Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Parluhutan Gultom -
: , 2006
Deskripsi
Sumber:
Sinar Harapan: Rabu, 3 Mei 2006
Isi:
TANGERANG – Sepintas tidak ada yang menarik pada rumah besar yang berdiri di Kampung Karawaci Baru, RT 04/ RW 03, Karawaci, Kota Tangerang ini. Selain bangunannya yang sudah cukup usang, sekeliling rumah itu juga ditumbuhi rumput-rumput liar. Sehingga kesan yang muncul, rumah itu sangat kumuh tak terawat.
Tapi bila dilihat lebih dekat, ternyata banyak hal istimewa yang terdapat di dalamnya, karena rumah ini diyakini sudah berusia 300 tahun lebih. Tak cuma itu, unsur menarik dari rumah ini justru terletak pada desain arsitektur yang merupakan perpaduan unsur Timur (Tiongkok) dan Barat (Belanda). Pada bagian depan rumah utama, desain bangunan tampak memiliki ciri khas Tionghoa yang kental. Hal itu merujuk pada model atap rumah yang menjulang tinggi serta keberadaan dua patung singa di pintu depan.
Sementara itu, pada bagian belakang rumah, desain bangunan justru terpengaruh gaya klasik Eropa. Selain banyak tiang penyangga beton ukuran besar, daun jendela yang digunakan pun berbentuk panjang menyerupai pintu khas bangunan Eropa. Perpaduan kedua gaya inilah yang menjadikan bangunan ini istimewa.
Dalam rumah itu kini tinggal 14 keluarga. Keseluruhannya merupakan mantan anak buah pemilik rumah. Mereka dibebaskan tinggal dan menetap selamanya di lingkungan itu tanpa dipungut bayaran.
Rumah Saudagar
Menurut Kasbulloh alias Dulloh (74), salah seorang penghuni rumah tua itu, rumah tersebut semula dimiliki saudagar Tionghoa yang sangat kaya. Kekayaannya itu membuat sang pemilik dikenal sebagai tuan tanah.
Menurut Dulloh, tak banyak orang yang mengenal pemilik asli bangunan rumah tua itu. Namun, semua orang berkeyakinan bahwa pemilik tanah tersebut sangat dihormati oleh keturunan Tionghoa di Tangerang. Apalagi sang pemilik juga merupakan pemilik kebun karet terbesar dan sangat berpengaruh di Tangerang. Bahkan diyakini dia merupakan tokoh penting bagi masyarakat keturunan Tionghoa di Tangerang kala itu.
Tapi setelah pemiliknya meninggal, rumah tersebut diwariskan pada tiga anaknya. Namun, anak-anaknya enggan tinggal di sana. Seorang putranya memilih menetap di Belanda, seorang lainnya di Magelang dan yang paling bungsu kini menetap di Jakarta. Oleh karena itu, tanah perkebunan tersebut kemudian dijual. Hingga akhirnya lahan perkebunan karet itu habis. Sementara itu, mantan karyawannya tetap diperbolehkan tinggal sambil menjaga rumah tua tersebut.
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved