Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Sebelum tinggal puing

Format : Artikel

Impresum
Silvia Galikano - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Jurnal Nasional: Senin, 7 Desember 2008

Isi:

Harapan semakin tipis atas diselamatkannya rumah ini. Rumah bersejarah yang tak lagi hanya milik individu, melainkan milik peradaban sebuah bangsa.

Kalimat "runtuhnya sebuah peradaban" awalnya sulit saya cerna. Terasa seperti mengawang-awang, tidak menginjak bumi, dapat dilihat tapi tak dapat disentuh. Kalimat yang membuat saya merasa seperti rakyat jelata yang melihat laku ndoro-ndoro sedang mendongakkan dagu dan memandang dengan ujung mata.

Hingga Selasa (2/12) lalu di sebuah rumah tua megah di sisi Kali Cisadane Tangerang, “runtuhnya sebuah peradaban” tak saja digelar di hadapan, melainkan ditamparkan keras ke wajah. Inilah bentuk nyata runtuhnya peradaban!

Di depan mata, berdiri merana dua unit bangunan yang lusuh tak terkira. Di sebelah kanan masing-masing unit sudah diruntuhkan. Bata-bata dikumpulkan, demikian pula terakota dan balok-balok kayu besar. Di halaman, berdiri truk besar merah menyala menanti diangkutnya pretelan bangunan itu untuk dibawa ke Bali, karena di Bali sudah menunggu kolektor asal Belanda dan Australia yang akan membeli dengan harga aduhai.

Pemborong bangunan (hanya fisik bangunan, bukan pembeli tanah) adalah Haji Syafei yang berkongsi dengan dua orang lainnya. Dari informasi di lapangan, tiga orang ini membeli fisik bangunan seharga Rp700 juta.

Di antara reruntuhan, bergerombol laki-laki pekerja pemborong pretelan sedang mengukur kusen jendela. Kayu-kayu memang harus diukur karena menjualnya per meter kubik (m³) dengan harga Rp1 juta per meter kubik. Bata dijual Rp1.200 per keping, sedangkan terakota Rp1.250 per keping.

Saya tetap hilir mudik dengan kamera saku yang tak pernah off sambil berpikir keras, apa yang membuat pemilik bangunan berbuat sekeji ini pada tinggalan leluhurnya? Yang sedang mereka runtuhkan adalah rumah bersejarah. Bersejarah bahkan hingga kepingan batanya dan butir kerikilnya. Rumah ini adalah wajah sebuah peradaban.

Tak ada nama resminya. Penduduk menyebutnya Rumah Tua atau Rumah Kongsi. Kadang disebut juga Rumah Pitung karena dulu di tahun 1970-an digunakan sebagai lokasi syuting film Si Pitung yang dibintangi Dicky Zulkarnaen. Di tulisan-tulisan tentang Tangerang, rumah ini disebut Rumah Tuan Tanah atau Plantation House.

Luas bangunan 500 meter persegi yang berdiri di atas tanah seluas 2,5 hektare. Berdiri persis di simpang Jalan Teuku Umar dan Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Jika menumpang kendaraan umum, simpang itu dikenal dengan sebutan Perempatan Sinta.

Tak ada yang tahu kapan rumah ini didirikan. Diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19 karena langgam arsitekturnya campuran antara Tionghoa, Indische, dan gaya Jawa. Keunikan bangunan ini adalah seolah-olah dua rumah yang berpunggungan, satu menghadap Cisadane, satu menghadap Jalan Imam Bonjol.

Rumah yang menghadap Cisadane berlanggam Tionghoa dengan atap pelana. Saat masih utuh ada paseban dan sepasang patung singa di depan pintu, serta ornamen-ornamen ukir cantik tersebar di bagian dalamnya. Kayu-kayu dicat warna merah, sedangkan ukirannya berwarna emas. Sedangkan yang menghadap Teuku Umar berlanggam Indische-Jawa. Atapnya mirip atap rumah Joglo, menaungi hingga teras yang ditopang 12 pilar besar.

Menurut Peter JM Nas dalam tulisannya The House in Indonesia: Between Globalization and Localization (1998), dua arsitektur berbeda di dua rumah yang berpunggungan itu bisa jadi sebagai bentuk kontras pembauran yang memang didukung pemerintah kala itu.

Satu lagi yang belum dapat dipastikan adalah siapa yang dulu jadi pendirinya, sang pemilik pertama. Yang dapat dipastikan hanyalah rumah ini milik tuan tanah kebun karet karena dulu Tangerang adalah kawasan kebun karet. Dugaan terkuat adalah Kapitein der Chineezen Oey Djie San (menjabat Kapitein sepanjang 1907 – 1916) yang memiliki kebun karet di Karawaci.

Inilah satu-satunya yang tersisa di Indonesia, country house berarsitektur campuran Tionghoa-Indische-Jawa. Rumah Tua yang tak pernah ketinggalan jika orang menyebut tentang obyek wisata Tangerang. Sudah demikian tuanya bangunan ini ternyata tidak masuk dalam daftar benda cagar budaya, tidak di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, tidak di Pemerintah Provinsi Banten, tidak juga ada dalam daftar di Pemerintah Kota Tangerang.

Karena itu tak heran meski palu dihantamkan ke dindingnya hingga kondisi terakhir 30 persen bangunan sudah rata dengan tanah, tetap tak ada tindakan dari pemerintah, bahkan hingga berita ini dibuat, Sabtu (5/12). Kamis (4/12), Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Djati melalui sambungan telepon, “Terima kasih banyak atas informasinya. Saya sedang di Bali, jadi tidak bisa melihat ke sana. Nanti akan ditangani di lapangan.”

Staf Unit Pelaksana Teknis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (UPT BP3) Serang yang Jumat (5/12) siang melihat kondisi Rumah Tua, Sri Anggorowati, mengatakan, “Kami harus melapor pada pimpinan dulu, baru kemudian melakukan koordinasi antarinstansi untuk mengambil langkah selanjutnya.” Silakan perkirakan kapan tim ini akan jalan, karena Sabtu dan Minggu libur, dan Senin hari libur nasional, sementara pembongkaran jalan terus tak kenal hari libur. Rumitnya birokrasi dalam kondisi darurat begini menimbulkan kegeraman tak terkira.

Ronald Knapp, seorang Distinguished Professor Emeritus di State University of New York (SUNY), New Paltz yang banyak menulis tentang rumah-rumah Asia menyebut kediaman Oey Djie San sebagai kompleks bangunan yang unik dan langka, dan selayaknya dilindungi.

“Sangat sangat menyedihkan melihat dihancurkannya rumah tinggal yang memilik arti penting bagi sejarah dan arsitektur, terlebih nilainya bagi Indonesia yang multikultur dan multietnis. It is a tragedy to see that the demolition has already begun!”.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved