Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Bioskop Bandung, riwayatmu kini…

Format : Artikel

Impresum
- : , 2006

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jumat, 21 April 2006

Isi:

Bagi sebagian orang, gedung bioskop merupakan tempat alternatif untuk melepas kepenatan setelah lelah beraktivitas seharian. Namun, sebagian lagi menggangap gedung bioskop sebagai tempat untuk menyalurkan hobi menontonnya. Bahkan, di bioskop orang bisa memperoleh pengetahuan baru dari film yang ditontonnya.

Beribu alasan orang datang menonton di gedung bioskop. Lebih lebar layarnya dibandingkan layar televisi, lebih fokus menontonnya, lebih mantap suaranya, atau juga lebih nyaman rasanya.”Tidak jarang, banyak juga yang datang hanya untuk berpacaran selain untuk menikmati hiburan,” tutur Aming D Racman, Ketua Forum Dokumentasi Budaya Kota Bandung, Kamis (20/4).

Gedung bioskop di Bandung sudah dikenal sejak masa kolonial Belanda. Sebut saja gedung Bioskop Elita yang terletak di Jalan Alun-Alun dan Bioskop Majestic di Jalan Braga yang sudah tersohor di tahun 1920- an.

Dari tahun ke tahun, hingga tahun 1970, jumlah bioskop di Kota Bandung mencapai 30 gedung dengan berbagai kelas dan kualitas. Salah satu gedung bioskop yang paling top pada masanya, menurut Subakti, seorang pengusaha bioskop dari tahun 1970, adalah Nusantara dan Paramount. Kedua gedung itu punya kelebihan masing-masing. “Awal tahun 1980-an, Nusantara menawarkan gedung gaya Belanda dengan daya tampung 1.200 kursi, sedangkan Paramount berkapasitas 1.006 kursi, hadir dengan gedung baru yang modern pada masa itu,” ujarnya.

Kompleks bioskop

Dulu, Alun-alun Kota Bandung merupakan kompleks gedung bioskop. Setidaknya ada lima gedung bioskop yang tumbuh di kawasan itu, seperti Elita (Puspita), Aneka (Oriental), Nusantara (Varia), Dian (Radio City), Majestic (Dewi). Ada pula Bioskop Preanger di Jalan Kebon Jati yang berganti nama sampai tiga kali, yaitu menjadi Orion, Luxor, dan Nirmala. Kebanyakan bioskop di zaman kolonial itu milik Boosje, warga Belanda yang mempunyai perkebunan di sekitar Bandung.

Ada yang tumbang dan ada pula yang tumbuh. Sayangnya, nasib gedung-gedung yang menampung puluhan, ratusan, bahkan ribuan penikmat film di Bandung ini harus terseok tak berdaya. Perkembangan teknologi, selera pasar, juga manajemen pelayanan yang kurang memuaskan membuat gedung ini terus ditinggalkan, beralih fungsi, dan tidak terawat.

Tak akan ada lagi proyektor yang berputar, karcis yang disobek, layar putih berukuran 100 kali televisi 20 inci yang menampilkan gambar hidup, hingga serangga di kursi penonton yang membuat kaki dan tangan gatal. Yang tersisa hanya gedung tua yang menantikan padamnya lampu bioskop untuk selamanya.

Saat ini, bisa dihitung jumlah gedung bioskop tua yang masih bertahan dan berfungsi sebagai tempat menonton film-film baru. Satu di antaranya adalah Bioskop Taman Hiburan di daerah Cicadas.

“Tetapi banyak juga yang sudah berubah fungsi, seperti Bioskop Dian yang menjadi tempat futsal,” kata Iwan, petugas di PT Kharisma Jabar Film. (THT)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved