Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Survei pembiayaan perumahan di Indonesia dan peran pemerintah daerah dalam pengembangan pembiayaan perumahan

Format : Artikel

Impresum
Novi Anggriani dan Wahyudi Purwono - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Newsletter YIPD: Tahun VII No. 2, April - Juni 2008

Isi:

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menyebabkan semakin pentingnya kebutuhan rumah dalam rangka pemenuhan sarana kehidupan bagi masyarakat di suatu daerah. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan bahwa rumah merupakan hunian dan sarana pembinaan keluarga. Untuk mendukung fungsi tersebut, diperlukan prasarana dan sarana lingkungan di sekitar rumah, sehingga kehidupan layak bagi penghuni di dalamnya dapat tercapai.

Meskipun berbagai arahan mengenai pembangunan perumahan serta sarana dan prasarana telah ditetapkan, namun persediaan perumahan bagi rakyat belum seluruhnya terpenuhi. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 menunjukkan bahwa sekitar 5,9 juta atau 10,7 persen dari 55 juta keluarga di Indonesia belum memiliki rumah. Sementara itu, setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah dari keluarga baru sekitar 820 ribu unit rumah. Angka-angka tersebut belum termasuk 3,1 juta keluarga atau 12,5 juta jiwa yang tinggal di rumah tidak layak huni. Kondisi inilah yang belum dapat ditanggulangi oleh Pemerintah Daerah dalam memenuhi kekurangan penyediaan perumahan pada tahun-tahun lalu dan tambahan permintaan setiap tahunnya.

Di negara-negara maju, hal utama yang menentukan apakah suatu keluarga dapat memiliki rumah atau tidak umumnya adalah kemampuan meminjam dana untuk membiayai investasi perumahan. Pembiayaan formal untuk perumahan yaitu kredit pemilikan rumah (KPR atau biasa juga disebut mortgage loans) yang disediakan melalui institusi formal, memainkan peranan yang sangat penting dalam merealisasikan potensi kebutuhan rumah. Para pemberi pinjaman umumnya bersaing untuk menawarkan produk pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi klien. Sementara itu, di negara-negara berkembang dimana pembiayaan formal tidak selalu memainkan peranan penting, seringkali bukan menjadi perangkat utama untuk merealisasikan kebutuhan akan rumah. Pada umumnya orang membangun rumah secara bertahap dengan menggunakan tabungan atau pinjaman jangka pendek untuk mendapatkan unit rumah dengan kualitas minimum yang dapat diterima. Tanpa akses ke pembiayaan formal, rumah tangga yang ingin membeli rumah dengan kualitas yang baik dengan status tanah bersertifikat, harus menunggu sampai tabungan mereka mencukupi atau seringkali mereka meminjam dari sanak saudara, teman atau pengembang (pembayaran dengan cicilan).

Keadaan ini kemudian menggagas mengenai pemberian bantuan dan kemudahan oleh pemerintah/pemerintah daerah kepada masyarakat dalam membangun atau memiliki rumah sendiri. Bantuan dengan dana ini memunculkan konsep pembiayaan perumahan yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah, bank, atau swasta. Kajian mengenai preferensi masyarakat terhadap produk pinjaman untuk membeli rumah menjadi informasi yang penting untuk didapatkan, karena dengan informasi ini para penyedia pinjaman atau bantuan biaya untuk membeli rumah dapat mendesain bentuk pinjaman pemilikan rumah yang paling tepat dan yang paling memenuhi ekspektasi serta preferensi calon pembeli rumah. Hal ini dapat menarik minat masyarakat untuk mendapatkan rumah layak huni dengan harga terjangkau.

Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD), sebagai lembaga yang fokus dalam memperkuat kapasitas manajerial Pemda salah satunya dengan melakukan telaah kebijakan, bekerja sama dengan National Opinion Research Center (NORC) at the University of Chicago melaksanakan survei pembiayaan perumahan di Indonesia. Survei dengan tema "Preferensi Produk Pinjaman Kredit Pemilikan Rumah" ini dilaksanakan dengan dukungan dana dari International Finance Corporation (IFC), World Bank. Kajian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh gambaran tentang preferensi pinjaman dalam pembelian rumah atau tempat tinggal oleh keluarga-keluarga yang ada dalam rumah tangga di Indonesia.

Survei dilaksanakan di 7 (tujuh) daerah perkotaan di Indonesia, yaitu Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Medan, Semarang, Bandung, Surabaya dan Makasar pada bulan Februari hingga Maret 2008. Jumlah sampel yang diwawancara adalah 1.281 responden dari 8.756 responden yang didatangi, setelah dipilih dengan menggunakan metode tertentu. Jumlah tersebut merepresentasikan 199.000 keluarga yang berencana membeli rumah dalam tiga tahun mendatang di ketujuh kota metropolitan tersebut.

Definisi "keluarga" dalam kegiatan survei ini bisa terdiri atas seluruh rumah tangga (yang dikepalai oleh keluarga utama) atau bisa juga merupakan suatu keluarga dalam rumah tangga (keluarga sekunder) yang berencana membeli rumah. Seperti kita ketahui banyak rumah tangga di Indonesia yang terdiri dari beberapa keluarga dan tinggal di tempat yang sama. Wawancara dilakukan terhadap satu atau beberapa kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah tangga atau dengan alamat yang sama. Responden dalam kegiatan survei ini adalah orang, dalam hal ini kepala keluarga atau pasangannya, yang berniat membeli rumah dalam tiga tahun mendatang di Indonesia, dan bukannya akan membangun rumah secara bertahap. Kepala keluarga yang diwawancarai berusia antara 24-50 tahun, hal ini mengingat orang dalam usia tersebut termasuk kelompok penduduk produktif dan sangat berpotensi untuk membeli rumah.

Survei dilaksanakan di 124 kelurahan di tujuh kota metropolitan tersebut. Dari setiap kelurahan terpilih, dipilih 2 (dua) RW/lingkungan/banjar. Sejumlah responden dipilih secara acak terstruktur di setiap RW terpilih. Berbagai tantangan dan hambatan yang dialami tim survei seperti responden yang keberatan untuk diwawancara, alamat yang tidak jelas, cuaca yang kurang bersahabat , kondisi alam yang tidak memungkinkan, serta izin yang tidak diberikan, berhasil ditangani dengan baik oleh tim survei.

Setiap pekerjaan survei yang besar membutuhkan kerja sama suatu tim yang efektif agar pelaksanaan survei berlangsung lancar. Persiapan secara matang untuk setiap tahapan khususnya sebelum survei dilaksanakan memegang peranan penting. Tim survei YIPD melakukan berbagai diskusi, membantu memfinalisasi desain kuesioner bersama tim NORC, menyusun pedoman wawancara, melaksanakan pelatihan serta melakukan uji coba pelaksanaan survei di dua lokasi. Dari hasil uji coba ini, desain pelaksanaan survei disempurnakan.

Untuk melaksanakan survei pembiayaan perumahan ini, para staf YIPD yang menjadi bagian dalam tim survei, bertugas menjadi supervisor di lapangan. Tujuannya adalah agar data yang dikumpulkan benar-benar terjaga kualitasnya dan informasi yang diperoleh di lapangan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan dari dilakukannya kajian ini. Setiap supervisor bertanggung jawab untuk kegiatan survei di satu kota. Adapun para pewawancara atau enumerator yang langsung berhadapan dengan responden, direkrut dari berbagai mitra lokal di daerah kajian. Tim survei mendapatkan pelatihan untuk melakukan wawancara sebelum survei dilaksanakan. Pelatihan ini memiliki peranan yang sangat penting agar enumerator benar-benar memahami konteks serta tujuan pelaksanaan survei sehingga informasi yang akurat dapat diperoleh dari hasil survei ini.

Informasi yang didapatkan dari kajian ini antara lain adalah jumlah anggota rumah tangga (ukuran suatu rumah tangga), kondisi rumah saat dilakukan wawancara, rencana pembelian rumah dalam tiga tahun mendatang, preferensi produk pinjaman serta pengetahuan responden tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Mengingat peran YIPD sebagai institusi yang berkecimpung dalam bidang manajerial pemerintahan daerah, berikut, penulis berbagi cerita mengenai pola pembiayaan perumahan yang umum di Indonesia serta peran pemerintah daerah dalam pengembangan pembiayaan pembangunan perumahan.

Pola Pembiayaan Perumahan Di Indonesia
Sejalan dengan berkembangnya pasar perumahan, dilakukan upaya-upaya oleh pihak terkait dalam mengatasi kendala masyarakat untuk mendapatkan hunian. Salah satu upaya tersebut adalah dalam bidang pengembangan sistem pembiayaan perumahan. Pola pembiayaan ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk dapat membiayai huniannya sesuai dengan kemampuan keuangannya. Beberapa model pembiayaan yang telah berkembang di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) dan KPA (Kredit Pemilikan Apartemen -sederhana)
Di Indonesia, kredit properti yang ditujukan bagi Masyarakat Berpenghasilan Menengah dan Rendah sering disebut sebagai Kredit kePemilikkan Rumah (KPR) dan KPA (kredit kePemilikan Apartemen (sederhana) - yang relatif baru dirintis beberapa tahun terakhir. Adanya kredit ini merupakan bagian dari usaha perbankan dan juga program Pemerintah untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Menengah dalam memperoleh rumah/rumah bersusun (rusun). Agar harga rumah/rusun dan suku bunga pinjaman cukup rendah, maka Pemerintah memberikan subsidi kepada masyarakat tertentu yang disalurkan melalui Bank Pemberi Pinjaman (dalam bentuk bunga yang rendah atau uang muka yang rendah), dan juga memberi sejumlah fasilitas kepada Kontraktor/Perusahaan Pengembang kawasan perumahan untuk menekan biaya perolehan tanah dan biaya pembangunannya. Tingkat suku bunga yang diterapkan pada kondisi saat ini sangat bervariasi yaitu ada yang fixed untuk waktu tertentu dan ada yang floating atau kombinasi dari keduanya. KPR di Indonesia nampaknya merupakan salah satu skema pembiayaan yang paling feasible serta applicable saat ini untuk golongan masyarakat berpenghasilan tertentu.

Namun, skema ini belum tentu feasible untuk mereka yang berpenghasilan rendah atau yang berpenghasilan tidak tetap. Hasil perhitungan/simulasi yang dilakukan pada beberapa kajian menunjukkan bahwa bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah cukup sulit untuk dapat memenuhi skema KPR ini apabila subsidi bunga dicabut atau jika harga rumah tidak diturunkan. Pembiayaan secara kredit kepemilikkan rumah/apartemen ini mengambil porsi 10-20% dari sistem pembiayaan perumahan di Indonesia.

b. Kredit Mikro Perumahan
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan Formal/Perbankan dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Di Indonesia Lembaga Keuangan Mikro telah ada dan tumbuh sejak 100 tahun yang lalu dan saat ini menjadi terbesar di dunia dalam jenis dan jumlahnya. Salah satu alasan utama Lembaga Keuangan Mikro dapat diterima dengan baik adalah karena kelebihannya dalam proses yaitu, untuk mendapatkan kredit jauh lebih sederhana dan tidak berbelit-belit jika dibandingkan dengan sistem perbankan. Selain itu ditunjang pula dengan lokasi usaha yang dekat dengan "konsumen"nya yakni sektor usaha kecil, mikro dan informal. Sistem dan jasa keuangan yang ditawarkan lebih "sesuai" dengan tatanan dan karakter sosial masyarakat menjadi salah satu alasan lainnya. Dengan kondisi demikian, maka masalah jaminan dalam sistem kredit mikro dapat didefinisikan lebih "luwes" dibandingkan dengan sistem perbankan.

Faktor-faktor tersebut menjadi pertimbangan utama bagi nasabah Lembaga Keuangan Mikro. Tingkat suku bunga di lembaga ini memang relatif rendah jika dibandingkan dengan bank pada umumnya. Lembaga Keuangan Mikro sendiri, pada dasarnya terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu Lembaga Keuangan yang berbentuk Bank, Koperasi dan Lainnya. Lembaga keuangan mikro inilah yang sekarang telah mulai memberikan kredit mikro untuk pembangunan perumahan secara bertahap (housing micro finance). Penggunaan kredit mikro dari LKM ini umumnya untuk peningkatan kualitas hunian dengan masa pinjaman dibawah 5 tahun.

c. Pembiayaan Swadaya
Pembiayaan rumah swadaya adalah rumah yang dibangun oleh pemiliknya sendiri dan bukan oleh pengembang dengan cara pembangunan bertahap melalui swadana atau pinjaman (Bank/LKM) (Kedeputian Perumahan Swadaya, 18 Nop 2005). Pembangunan perumahan melalui pembiayaan sendiri/swadaya ini masih merupakan mayoritas di Indonesia karena mencakup hampir 80% dari program pembiayaan pembangunan perumahan di Indonesia.

Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Pembiayaan Perumahan
Pada dasarnya, penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah, merupakan kewajiban pemerintah. Namun, adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, mengharuskan pemerintah ‘menggandeng’ pihak swasta untuk berpartisipasi aktif dalam menyediakan rumah (sederhana) layak huni, aman dan nyaman bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Akan tetapi, pihak swasta tetap perlu mencari keuntungan dalam usahanya, sehingga sekecil apapun biaya produksi dalam membangun rumah, akan dibebankan kepada konsumen (end user).

Sebagai fasilitator dan regulator dalam penyediaan rumah layak huni khususnya di wilayah perkotaan, pemerintah harus dapat mengambil sikap bijak untuk tetap mengutamakan keterjangkauan harga rumah sederhana layak huni, aman, dan nyaman bagi masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah, namun dengan tetap memberikan ‘ruang’ keuntungan yang wajar bagi swasta sehingga mereka (swasta) tertarik untuk melakukan investasi di dalam penyediaan rumah sederhana layak huni tersebut.
Setiap daerah mempunyai karakter, tantangan dan kemampuan yang berbeda-beda. Fungsi dan peranan pengaturan serta pengendalian pada umumnya dilakukan oleh pemerintahan yang paling dekat dan memahami kondisi masyarakat setempat, yaitu pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 (PP 38/2007) tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dimana urusan perumahan merupakan urusan wajib daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah bertanggung jawab dan mempunyai wewenang untuk meningkatkan kualitas permukiman warganya dan mengintegrasikan pembangunan permukiman dengan perkembangan sifat kekotaan secara keseluruhan. Untuk itu pemerintah daerah harus memberikan pelayanan berupa fasilitas dan prasarana kota, serta berbagai regulasi untuk menjaga keadilan serta keseimbangan pelayanan dan fasilitas tersebut. Hal ini ditujukan pula untuk mendorong partisipasi warga dalam memelihara dan mengembangkan permukiman yang mereka huni.

Mampu tidaknya pemerintah menyediakan pelayanan tersebut tergantung pula pada kemampuan finansial, institusional dan teknikal daerah. Kurangnya kapasitas dalam mengendalikan perkembangan dan pemenuhan permintaan pelayanan kota menjadi penyebab adanya masalah permukiman di daerah. Masalah ini semakin kompleks dengan adanya perkembangan kota, khususnya pertumbuhan penduduk. Dalam menjalankan perannya terkait dengan perumahan, pemerintah daerah memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut:

a. Pengendali Perkembangan Perumahan dan Permukiman
Pemerintah daerah memiliki fungsi (a) mengendalikan dan mengarahkan agar perkembangan permukiman sejalan dengan perkembangan kota sehingga dapat diciptakan pelayanan yang efisien; (b) menciptakan suasana kehidupan sosial yang berimbang; (c) menjamin kelayakan pelayanan dan fasilitas, seperti air bersih, transportasi, listrik, sanitasi, pengelolaan sampah, fasilitas umum, fasilitas sosial; serta (d) menjamin hak dan keamanan penghuni kota

Fungsi untuk mengendalikan perkembangan sudah dilakukan sejak zaman kolonial namun melemah karena adanya perkembangan masyarakat yang tidak diikuti oleh peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Lemahnya pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, menyebabkan permukiman tumbuh secara sporadis dan tidak sejalan dengan perkembangan kota.

Fungsi pengendalian sangat penting bagi daerah yang memiliki tingkat permintaan perumahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan adanya kekuatan permintaan perumahan yang tergantung pada tingkat pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi setempat. Kecenderungan akibat lemahnya pengendalian adalah pembangunan perumahan yang hanya berpatokan pada pasar dan tidak mengindahkan keserasian dengan keseluruhan kota. Kondisi ini yang menyebabkan beberapa bagian permukiman menjadi eksklusif dan membebani prasarana serta fasilitas yang ada. Dokumen RP4D (Rencana Pengembangan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah) hendaknya tidak saja menjadi sebuah "potret" kondisi perumahan tetapi juga diharapkan memiliki strategi yang jelas untuk mengatasi masalah permukiman di daerah termasuk bagaimana menggali sumber-sumber pendanaan pembangunan perumahan yang tidak mengandalkan semata-mata pada APBD saja.

b. Pembangun Perumahan dan Permukiman
Dalam hal ini pemerintah daerah bertindak proaktif dengan menyiapkan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun (Lisiba). Hal ini dilakukan dengan menentukan lokasi, membangun prasarana kota, prasarana permukiman dan fasilitasnya. Fungsi dan peranan pengembangan ini dilakukan dengan penguasaan tanah, pembangunan prasarana dan fasilitas permukiman.

Untuk pengembangan ini pemerintah daerah perlu mempunyai perencanaan kota yang baik dan didukung oleh kajian kelayakan yang memadai. Perlu juga dipertimbangkan kaitan antara permukiman yang baru dengan lokasi lapangan kerja dan pelayanan kota terutama transportasi. Selain itu, akses terhadap dana untuk investasi, pengembangan strategi dan teknik penguasaan tanah serta pelaksanaan konsolidasi tanah perlu ditingkatkan untuk mendukung pengendalian perkembangan kota.

c. Inisiasi Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman
Pemukiman yang kondisinya buruk atau kita kenal dengan kawasan perumahan kumuh dapat tumbuh dari suatu permukiman yang mengalami urbanisasi diatas daya dukungnya, selain juga karena invasi masyarakat pada tanah negara atau tanah yang dianggap tidak bertuan atau tanah tak terawasi. Wujud dari permukiman ini kepadatannya relatif tinggi, tidak mempunyai struktur jaringan pelayanan yang teratur serta prasarana permukiman yang minim. Akibat lemahnya pengendalian, maka kawasan perumahan kumuh tumbuh secara perlahan namun dapat merambah ke bagian-bagian pusat kota.

Penanganan permukiman kumuh pernah menjadi program nasional, namun sayangnya saat ini pemeliharaan atau penanganannya tidak berkelanjutan dan menyebabkan kumuhnya kembali kawasan tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya penetapan tentang permukiman seperti apa yang perlu disubsidi, didorong partisipasi komunitasnya dan permukiman seperti apa yang harus diremajakan. Pemerintah pusat dapat memberikan insentif dan bantuan teknis untuk permasalahan ini, sedangkan penyelesaian dan penanganannya tetaplah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Penulis:
• Novi Anggriani, Program Development/Researcher – YIPD
• Wahyudi Purwono, Housing Finance Specialist pada proyek Housing Finance Survey

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved