Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2008
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 9 Juni 2008
Isi:
JAKARTA, SENIN - Mencari bangunan bersejarah di sela-sela bangunan elit ibukota saat ini ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Hanya segelintir, termasuk pula bangunan-bangunan bersejarah Tionghoa. Sebut saja Tjandra Naja (Candra Naya) yang paling dikenal dari generasi ke generasi Tionghoa di Jakarta.
Bersama dua bangunan lain, bangunan yang terletak di Molenvliet West (sekarang Gajah Mada) ini merupakan milik keluarga Khuow, yaitu bangunan nomor 168, 188, dan 204. Akan tetapi, saat ini bangunan no.188-lah yang masih bertahan. Yang lain, gedung SMUN 2 dan bekas Kedutaan Besar China, telah hancur.
Bangunan no.188 itulah yang disebut Candra Naya yaitu milik keluarga Majoor der Chineezen Khuow Kim An. Bangunannya yang memiliki atap gaya Buntut Walet menandakan pemiliknya tergolong pejabat penting. Meski Khuow Kim An adalah seorang pejabat penting, keturunan-keturunannya ditengarai tak seberuntung dia.
Buktinya, berpuluh-puluh tahun setelah itu, Candra Naya terakhir kali jatuh ke tangan pengusaha Modern Group. “Karena ketidakmampuan untuk membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) senilai Rp 30 juta tiap tahun, belum lagi biaya perawatan, mereka menjual murah,” ujar peneliti kebudayaan peranakan China David Kwa dalam acara seminar mengenai Chinese House di Museum Bank Indonesia, Senin (9/6).
Bangunan bergaya Buntut Walet sendiri masih ditemui di Patekoan (sekarang Perniagaan). Gedung Familie Souw yang kemungkinan usianya lebih tua dari Candra Naya ini memiliki kuplet puji-pujian yang dipajang secara berpasangan, aksara Tionghoa berwarna keemasan yang bertebaran di mana-mana serta struktur kuda-kuda penyangga atap berukir.
Sementara itu, bangunan Gereja Santa Maria de Fatima di Toasebio (sekarang Kemenangan III) masih memiliki eksterior yang utuh namun secara interior sudah berubah. Bangunan-bangunan lain yang memiliki atap gaya Pelana masih lebih mudah ditemui, antara lain di Jembatan Lima, Angke, Petak Baru dan Pintu Kecil. Dulu, di sepanjang jalan Gajah Mada, Pasar Baru, Senen, Tanah Abang dan Jatinegara juga banyak terdapat, namun sudah dihancurkan.
Masih di wilayah Jabodetabek, bangunan-bangunan bergaya arsitektur tradisional Tionghoa bisa ditemui di Tangerang. Di tepian Sungai Cisadane terdapat sebuah bangunan megah yang tak kalah menariknya milik Kapitein der Chineezen Oey Djie San. Rumah yang menghadap sungai ini memiliki sebuah pelataran yang diperkeras di depannya, sebuah gazebo dengan kuda-kuda berukir, dua bangunan di kiri dan kanan serta bangunan belakang.
Menurut David, bangunannya relatif utuh, namun dalam keadaan sekarat. "Hidup enggan, mati tak mau. Inipun terancam dijual oleh pemiliknya dan dijadikan pusat perbelanjaan," tandas David.
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved