Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

"Quo Vadis" Jakarta?

Format : Artikel

Impresum
Ivan A Hadar - : , 2007

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 28 November 2007

Isi:

Antropolog terkenal Claude Levy Strauss pernah menulis, "Kota ini berkembang demikian cepat sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan atasnya". Kutipan itu berasal dari catatan perjalanannya ke Sao Paolo tahun 1955. Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil itu baru berpenduduk 2,5 juta jiwa.

Tak terbayangkan, apa yang bakal ditulis Strauss seandainya berkunjung ke Jakarta saat ini. Kemacetan berkepanjangan berbarengan dengan pembangunan jalur baru busway menyebabkan berbagai kerugian yang nilainya sekitar Rp 43 triliun atau lebih dari dua kali APBD Jakarta 2007 (Kompas, 6/11/2007).

Kemacetan adalah satu dari sekian persoalan pelik Jakarta, seperti masalah air bersih dan resapan air laut, sampah, dan polusi.

Meski demikian, Jakarta tetap memiliki daya tarik kuat terkait tingginya peredaran uang. Tak heran, dari waktu ke waktu, jumlah penduduknya terus meningkat tajam. Setiap hari diperkirakan 1.000 orang pindah ke Jakarta. Saat ini penghuni Jakarta diperkirakan berjumlah 12 juta jiwa. Bahkan pada siang hari-hari kerja, kota ini dipaksa "melayani" sekitar 14 juta jiwa.

Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara berkembang, termasuk Jakarta, bukan disebabkan kemakmuran kota, melainkan akibat kemiskinan desa. Jutaan petani gurem tak lagi mampu menghasilkan panen memadai akibat distribusi tanah yang timpang dan erosi berkelanjutan.

Pertambahan penduduk yang sangat pesat diramal bakal menjadi beban tak tertanggungkan bagi infrastruktur Jakarta seperti sudah mulai terasakan saat ini.

Melonjaknya tindak kriminalitas, jumlah penganggur, dan tindak korupsi di sektor publik mempersulit upaya perbaikan mendasar. Sementara itu, pesatnya pertumbuhan penduduk kembali menghancurkan berbagai perbaikan infrastruktur yang berjalan tertatih-tatih. Pada saat sama, petaka lingkungan seperti naiknya permukaan laut sedang mengintip. Begitu pula dengan petaka sosial.

Bagi Gerhard Schweizer, "bibit revolusi sosial ada di kampung-kampung kumuh megapolitan negara berkembang, sebuah risiko yang sulit diramal" (Zeitbombe Stadt, 2005). Di Jakarta, lebih dari 40 persen warganya tinggal di kampung-kampung kumuh.

Memindahkan ibu kota

Banyak yang mengusulkan pemindahan pusat pemerintah untuk meringankan beban Jakarta. Meski, mungkin, banyak ditentang seperti terjadi dalam kasus Tokyo. Pada masa Perdana Menteri Takeshita tahun 1970-an, desentralisasi Tokyo yang saat itu berpenduduk sekitar 30 juta jiwa dijadikan kebijakan terpenting.

Program mengobati "penyakit" Tokyo disebut furosato, yang artinya "kembali ke desa". Langkah drastis Takeshita adalah mewajibkan tiap kementerian dan departemen terpenting pindah ke kota lain.

Mula-mula 290 direktorat ditetapkan pindah dari Tokyo. Selang beberapa bulan, akibat banyaknya protes, daftar kepindahan ini menyusut menjadi 79 direktorat kurang penting seperti direktorat Pencemaran Batu Bara dan Penelitian Pabrik Bir. Tak satu pun direktorat penting bersedia pindah dengan alasan pemindahan membawa masalah, padahal dengan begitu "penyakit" Tokyo belum tentu terobati.

Usulan lain, agar kawasan Jabotabek dipimpin seorang gubernur yang kewenangannya setingkat menteri. Persoalan Jabotabek makin mendesak untuk ditangani dalam satu manajemen. Sebenarnya, lebih dari sekadar peningkatan kewenangan gubernur, bentuk-bentuk baru kewenangan harus dikembangkan pula, dengan memerhatikan kepentingan bersama strata sosial penduduk dan berbagai jenis lembaga pengayom. Ini, terkait desentralisasi kewenangan sebagai langkah terpenting meningkatkan partisipasi warganya.

Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, "Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya".

Masyarakat luas, terutama dari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota, adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.

Dalam Ten Good Policies for Better Cities (Habitat International, 1996), tercatat "cara terbaik melindungi kepentingan warga, terutama mereka yang terpinggirkan, dengan menghilangkan kendala penyediaan lahan dan dana dalam skala besar".

Hal itu, pada gilirannya, bisa menjadi aset untuk merencanakan dan memberlakukan social housing system dengan target pemenuhan perumahan yang lebih luas dan pemihakan lebih jelas.

Pemerintah diharapkan ikut menciptakan kerangka kerja yang bersifat memampukan bagi kegiatan kemasyarakatan serta memaksimalkan manfaat kemitraan berbagai pemangku kepentingan. Pusatkan perhatian pada peningkatan gagasan, sikap, dan pendekatan yang telah teruji. Gunakan dana masyarakat yang terbatas untuk meningkatkan sumber daya tambahan.

Hal yang juga penting, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan, warga kota sering lebih mengetahui permasalahan sebenarnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asal mereka diajak berembuk tentang kotanya.

Dewan Kota yang saat ini belum banyak berbuat perlu dikembangkan dengan partisipasi warga. Peran media dalam meliput dan menyebarluaskan kegiatan dewan akan sangat membantu proses itu. Dengan demikian, masyarakat tidak sekadar tinggal di kota, tetapi juga ikut merasa memiliki kota (sense of belonging) sehingga dapat diharapkan peran konstruktif dalam pelaksanaan pembangunan kota.

Ivan A Hadar Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved