Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Perumahan rakyat : Perlu kecermatan dalam memilih Rusunami

Format : Artikel

Impresum
BM Lukita Grahadyarini - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 18 September 2008 | 10:19 WIB
http://properti.kompas.com/read/xml/2008/09/18/10193884/perlu.kecermatan.dalam.memilih.rusunami

Isi:

Sejak program pembangunan rumah susun sederhana milik atau rusunami digulirkan tahun 2007, pemerintah optimistis akan terbangun 25.000 unit satuan rumah susun hingga tahun 2009. Kini, empat bulan menjelang penghujung tahun 2008, belum satu pembangunan rusunami pun yang tuntas.

Program hunian vertikal yang digagas Wakil Presiden Jusuf Kalla itu sejatinya diharapkan menjadi solusi pemenuhan perumahan rakyat, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Pemerintah menargetkan serah-terima kunci rusunami kepada konsumen hingga tahun 2008 adalah sebanyak 10 menara di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Serah terima kunci itu menjadi penanda bahwa bangunan layak dan siap dihuni.

Untuk menentukan kelayakan, pemerintah berpatokan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi, yaitu satu menara rusunami bisa dibangun dengan ketinggian maksimum 20 lantai yang disesuaikan dengan koefisien luas bangunan (KLB), koefisien dasar bangunan (KDB), dan luas lahan. Jumlah unit hunian ditetapkan maksimum 500 unit per menara.

Sebagai ilustrasi, pada kawasan rusunami seluas satu hektar dan KLB yang nilainya enam, maka luas areal yang dimanfaatkan untuk pembangunan rusunami adalah 60.000 meter persegi. Dari luas areal itu, luas peruntukan hunian adalah 85 persen atau 51.000 meter persegi untuk dua menara.

Guna mendukung pembangunan rusunami, pemerintah pusat dan daerah mengembangkan mekanisme pemberian insentif bagi pengembang, di antaranya mengizinkan pembangunan terpadu antara unit subsidi dan nonsubsidi (mixed use).

Insentif juga diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yakni berupa subsidi bunga pinjaman atau bantuan uang muka. Kelompok masyarakat yang berhak atas subsidi rusunami adalah MBR berpenghasilan Rp 1,2 juta-Rp 4,5 juta per bulan dan belum pernah memiliki hunian.

Iming-iming mendapatkan hunian bersubsidi tak urung mendorong minat masyarakat untuk memiliki rusunami. Promosi rusunami bersubsidi yang gencar dengan tawaran lokasi yang strategis, bentuk bangunan yang nyaman, dan aneka fasilitas lainnya telah membuat sejumlah calon konsumen "jatuh hati". Itu terlihat dari pameran-pameran rusunami bersubsidi yang selalu dipadati masyarakat.

Minat masyarakat juga dipacu oleh langkah perbankan yang mulai menyalurkan kredit pemilikan apartemen (KPA) inden untuk rusunami kendati pembangunan hunian itu belum rampung. Namun, angan-angan untuk segera mendapat hunian layak belum sesuai harapan.

Pembangunan rusunami kini tersendat-sendat. Para pengembang mengeluhkan perizinan yang berbelit, sedangkan pemerintah daerah yang menjadi "gerbang" pengawas kelayakan bangunan menemukan sejumlah pelanggaran persyaratan teknis oleh pengembang.

Di DKI Jakarta, misalnya, dari pengajuan perizinan oleh 18 pengembang di 18 lokasi, baru dua pengembang rusunami yang memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB). Padahal, pemerintah mencanangkan 60 persen dari pembangunan rusunami dilaksanakan di DKI Jakarta.

Anggota Tim Penasihat Arsitektur Kota (TPAK) DKI Jakarta, Budi Syukada, mengatakan, tim yang melakukan penilaian teknis bangunan rusunami di Jakarta itu menemukan indikasi bahwa mayoritas pengembang belum memenuhi standar kelayakan teknis bangunan, di antaranya lebar koridor penghubung antarruangan pada beberapa rusunami tergolong sempit, yakni di bawah 1,5 meter. Pelanggaran lainnya, jumlah tangga darurat pada bangunan tinggi itu kerap tidak memadai sehingga membahayakan perlindungan terhadap penghuni dalam kondisi darurat.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) mendata, beberapa pengembang rusunami di DKI Jakarta terindikasi melakukan pelanggaran serius standar kelayakan bangunan, di antaranya hunian rusunami tidak memiliki jendela dan ventilasi atau ventilasi menghadap ke bawah sehingga menghambat sirkulasi udara.

Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono menyatakan bahwa terdapat kecenderungan pengembang tidak memenuhi standar kenyamanan hunian. Pelanggaran yang serius adalah tidak adanya ventilasi kamar dan jendela. "Ini patut disayangkan," katanya.

Tersendatnya penyelesaian pembangunan rusunami bagai memudarkan harapan masyarakat menengah untuk memiliki hunian layak. Padahal, animo untuk tinggal di hunian vertikal sudah mulai terbentuk di masyarakat yang semula hanya terbiasa menetap di rumah tinggal (landed house).

Rawan terkecoh

Meskipun belum satu rusunami pun yang diserahkan kepada konsumen, hunian yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah itu sudah mulai ditawarkan ke konsumen. Tipe rumah yang ditawarkan berukuran 21 meter persegi hingga 36 meter persegi.

Berdasarkan data Kementerian Negara Perumahan Rakyat, rusunami yang sedang dalam tahap rancangan detail engineering design (DED) dan konstruksi adalah 75 menara. Sejumlah 12 menara di antaranya sudah mulai dipasarkan berupa perikatan pendahuluan jual beli antara konsumen dan pengembang maupun pembayaran tanda jadi dan uang muka kepemilikan.

Apabila indikasi pembangunan rusunami yang belum sesuai standar kelayakan itu benar adanya, hunian yang bakal dihuni ribuan jiwa itu berpotensi membahayakan konsumen. Tidak hanya kenyamanan yang terganggu, lebih dari itu adalah kesehatan dan keselamatan.

Untuk mengoptimalkan keselamatan, sudah saatnya calon penghuni lebih jeli dan waspada dalam memilih rusunami yang layak huni sehingga tidak terkecoh...!

Anggota Dewan Kehormatan IAI Jakarta, Ir Ronald L Tambun, menilai, kelayakan dari aspek kesehatan dan keamanan bangunan secara sederhana sudah dapat terdeteksi dari desain bangunan yang ditawarkan. Karena itu, diperlukan kejelian calon pembeli dalam memilih rusunami yang layak huni.

Hunian yang layak dari aspek kesehatan minimal memiliki kecukupan pencahayaan dan sistem ventilasi, di antaranya berupa penyediaan jendela dan ventilasi pada ruangan. Luas jendela minimum 1 persen dari luas kamar. Pencahayaan yang cukup juga akan mendorong penghematan energi.

Selain itu, ketersediaan balkon untuk tempat menjemur pakaian pada setiap unit. Ini untuk memberikan kenyamanan bagi penghuni. Hunian harus memiliki ruang terbuka, dengan pencahayaan dan penghawaan alami. Ruang terbuka itu juga bermanfaat sebagai sarana interaksi sosial di antara penghuni.

Bangunan dengan ketinggian lebih dari lima lantai harus memiliki lift. Lebar lift yang disediakan di antaranya harus berukuran selebar tempat tidur atau sekitar dua meter guna memudahkan evakuasi penghuni yang sakit atau dalam kondisi darurat. Jumlah lift dalam menara setinggi 20 lantai idealnya adalah 4-6 lift.

Dari aspek keselamatan, lebar koridor minimal 1,5 meter untuk memudahkan gerak penghuni, juga memudahkan proses evakuasi penghuni jika terjadi kondisi darurat. Selain itu, jumlah tangga yang tersedia dalam setiap menara minimal dua unit.

Yang juga penting adalah ketersediaan sarana penunjang keselamatan, di antaranya sistem peringatan bahaya dan pencahayaan buatan untuk kondisi darurat. "Pemasaran rusunami diharapkan menunjukkan kondisi bangunan yang sebenarnya kepada calon konsumen," kata Ronald.

Menurut Sekretaris Umum Ikatan Ahli Pracetak dan Prategang Indonesia (IAPPI) Hari Nugraha, hingga kini masih ada pengembang yang melanggar ketentuan pembangunan rusunami dengan dalih efisiensi biaya.

"Unsur kesehatan dan keselamatan bangunan tidak boleh ditawar-tawar. Karena itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah dalam melakukan pengawasan yang lebih ketat," ujar Hari.

Deputi Perumahan Formal Kementerian Negara Perumahan Rakyat Zulfi Syarif Koto mengakui, program rusunami masih merupakan uji coba sehingga membutuhkan sejumlah pembenahan. Meski demikian, pihaknya memprioritaskan percepatan pembangunan rusunami dengan memberikan sejumlah kemudahan bagi pengembang.

Dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan, dicantumkan program percepatan rusunami meliputi kemudahan, kecepatan, dan keringanan biaya perizinan, pertanahan, infrastruktur, pajak dan retribusi, serta pembiayaan.

Kredibilitas diuji

Pengamat properti Panangian Simanungkalit menilai, pembangunan rusunami seharusnya bukan lagi merupakan program coba-coba karena menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen. Pemerintah seharusnya menyusun pedoman dan arahan yang jelas tentang standar pembangunan rusunami.

Hingga kini tidak ada arahan yang jelas bagi pengembang dalam pembangunan rumah susun itu. Ketidaktegasan itu telah memicu sejumlah permasalahan, di antaranya proses perizinan yang berbelit, desain rusunami yang tidak memenuhi standar kelayakan, hingga peruntukan rusunami yang salah sasaran.

Paradigma program rusunami yang terkesan "coba-coba" menunjukkan pemerintah tidak memiliki kredibilitas dalam menyusun program yang matang. Akibatnya, program perumahan rakyat itu terancam tidak tuntas.

"Tanpa keseriusan, program pembangunan rusunami hanya tinggal menunggu kegagalan. Pada akhirnya, rakyat kecil yang dirugikan," ujar Panangian. Rusunami yang padat hunian adalah cikal bakal bagi lahirnya komunitas sosial yang baru. Selayaknya, semua pihak berkomitmen bagi tercapainya pembangunan rusunami yang menjamin keselamatan dan kesehatan penghuninya.

Pada akhirnya, publik menantikan bukti nyata keseriusan pemerintah dan kejujuran pengembang. Berhasil atau tidaknya program rusunami menjadi suatu pembuktian bagi pemerintah atas keberpihakan terhadap perumahan wong cilik.

BM Lukita Grahadyarini

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved