Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Banjir ternyata dari zaman kolonial Belanda

Format : Artikel

Impresum
Sutarmi - : , 2007

Deskripsi
Sumber:
Sinar Harapan: Senin, 12 Februari 2007

Isi:

Apa yang menyebabkan banjir sangat meluas di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sekarang ini? Efek kebijakan ekonomi dan politik yang berpusat di Jakarta menjadi penyebab utama. Tapi, banjir pada masa pemerintahan Hindia-Belanda (Nederlands-Indie) beda lagi. Pada masa itu banjir disebabkan kebijakan pemerintah membuat perkebunan teh di Bogor.

Kebijakan pembukaan perkebunan teh di wilayah Bogor menyebabkan hilangnya penyangga air dan resapan air di puncak. Akibatnya, sejak tahun 1893, dan 1901 Batavia selalu dilanda banjir. Bahkan kemudian tahun 1918, 1930, dan 1932, Batavia dilanda banjir besar.

Bincang-bincang SH, Sabtu (10/2), dengan pakar banjir Restu Gunawan, kandidat doktor Ilmu Sejarah UI yang tengah meneliti "Banjir di Jakarta dan Penanggulangannya tahun 1911-1985" mengungkapkan hal itu. Pakar ini antara lain membahas perbedaan penanganan banjir dari masa kolonial dan pada sekarang ini.

Gunawan yang kini Kepala Seksi Lingkungan, Sosial, dan Budaya di Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Debudpar) Jakarta, mengingatkan banjir dan pola penangan yang cepat di masa lalu, harus ditiru.

Untuk mengatasi banjir di Menteng dan kawasan Istana yang dihuni kelompok elite bangsa Belanda, tahun 1905, Pemerintahan Hindia-Belanda menginstruksikan kota praja untuk membuat kanal-kanal air, peresapan air, dan pengaturan tata kota Batavia. Pada tahun 1911 mereka melakukan penelitian mengenai sedimentasi dan aliran-aliran air. Tahun 1913 mereka mulai membuat kanal-kanal banjir dan pintu air Matraman, yang sekarang dikenal sebagai Pintu Air Manggarai yang selesai dibangun pada tahun 1919.

Pembuatan kanal banjir dan Pintu Ar Matraman ini memaksa penduduk pribumi pindah ke wilayah Bukit Duri, Jatinegara, dan Kramat. Dengan demikian masalah banjir bagi penduduk di daerah itu sejak dulu sampai sekarang merupakan hal yang biasa. Banjir seolah menjadi sahabat, meski sangat menyusahkan.

Di masa Soekarno antara 1960 dan 1970, banjir juga sempat menggenangi Istana Negara. Akibatnya, aktivitas kenegaraan terganggu. Setelah Istana kebanjiran pada 1960, pemerintah mengeluarkan wacana membangun waduk atau kanal di daerah Pluit, namun biayanya dialihkan untuk membangun Kompleks Gelora Senayan.

Selain itu, Soekarno memerintahkan membentuk "Komando Proyek Banjir" yang ditugaskan menangani banjir yang sebelumnya dipegang Departemen Pekerjaan Umum (DPU) karena DPU dianggap menghabiskan dana besar dan tidak ada hasilnya.

Setelah dipegang "Komando Proyek Banjir", tahun 1966 pemerintahan Soekarno berhasil menyelesaikan waduk Stya Budi dan Waduk Melati.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bekerja sama dengan Belanda untuk menangani banjir dan dibangunlah "Cengkareng Drain" dan "Cakung Drain".

Di Jakarta, ketika Ali Sadikin menjabat gubernur, dampak banjir bisa diminimalkan. Ali Sadiikin secara terprogram dan terencana membersihkan bangunan-bangunan di sekitar bantaran sungai dan menggalakkan tata bangunan, sehingga itu dapat meminimalkan luapan air yang masuk ke permukiman penduduk.

Sementara itu, pemerintah DKI setelah Ali Sadikin tidak mampu lagi membatasi bangunan-bangunan di sekitar bantaran sungai. Areal lahan sungai penuh bangunan rumah dan saat musim hujan banjir pun menerjang.

Kita Selalu Menunda
Apa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda berbeda dengan pemerintahan Indonsia yang selalu menunda-nunda mengatasi banjir. Program pembuatan kanal-kanal banjir yang sudah direncanakan sejak tahun 1970 sampai tahun 2000 tidak terealisasi. Kebijakan pembuatan saluran Banjir Kanal Timur sepanjang sekitar 23 km, sampai sekarang belum juga selesai.

Untuk penanganan masalah bencana, pemerintah Hindia-Belanda menyediakan dana 2 juta golden, 1.200 golden untuk menangani banjir dan 800 golden untuk subsidi menangani air, terutama penanganan air di musim kemarau. Selain itu, pemerintah Hindia-Belanda juga membangun kanal-kanal air sebagai sarana transportasi air untuk mengangkat tebu dan kayu.

Herman van Breen sebagai penanggung jawab masalah penanganan banjir menjadi sasaran kritikan. Ia pun langsung meminta bantuan pada parlemen Hindia-Belanda dan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda untuk menyelesaikan masalah banjir secara bersama-sama.

Apa yang terjadi sekarang? Saat banjir mulai menerjang Jabodetabek, pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah malah saling melempar tanggung jawab. Ironisnya, banjir malah dijadikan ajang kapanye politik para politisi dari banyak partai. Indikasinya, bendera-bendera partai berkibar di posko-posko banjir..Akibatnya, penanganan banjir di Indonesia lebih bersifat politis dari pada bagaimana solusi untuk menyelesaikan masalah banjir secara cepat dan tepat.

Menurut pakar banjir Restu Gunawan, untuk mengatasi banjir di Jakarta diperlukan perbaikan manajemen air dan penerapan Kanal Jawa yang dirancang oleh Blomen Stein. Gunawan juga mengatakan perlunya percepatan pelaksanaan konsep megapolitan dan kebijakan otonomi daerah secara luas dan pembukaan lapangan pekerjaan untuk mengatasi urbanisasi yang berpusat di Jakarta.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved