Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Jakartaku tinggal tunggu tenggelam

Format : Artikel

Impresum
- : , 2007

Deskripsi
Sumber:
Republika: Kamis, 29 Nopember 2007

Isi:

Kita sering terkagum-kagum saat mendengar bahwa Kota Amsterdam, Belanda, berada lebih rendah dari permukaan laut. Betapa hebatnya mereka membangun dam agar air laut tak menyerbu daratan, yang bisa menenggelamkan kota itu. Saat berdecak kagum, kita selalu mensyukuri bahwa Indonesia adalah surga dunia. Bahwa situasi itu tak terjadi di Indonesia. Rupanya, kita harus mengubah memori kita.

Dalam tiga hari ini, Kota Jakarta terutama Jakarta Barat dan Jakarta Utara dibanjiri oleh air pasang. Laut Jawa di Teluk Jakarta menyerbu sebagian dua wilayah itu. Tol menuju Bandara Soekarno-Hatta tergenang. Akibatnya, perjalanan dari dan ke bandara terganggu. Sejumlah penerbangan domestik mengalami delay. Sejumlah permukiman terendam. Di antara rumah-rumah itu ada yang roboh didera derasnya air.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sejumlah pihak sudah lama mengingatkan bahwa permukaan tanah Jakarta terus mengalami penurunan, alias amblas. Hal ini terjadi akibat air tanah yang terus-menerus dihisap tanpa kendali. Selain itu, air hujan tak diserap ke tanah tapi langsung mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut. Pori-pori dan rongga-rongga tanah yang selama ini terisi air menjadi terpadatkan oleh tanah. Sehingga tanpa terasa, permukaan tanah Jakarta sudah berada di bawah permukaan air laut.

Pemerintah Jakarta sudah lama membangun tanggul di sejumlah titik pantai. Pemerintah juga menyediakan pompa untuk membuang air hujan maupun air laut yang masuk untuk dialirkan ke laut. Pada sisi lain, akibat berkurangnya air tanah ini, sudah lama air laut mengisi rongga-rongga tanah di Jakarta. Inilah yang disebut intrusi air laut. Air-air tanah di sebagian wilayah Jakarta sudah lama terasa asin, bahkan sudah sampai ke kawasan Monas.

Namun, apa yang sedang terjadi di Jakarta ini bukan gejala yang khas. Kini, seluruh dunia sedang dicemaskan oleh dampak pemanasan global. Yaitu, naiknya suhu udara secara konsisten akibat berkurangnya oksigen dan meningkatnya gas karbon. Hal ini akibat tak terkendalinya penggunaan energi karbon dan penggundulan hutan. Pemanasan global ini berdampak pada mencairnya es di kutub. Inilah yang berakibat pada naiknya permukaan air laut. Jika situasi ini tak dihentikan maka hanya menunggu waktu saja bagi tenggelamnya sejumlah kota dan hilangnya sejumlah pulau. Iklim juga sudah mulai kacau, yang pada ujungnya adalah terjadinya krisis pangan.

Walau apa yang kini sedang menimpa Jakarta bukan hal yang khas, namun jika kita berlindung di balik argumen itu hanya makin menambah penderitaan saja. Pertama, mungkin Jakarta akan menjadi kota pertama di dunia yang tenggelam. Kedua, yang sudah pasti, sebelum tenggelam Jakarta akan mengalami fase dibanjiri air laut secara lebih dini. Untuk itulah, pemerintah Jakarta harus segera membuat kebijakan yang pro lingkungan.

Memperbanyak sumur resapan, memperbanyak ruang terbuka hijau, dan mengendalikan eksploitasi air tanah. Pada sisi lain, pemerintah Jakarta harus segera menyiapkan tanggul-tanggul di sepanjang pantainya. Untuk mewujudkan program yang mendesak itu tak bisa lagi berlindung di balik keterbatasan anggaran.

Di sinilah pentingnya politik anggaran, efisiensi anggaran, dan kepemimpinan seseorang diuji. Kuncinya adalah kesungguhan dan komitmen dalam melindungi warga dan menjaga kelestarian lingkungan. Jika kita abai pada kondisi ini, maka Jakarta bisa hilang dari peta. Ancaman pemanasan global dan perubahan iklim demikian nyata di hadapan kita.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved