Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Percepatan pembangunan kuala Namu jangan kejar tayang

Format : Artikel

Impresum
- : , 2005

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 9 September 2005

Isi:

Desakan pembangunan Bandara Kuala Namu untuk menggantikan Bandara Polonia yang dinilai tak layak kian deras pascajatuhnya pesawat Mandala, Senin lalu. Menteri Perhubungan Hatta Rajasa juga telah menjanjikan untuk segera merealisasikan pembangunan bandara yang sudah direncanakan sejak tahun 1997 itu.

Namun, akankah kejar tayang mengutip istilah dalam produksi sinetron pembangunan bandara mesti mengorbankan profesionalisme dalam pembangunannya?

Hingga saat ini proses pembangunan Bandara Kuala Namu yang berlokasi di Kecamatan Beringin dan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, masih menyisakan sederet masalah, terutama terkait dengan pembebasan tanah. Mengenai pembiayaan akhirnya bisa dicarikan solusi; rencananya pemerintah akan menerbitkan surat utang.

Tahun 1997 PT Angkasa Pura II memperoleh izin pembangunan bandara di lahan seluas 1.320 hektar, di antaranya merupakan lahan berstatus hak guna usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PN) II (dulu PTP IX).

Tanah tersebut sebagian dipakai oleh buruh kebun PTPN II yang merupakan warga Desa Pasar VI Kuala Namu. April 1998, Tim Bandara PTPN II menawarkan kompensasi kepada warga yang berstatus buruh perkebunan aktif (sebanyak 29 kepala keluarga/KK) sebesar Rp 2,35 juta/KK, sedangkan yang sudah pensiun (34 KK) sebesar Rp 4,292 juta/KK. Adapun 37 KK yang tidak tercatat sebagai buruh perkebunan harus meninggalkan tanpa syarat.

Sebagian warga menolak karena kompensasinya dinilai terlalu kecil. Namun, PT Angkasa Pura II yang sudah mengantongi sertifikat tanah dan izin pembangunan kemudian membuat tembok, jalan inspeksi, gardu penjagaan keamanan dan kantor konsultan proyek dan selesai pada tahun 1999. Sekitar 100 keluarga terkurung dalam tembok bandara. Gedung SD No 101920 dipindahkan ke daerah Kutalimbaru yang berjarak sekitar 60 kilometer.

Tanah sudah siap sejak 1997 dan sertifikatnya sudah ada. Sebagian kawasan itu dulu berasal dari perkebunan kelapa sawit milik PT Perkebunan Nusantara II, PT Serdang Hilir, dan Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad). Jadi, kalau ada keberatan warga, silakan mereka membicarakannya dengan ketiga instansi tersebut, ungkap Kepala Cabang PT Angkasa Pura II Adi Supranto.

Dia mengakui, pembangunan bandara baru butuh waktu lama karena besarnya biaya. Pembangunan bandara baru di Kuala Namu memerlukan biaya minimal Rp 6 triliun-Rp 10 triliun untuk landasannya saja, dan Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk bangunan pendukung. Rencananya bandara baru ini memiliki dua landasan, masing-masing sepanjang empat kilometer.

Telantar
Namun, kerja PT Angkasa Pura II pada tahap awal terhenti saat bencana krisis ekonomi yang mendera Indonesia pada tahun 1997. Mereka kesulitan mencari investor sehingga lahan yang telah dibebaskan itu dibiarkan telantar. Sekeliling kebun kelapa sawit tersebut kini dipenuhi semak belukar. Di beberapa tempat masyarakat memanfaatkan lahan di sela-sela pohon kelapa sawit sebagai ladang palawija. Tembok yang sudah dibangun keliling lahan sebagian dijebol warga dan kembali dijadikan jalan lalu lintas.

Di bagian lain yang merupakan lahan terbuka, seperti di sepanjang tembok pembatas area (calon) bandara, masyarakat juga membuka lahan untuk dijadikan kebun singkong. Padahal, sebelumnya kawasan perkebunan tersebut merupakan lahan sangat produktif. Saat ini sebagian lahan perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola sebuah koperasi yang ditunjuk PT Angkasa Pura II.

Ketidakjelasan pembangunan bandara ini di satu sisi memang menjadi pertanyaan warga, tetapi di sisi lain menguntungkan mereka. Kalau bandara tak jadi dibangun dan lahannya telantar seperti sekarang, warga lebih senang karena lahan itu bisa dimanfaatkan untuk pertanian, ujar Sudarman (40), Kepala Lorong Dusun I, Desa Sido Urip, Beringin, Deli Serdang.

Menurut Sudarman, itu bukan kegiatan yang melanggar peraturan. Dulu sudah ada kesepakatan antara pemerintah dengan warga, warga diperbolehkan mempergunakan lahan sejauh tidak mendirikan bangunan yang sifatnya permanen, ujarnya.

Di tengah ketidakjelasan pembangunan, warga sekitar kembali dibuat bingung dengan rencana pembangunan bandara Angkatan Udara, yang mengambil sisi kanan dan kiri bandara komersial seluas 1.000 hektar sehingga bakal menggusur sebagian Desa Sidodadi dan Desa Sidourip. Saat ini proses pembebasan tanah oleh pihak AU terus dilakukan.

Silakan saja kalau mau membangun dan menyuruh kami pergi dari sini, tetapi kami mengharapkan jika bandara akan dibangun, hendaknya disosialisasikan jauh-jauh hari agar warga yang telanjur menanami lahan tidak rugi. Dan kami juga mendapat ganti rugi yang layak, kata Sudarman.

Relokasi bandara ke Kuala Namu sebagai bandara pengganti diharapkan akan memberi dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar bandara. Begitu pula pangkalan AU mungkin akan segera ikut pindah ke Kuala Namu. Tetapi, bagaimanapun proses pembangunannya jangan sampai merugikan warga lokal.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved