Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tari tradisional terancam punah, upaya pelestarian perlu dukungan

Format : Artikel

Impresum
- : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Suara Pembaruan: Kamis, 5 Juni 2008

Isi:

[JAKARTA] Tari tradisional rakyat adalah representasi dari kearifan lokal setiap daerah. Di dalam tarian tradisional terkandung nilai-nilai budaya kerakyatan yang positif. Rasa cinta kepada alam, semangat gotong royong, pendidikan keimanan, dan sumber perekonomian rakyat digambarkan secara dinamis melalui perpaduan gerak dan musik yang khas. Sayangnya, tari tradisional saat ini cenderung mengalami kepunahan. Ini karena minimnya kepedulian masyarakat terhadap potensi daerah.

Satu di antara tari tradisional yang cenderung mengalami kepunahan itu adalah tari main lalau. Tarian ini menurut John Robert Panurian seorang penata musik dan tari kelompok tari Kalimantan Barat, menggambarkan tradisi pengambilan madu di hutan Kalimantan. Lewat tarian yang dipentaskan dalam acara Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia 2008, di Jakarta, Rabu (4/6) merupakan bagian dari rangkaian acara Gelar Seni Budaya Pekan Produk Budaya Indonesia (PPBI) 2008 itu, kelompok yang berasal dari sanggar Sengalang Burong itu ingin menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan bagi masyarakat suku Dayak.

"Hutan adalah supermarket bagi orang Dayak. Dalam artian, segala kebutuhan mereka didapatkan dari hutan. Ketika hutan sudah punah, lebah tidak bersarang di pohon lagi, lebah tidak bisa memberikan kesehatan atau memberikan 'madu' kepada penduduk," katanya.

Menurut John Robert, di Kalimantan Barat, informasi yang sedang beredar adalah illegal loging. Masyarakat warga asli suku Dayak merasa prihatin.

Senada dengan itu, penata musik dan tari kelompok tari Maluku, Dorry Matauseya, menuturkan keikutsertaannya dalam festival didorong oleh semangat pelestarian permainan rakyat Maluku. Kelompoknya akan menampilkan tari bulu gila yang berisi sejumlah gerakan dalam permainan tradisional yang menggunakan bambu.

"Pertunjukan ini dilakukan untuk pelestarian tari bulu gila. Di tari itu, simbol-simbol yang ditampilkan, ada istilah masohi yang artinya kebersamaan dalam menyelesaikan sesuatu," tutur Dorry.

Beberapa tarian lainnya seperti tari ratoh taloe dari Provinsi Aceh berisi pesan tentang penyebaran agama Islam, tari tandok dari Sumatera Utara yang menceritakan adat masyarakat Toba yaitu saling membantu membawakan tandok atau keranjang berisi beras, dan tari maung lugay dari Jawa Barat yang mengisahkan aksi lugay untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan alam.

Festival ini diikuti oleh 30 kelompok tari yang berlomba untuk memperebutkan kategori penyaji terbaik, penata tari terbaik, penata musik terbaik, penari terbaik, dan grup favorit pilihan penonton. Festival ini melibatkan tujuh juri ahli seni pertunjukan di antaranya I Wayan Dibya, Waridi, Sumaryono, Wiwik Sipala, Deddy Lutan, Sentot Sudiarto, dan Ery Mefry.

Film Nasional

Selain festival tari, acara Gelar Seni dan Budaya PPBI 2008 juga memuat rangkaian penampilan seni dan budaya lainnya seperti pertunjukan film nasional, pameran dan lelang lukisan, pertunjukan teater, serta peragaan busana.

Sejumlah film nasional yang ikut ditayangkan di antaranya Ayat-ayat Cinta, Naga Bonar Jadi 2, Berbagi Suami, dan Lari dari Blora. Pertunjukan ini merupakan sarana promosi untuk meningkatkan nilai jual film Indonesia.

"Budaya itu sumber ekonomi, budaya juga bisa jadi komoditas, saya sangat mendukung peran serta pemerintah ini yang sangat lama saya harapkan," kata produser film Daun di Atas Bantal Desi Harahap yang hadir sebagai pengunjung acara hari itu.

Dalam konteks karya film, usaha pendistribusiannya, ujar Desi, umumnya hanya disokong oleh insan perfilman. Padahal, pengembangan bisnis film sangat tergantung oleh usaha pemasarannya.

"Bagi kami itu yang penting, bukan pemerintah membiayai festival tapi pemerintah membantu kami mendistribusikan, menjualkan, memasarkan, bagaimana kita bisa mencipta suatu promosi," tandasnya.

Di lain pihak, Ketua Pameran dan Lelang Lukisan Gelar Seni dan Budaya PPBI 2008, Pustanto mengungkapkan, perlu ada manajemen yang lebih kreatif terkait pemasaran lukisan. Saat ini, peminat lukisan harus dikembangkan kepada masyarakat awam.

"Kami harus menyadari sekarang perlu ada manajemen, harus ada jemput bola, selain itu kita juga untuk prestige, dan juga punya kompetisi yang bagus," tutur Pustanto. [NCW/N-5]

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved