Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Cagar budaya : Istana Gebang, riwayatmu kini

Format : Artikel

Impresum
- : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Suara Pembaruan: Minggu, 4 Mei 2008

Isi:

BANGSA yang besar adalah bangsa yang senantiasa mengingat jasa para pahlawannya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali melupakan sejarah (jasmerah). Itulah sepenggal pesan yang sering disampaikan Bung Karno (BK), panggilan populer Presiden Pertama Republik Indonesia Dr Ir Soekarno, Proklamator, dan Bapak Pendiri Bangsa.

Tidak sedikit bangsa di dunia memuji kegigihan perjuangan BK yang telah mengilhami para pejuang kemerdekaan dari negeri-negeri terjajah di belahan dunia lain- nya. Bapak penggali nilai-nilai Pancasila itu sudah lama tiada, dan meninggalkan begitu banyak tempat bersejarah. Dari sederet tempat bersejarah itu, salah satunya adalah rumah kediaman orangtuanya. Rumah kediaman masa kecil BK.

Rumah masa kecil BK di Jalan Sultan Agung 56 Blitar, Jawa Timur, dengan gaya arsitektur unik yang dibangun sebelum 1900, lebih sering disebut sebagai Istana Gebang. Rumah yang dipugar 1998 oleh Dewan Harian Daerah Angkatan 1945 Provinsi Jawa Timur itu, meliputi rumah (dalem) induk yang berdiri megah dengan lima kamar, empat di sisi barat dan satu kamar di sisi timur, lengkap dengan dua ruang besar untuk ruang tamu di depan dan ruang keluarga di belakang, serta sederetan kamar pembantu rumah (abdi dalem), kamar mandi, dan garasi mobil.

Di atas lahan pekarangan sekitar 1 hektare itu, selain dalem induk sendiri beserta balai pertemuan kesenian yang menempati areal lahan seluas 1.400 meter persegi (m2) yang kemudian dikenal sebagai Istana Gebang, terdapat sedikitnya lima unit rumah pendukung lainnya yang ada di kanan-kiri rumah induk. Sayangnya, pasca-peringatan wafatnya (haul) BK pada 2004 dan menjelang berakhirnya masa pemerintahan putrinya, Presiden Megawati Soekarnoputri, cahaya Istana Gebang beserta kelengkapannya pun mulai meredup.

Kesulitan Biaya

Menjelang haul BK 20 Juni 2007, tepatnya pada 16-17 Juni 2007, sedikitnya enam dari 11 cucu ahli waris yang masih hidup dari almarhumah Ibu Soekarmini atau Ibu Wardoyo, kakak kandung BK, mengadakan pertemuan internal keluarga. Mereka yang sudah berkeluarga dan hidup berpencar, di antaranya ada yang tinggal di Jakarta dan Surabaya, mengaku kesulitan merawat Istana Gebang, setelah pemerintah tidak merespons pemberitahuan tertulis tentang kondisi keuangan perawatan Istana Gebang.

Setiap bulan, para ahli waris secara bergotong royong mengeluarkan biaya perawatan rata-rata Rp 3 juta. Belum semua ahli waris memiliki kemampuan untuk ikut menyumbangkan penghasilannya guna membayar upah tenaga pembantu yang menjaga dan merawat Istana Gebang. Angka nominal itu akan membengkak beberapa kali lipat jika terdapat bagian bangunan yang harus diperbaiki, tidak termasuk pengecatan dinding, pagar, dan langit-langit, serta joglo teras.

Munculnya kesepakatan awal enam ahli waris Istana Gebang untuk menjual rumah itu kepada khalayak umum, dilakukan setelah beberapa kali ahli waris tidak mendapat respons dari Djarot Saiful Hidayat, Wali Kota Blitar dan Imam Utomo, Gubernur Jatim, serta pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri.

Ketika dr Bambang Sukaputra dan Ratna Triani (Retno), dua orang yang ditunjuk para ahli waris sebagai wakil, sekaligus juru bicara keluarga ahli waris Istana Gebang, menyampaikan surat pemberitahuan, sekaligus permohonan bantuan guna mengatasi krisis keuangan internal, tak kunjung muncul tanggapan. Belakangan, para ahli waris baru berani meminta bantuan biaya perawatan ke Pemerintah Kota Blitar, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, bahkan pemerintah pusat di Jakarta, karena baru mengetahui bahwa Istana Gebang merupakan cagar budaya.

Sebagaimana isi surat keputusan (SK) Wali Kota Blitar Nomor 24/2004 tentang Penetapan Lokasi Benda Cagar Budaya di Kota Blitar, yang meliputi Istana Gebang, Makam Bung Karno (BK), Makam Raden Wijaya, Monumen PETA beserta kompleks bangunannya, Pendapa Kabupaten, Rumah Dinas Wali Kota, Rumah Danyon 511, serta PGSD.

Sebagai monumen cagar budaya, seharusnya pemerintah memberi kompensasi agar upaya melestarikan bangunan bersejarah itu tidak terbengkalai. Para ahli waris mengaku bahwa walaupun Istana Gebang ditetapkan SK Wali Kota Blitar sebagai bangunan cagar budaya, namun kewajiban untuk memelihara tetap terbeban pada para ahli waris sendiri.

Dalam SK Wali Kota Blitar itu, kata Bambang Sukaputra, hanya mencantumkan pemberian bantuan, bukan kewajiban dalam perawatan bangunan cagar budaya. Karena biaya perawatan Istana Gebang tidak dapat ditunda, barulah muncul ide untuk menjual Istana Gebang.

Yang agak menggelikan, dalam SK yang sama dicantumkan pula kalimat, bahwa pengalihan hak atas benda cagar budaya yang dimiliki secara turun-temurun, hanya dapat dilakukan pemerintah dengan memberikan imbalan yang wajar. Bagaimana dapat menakar harga yang wajar atas nilai-nilai sejarah perjuangan BK dengan sejumlah uang?

"Kalau memang benar masuk cagar budaya, pasti sejak 2001 ada kompensasi biaya perawatan. Lha ini semua perawatannya ditanggung keluarga dan hanya kadang kala dibantu sedikit oleh Pemkot Blitar," ujar Satria Sukananda, salah satu dari sejumlah ahli waris Istana Gebang.

Kendati, ia belum setuju jika Istana Gebang dijual, namun "teriakan" adiknya, Bambang Sukaputra dan Retno yang siap menjual kepada masyarakat seharga Rp 50 miliar, merupakan peringatan agar pemerintah meningkatkan kepeduliannya terhadap kelestarian Istana Gebang. Kabarnya, ada seorang miliarder asal Malaysia yang menyatakan siap membelinya dengan harga Rp 50 miliar.

Wali Kota Blitar, Djarot Saiful Hidayat didampingi kepala Dinas Informasi dan Komunikasi dan Pariwisata Daerah (Inkoparda) Pemkot Blitar, Drs Kasmiadi menyatakan pihaknya siap membeli Istana Gebang, jika harganya sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) yang berkisar sekitar Rp 7,5 miliar. "Kalau Rp 50 miliar, itu sangat mahal," ujarnya sambil menambahkan, jika puluhan miliar biar pemerintah pusat saja yang membeli, karena sama-sama institusi pemerintah.

Pernyataan itu terkait dengan langkah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault yang bernegoisasi dengan para ahli waris, setelah sebelumnya sempat bertandang ke Istana Gebang bersama sejumlah artis.

Djarot yang juga kader PDI-P dan pelestari ajaran BK itu menyatakan upaya Adhyaksa Dault itu merupakan perintah Presiden Yudhoyono guna menyelamatkan cagar budaya, berupa rumah kediaman masa kecil BK, yang nantinya dapat dijadikan museum sejarah, sekaligus tempat tujuan wisata sejarah.

Miskin Komitmen

Terkait hal itu, Bambang Gunawan, Ketua Majelis Pelestari Ajaran Bung Karno (MPABK) dan Maryono, Koordinator Tukang Becak Wisata (TBW) yang juga mendeklarasikan Forum Penyelamat Istana Gebang (FPIG), menyatakan mereka sepakat menggalang dana dari seluruh lapisan masyarakat guna membeli Istana Gebang agar kediaman masa kecil BK tidak jatuh ke tangan pribadi, apalagi pembeli dari mancanegara.

"Kalau pemerintahan Yu- dhoyono-Kalla belum dapat memberikan penghargaan yang layak kepada seorang proklamator, bagaimana dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat kecil," ujar Bambang Gunawan.

Maryono menambahkan, para pemimpin bangsa dan para pengusaha yang sukses di era kemerdekaan ini ternyata miskin komitmen dalam mempertahankan nilai-nilai sejarah perjuangan para pendahulu. Mereka seolah tidak pernah mau tahu, bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan bangsa, tanpa ada kemerdekaan. Seyogianya pemerintah segera turun tangan dengan menyelamatkan Istana Gebang. [SP/Aries Sudiono]

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved