Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
Nusya Kuswantin -
: , 2006
Deskripsi
dalam:
Kompas: Jum\'at, 30 Juni 2006
Isi:
Pomah adalah bahasa Jawa dari akar kata omah (rumah). Pomah bermakna betah di rumah atau merasa nyaman di rumah. Bisa juga berarti tidak canggung (di rumah seseorang). Karena itu, calon menantu yang sudah tampak akrab dengan, dan tidak canggung di lingkungan keluarga calon pasangannya, ia akan digoda dengan kalimat, "Ah ternyata kamu sudah pomah ya?" Atau, terhadap anak yang lebih suka keluyuran daripada tinggal di rumah, seorang ibu mungkin saja akan menggerutu, "Anak kok tidak pomah."
Seorang perempuan yang hidup sendirian, pernah merasa tidak pomah tinggal di dalam apartemennya yang mahal di kawasan eksklusif di daerah Kemang, Jakarta. "Saya ingin pindah ke apartemen yang lebih kecil. Apartemen saya yang sekarang memang bagus, luas, eksklusif, berkelas, dan tenang. Cocok untuk kalau saya sedang banyak bepergian ke daerah dan pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan. Tiba di rumah, saya akan tidur dengan nyenyak. Juga baik bila saya ingin mengundang empat-lima orang teman untuk makan bersama di akhir pekan. Karena ruangan tidak terasa sempit," kata Sarah Domingo (51) tentang apartemen yang telah ditinggalinya selama hampir setahun.
Tentu sama sekali bukan soal mahal karena posisinya sebagai orang nomor dua di sebuah organisasi internasional, Sarah mendapat tunjangan sewa rumah sampai 80 persen untuk apartemen eksklusif tersebut. Jadi, apa sesungguhnya persoalan yang dihadapi perempuan Filipina itu?
"Saya baru menyadarinya akhir-akhir ini bahwa suasana apartemen itu bisa membuatku murung. Terutama bila saya sedang menikmati akhir pekan di rumah saja," katanya. Maka, setelah setahun, Sarah memutuskan pindah ke apartemen di daerah Kuningan yang ukurannya lebih kecil, dengan harga lebih murah, dan tidak memberi kesan terlalu eksklusif.
Di tempat tinggalnya yang baru ini, "Saya bisa tinggal di rumah saja selama akhir pekan. Saya tidak ke mana-mana, kecuali berenang setelah senja turun. Selebihnya saya hanya tinggal di rumah saja, menikmati hari libur. Saya makan dengan menu sehat, sayur, buah, dan tidur cukup." Atau, dengan bahasa yang berbeda, Sarah ingin mengatakan bahwa ia pomah di apartemennya yang lebih kecil.
Rumah seyogianya bisa membuat penghuninya pomah. Karena bila tidak, maka ia mereduksi fungsinya hingga tinggal sekadar sebagai tempat untuk tidur di malam hari. Dengan kata lain, fungsi rumah jadi tak lebih dari sekadar kamar tidur belaka.
Mungkin awalnya tidak dimaksudkan agar ekonomi bisa berputar dengan lebih dinamis, bila banyak rumah atau apartemen di Tokyo, misalnya, yang dibuat dengan ukuran relatif kecil sehingga membuat penghuninya lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah di waktu senggangnya.
Rumah-rumah tradisional Jepang di Museum Edogawa misalnya, dibangun dengan ukuran yang sama dengan aslinya, yaitu sekitar 5 x 4 meter atau lebih luas sedikit. Artinya, sudah dari sononya bahwa orang Jepang suka barang berukuran kecil. Ukuran rumah tinggal yang kecil mungkin cocok untuk musim dingin karena ruang kecil diharapkan mampu memerangkap panas tubuh (atau perapian) lebih optimal sehingga ruangan akan terasa lebih hangat. Namun, bila cuaca baik, penghuni akan cenderung lebih suka keluar dari rumah untuk menikmati suasana yang lebih lega. Dan, penghiburan bagi masyarakat kosmopolitan seperti Tokyo atau kota-kota besar lainnya, termasuk Jakarta, ternyata adalah jalan-jalan dari satu mal ke mal yang lain.
Sebagai strategi mendinamisasi perputaran uang, pembangunan apartemen atau rumah susun berukuran kecil mungkin dinilai jitu. Karena rumah kemudian lebih berfungsi sebagai tempat untuk tidur saja. Bangun tidur penghuninya akan bergegas ke kantor atau ke sekolah. Pulang sekolah, anak-anak akan melanjutkan kegiatan dengan les ini-itu sehingga tidak perlu lagi belajar di rumah. Sementara orang dewasa akan mampir ke kafe atau restoran atau gym untuk membugarkan diri.
Bila penghuni rumah merasa lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah pada saat senggang mereka, maka mungkin saja rumah-rumah itu telah kehilangan fungsi sosialnya karena tak mampu lagi membuat penghuninya merasa pomah. Tentu, akan baik apabila di luar rumah ada ruang publik gratis bagi penduduk dewasa untuk sekadar duduk-duduk atau mengobrol, sementara anak-anak bisa bermain, bahkan kejar-kejaran. Karena tak setiap orang suka menghibur diri di mal, dan tak setiap penduduk mampu membayar rumah yang benar-benar bisa membuat penghuninya pomah.
Nusya Kuswantin, Pemerhati Rumah
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved