakarta dan sekitarnya yang paling banyak memiliki kawasan perumahan, mulai dari perumahan paling mewah hingga rumah sangat sederhana.

Jadi, betapa besar jasa perumahan bersubsidi bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah. Dampak ikutannya begitu besar. Peran itu tidak hanya dimainkan Perumnas dan pengembang swasta. Yang lebih strategis adalah BTN sebagai penyalur kredit perumahan. Kapitalisasi yang ditimbulkan sungguh sangat luar biasa, kata anggota Komisi V DPR Enggartiasto Lukita, yang juga mantan Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI).

Kini, seiring dengan rencana pemerintah mengakuisisi serta penggabungan BTN ke dalam BNI, ada kekhawatiran terhadap masa depan rumah sederhana sehat bersubsidi. Persoalan bukan pada pengalokasian dana subsidi perumahan bagi warga berpenghasilan menengah ke bawah.

Akan tetapi, bank mana yang dapat diandalkan menangani pengucuran subsidi pascamerger tersebut? Kalaupun ada, apakah bank itu juga mampu mengucurkan KPR bersubsidi minimal 270.000 unit per tahun seperti ditargetkan pemerintah? Kekhawatiran itu belum dijawab oleh mereka yang punya gagasan besar tersebut.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved